Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kasus pemerasan yang terjadi di festival musik EDM Djakarta Warehouse Project disingkat DWP 2024 membetot perhatian publik. Yakni setelah terungkapnya keterlibatan 18 anggota polisi dalam razia narkoba ilegal dengan nilai milyaran..
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerasan ini dilakukan dengan modus ancaman terhadap penonton, terutama warga negara Malaysia, dengan tuduhan penyalahgunaan narkoba meskipun hasil tes menunjukkan negatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pelaku memaksa korban untuk membayar uang tebusan yang totalnya mencapai Rp 2,5 miliar dari 45 orang korban. Sidang yang diadakan oleh Komisi Kode Etik Polri (KKEP) pada 2 Januari 2025 menghasilkan keputusan yang menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dan demosi kepada para pelaku yang terlibat.
Kasus di DWP 2024 ini memicu perbincangan mengenai tindak pemerasan, baik yang dilakukan oleh aparat hukum maupun pihak lain. Dalam konteks hukum Indonesia, pemerasan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memiliki ketentuan khusus mengenai ancaman hukuman bagi pelaku pemerasan.
Tindak Pemerasan dalam KUHP
Tindak pidana pemerasan di Indonesia diatur dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pemerasan didefinisikan sebagai perbuatan meminta uang atau barang lain dengan ancaman kekerasan atau pengancaman yang dilakukan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
Ada dua macam tindak pidana yang diatur dalam pasal ini, yaitu:
- Tindak Pemerasan (afpersing): Permintaan uang atau barang lain dengan ancaman kekerasan.
- Tindak Pengancaman (afdreiging): Perbuatan yang mengancam keselamatan korban.
Tindak pidana pemerasan ini dapat dikenakan sanksi berat tergantung pada sejumlah faktor yang memberatkan dalam pelaksanaannya.
Ancaman Pidana dalam Kasus Pemerasan
Berdasarkan Pasal 368 KUHP, pelaku pemerasan dapat dikenakan hukuman penjara dengan ancaman yang bervariasi, tergantung pada situasi atau cara pelaksanaan pemerasan tersebut. Berikut adalah beberapa ancaman pidana yang diatur dalam KUHP:
- Pemerasan pada Waktu Malam atau Tempat Tertutup
Jika pemerasan dilakukan pada waktu malam dalam rumah, pekarangan tertutup, atau di kendaraan yang sedang berjalan, pelaku dapat dikenakan hukuman penjara hingga 12 tahun.
- Pemerasan oleh Dua Orang atau Lebih
Jika pemerasan dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, ancaman pidananya adalah penjara hingga 9 tahun.
- Pemerasan dengan Cara Tertentu
Jika pemerasan dilakukan dengan cara yang merugikan seperti membongkar atau merusak properti, atau menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu, atau jabatan palsu, pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 9 tahun.
- Pemerasan yang Mengakibatkan Luka Berat
Dalam kasus pemerasan yang menyebabkan luka berat pada korban, ancaman hukumannya adalah 9 tahun penjara.
- Pemerasan yang Mengakibatkan Kematian
Jika pemerasan menyebabkan kematian korban, pelaku dapat dikenakan hukuman penjara hingga 15 tahun.
- Pemerasan dengan Faktor Memberatkan
Jika pemerasan dilakukan dalam situasi yang memberatkan, seperti melibatkan kelompok atau menggunakan senjata, pelaku dapat dikenakan hukuman lebih berat, termasuk pidana mati atau pidana seumur hidup atau paling lama 20 tahun penjara.
Kasus pemerasan yang terjadi di DWP 2024 melibatkan anggota Polri yang memanfaatkan situasi acara musik EDM untuk memeras penonton dengan tuduhan palsu tentang narkoba. Setelah sidang kode etik yang digelar, beberapa pelaku dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dan sanksi demosi. Tindakan ini mengundang perhatian karena mengandung potensi pelanggaran etika berat oleh aparat penegak hukum, yang seharusnya bertindak sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) memberikan apresiasi terhadap langkah tegas yang diambil oleh Polri dalam memerangi pelanggaran etik ini. Dengan adanya sanksi yang diberikan, diharapkan kepercayaan publik terhadap Polri dapat tetap terjaga dan menjadi pembelajaran bagi institusi lain untuk menindak pelanggaran serupa dengan tegas.
Muhammad Rafi Azhari dan Putri Safira Pitaloka turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Polda Jateng Periksa Kepala Prodi PPDS Anestesi Undip yang Jadi Tersangka Pemerasan Dokter Aulia Risma