Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kayu Jarahan di Sungai Gaung

Kayu ilegal ini ditimbun di kanal selebar 5 meter dan panjang 75 kilometer. Sebagian kayu diangkut kapal ponton untuk dilego melalui jalur laut.

13 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Desa Rambaian menjadi terkenal setelah dipergokinya kayu sebanyak satu juta meter kubik di Sungai Gaung, Indragiri Hilir. Gelondongan kayu berukuran 5–6 meter, yang diduga merupakan hasil jarahan itu, telah disegel polisi pada 21 Juli lalu.

Desa berpenghuni 320 keluarga itu berada di pedalaman Kecamatan Sungai Gaung, kurang lebih 420 kilometer dari Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau. Desa ini menjadi satu-satunya jalan tembus menuju lautan kayu yang hendak disetorkan ke PT Indah Kiat Pulp and Paper,

Log haram berdiameter 30 sentimeter dengan panjang 5–6 meter serta tinggi tumpukan 3 meter ini berjejer di pinggir jalan sejauh 8 kilometer. Jumlah satu juta meter kubik itu termasuk temuan kayu tebangan yang ditimbun di kanal buatan selebar 5 meter dan panjangnya sekitar 75 kilometer.

Warga desa yang ditemui Tempo mengatakan, kanal itu dibikin oleh perusahaan rekanan PT Indah Kiat. Sebagian kayu sudah ditarik dengan kapal ponton untuk dilego melalui jalur laut dan dibawa ke Indah Kiat di Perawang, Kabupaten Siak, untuk diolah menjadi bubur kertas.

Nazaruddin, juru bicara PT Indah Kiat, menampik tudingan kayu yang dibeli dari perusahaan mitranya hasil jarahan. Dasar legalitas yang dipakai Indah Kiat adanya izin usaha dari pemerintah daerah dan Departemen Kehutanan. ”Kalau polisi melihat kayu tersebut bermasalah, itu soal lain. Kami mengikuti saja proses hukumnya,” katanya kepada Tempo.

Temuan kayu ilegal ini bukan yang pertama. Sebelumnya, polisi telah mengendus kayu jarahan di areal pabrik PT Riau Andalan Pulp & Paper di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau. Di areal seluas 1.750 hektare itu terdapat sekitar 41 ribu kayu gelondongan bermasalah yang dicampur dengan kayu chip (akasia), bahan baku bubur kertas yang hendak direbus.

Sembilan aparat dari Kepolisian Resor Pelalawan berjaga secara bergiliran selama 24 jam. Kasus ini terbongkar ketika polisi menahan 25 truk yang mengangkut 1.300 batang kayu di Jalur Lintas Timur Pangkalan Kerinci pada 9 Februari lalu. Tidak selembar pun dokumen yang menyertai kayu-kayu yang disetorkan ke PT Riau Andalan.

Polisi meyakini kayu berdiameter 30 sentimeter itu bukan untuk bubur kertas, melainkan untuk dilego seperti temuan di Sungai Gaung. ”Modus ini sudah berlangsung lama. Itu sebabnya seluruh kayu di areal pabrik kami segel,” ujar Brigadir Jenderal Sutjiptadi, Kepala Kepolisian Daerah Riau.

Namun, langkah polisi tak otomatis mendapat pujian. Departemen Kehutanan menganggap kayu yang dicap haram oleh polisi itu legal, pemiliknya ada, dan izin usahanya masih sah.

Untuk meredam cekcok, departemen yang dipimpin Malam Sambat Kaban memutuskan status quo. Artinya, in-stansi ini tak akan mengutak-atik temuan polisi sampai tim gabungan yang dibentuk pada akhir Juli lalu selesai bertugas. ”Tapi, kalau polisi mau jalan terus, ya silakan saja,” kata Arman Mallolongan, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan, kepada Tempo.

Fauzi Mas’ud, Kepala Pusat Informasi Departemen Kehutanan, juga tak begitu yakin soal temuan satu juta meter kubik kayu di Sungai Gaung yang disinyalir hendak disetorkan ke perusahaan PT Indah Kiat Pulp and Paper. ”Kalau jumlah itu benar, tumpukan kayu bisa menutupi luas Pulau Madura. Tak mungkin itu,” kata Fauzi Mas’ud.

Temuan inilah yang menyebabkan terjadi ”perang pernyataan” antara petinggi Departemen Kehutanan dengan Kepolisian RI. Media massa ramai mengangkat kasus ini. Menteri Kaban pernah menyatakan, ”Polisi jangan sembarangan menyita kayu milik perusahaan.” Polisi menyerang balik dengan menyatakan akan memeriksa sang Menteri. Kaban juga dikecam telah mengintervensi aparat.

Nandik Suparyono, juru bicara PT Riau Andalan Pulp and Paper, tak bersedia memberi keterangan ihwal temuan polisi. Dia idem ditto dengan Nazaruddin, menyerahkan masalah itu ke proses hukum. ”Belum ada perkembangan,” kata Nandik.

”Cekcok” polisi dengan aparat kehutanan sebenarnya tak perlu ada. Koordinator Lembaga Swadaya Kampanye Telapak, Muhammad Yayat Afianto, menganggap kerja sama kedua instansi ini tak rumit. Toh, sudah ada Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang 18 instansi yang ditunjuk menangani illegal logging, yaitu gubernur dan bupati/wali kota bekerja sama dengan 14 kantor kementerian.

Instruksi itu jelas: penentu legal-tidaknya kayu berada di tangan Departemen Kehutanan. Adapun kewenangan membekuk pencoleng kayu di pundak polisi. ”Keduanya mesti turun bareng ke lapangan sehingga tidak salah sasaran,” kata Yayat.

Memang, kerusakan hutan Indonesia kian parah akibat penjarahan yang tak habis-habisnya. Saban tahun 2,7 juta hektare hutan hilang. Dari luas hutan Indonesia yang semula 126,8 juta hektare, kini tinggal 35,5 juta hektare. Dengan kata lain, 72 persen hutan di republik ini sudah lenyap. Areal hutan di Riau yang awalnya 8 juta hektare hanya tersisa 1,3 juta hektare.

Industri kertas paling doyan melahap kayu hutan. Diperkirakan sekitar 60 persen dari kapasitas produksi hutan terserap untuk kebutuhan industri ini. Program hutan tanaman industri (HTI) guna mengatasi kerakusan pabrik kertas belum berjalan sebagaimana diharapkan.

Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Wahjudi Wardojo, kapasitas produksi pulp Indonesia mencapai 6,150 juta ton atau 3 persen dari kapasitas produksi dunia dengan pertumbuhan 17 persen per tahun. Untuk memproduksi pulp sebanyak itu diperlukan 27,7 juta sampai 30,7 juta meter kubik kayu. Jadi, belum ada pabrik bubur kertas di Indonesia yang betul-betul mengandalkan pola hutan tanaman industri.

Elik Susanto, Ninin Damayanti, Andri Setyawan, Jupernalis Samosir (Indragiri Hilir), Bobby Triadi (Pekanbaru)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus