Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
PENGADILAN Negeri (PN) Idi akhirnya menjatuhkan vonis hukuman mati kepada tiga terdakwa kasus penyelundupan narkotika jenis sabu sebanyak lebih 180 kg, Sayed Fackrul bin Sayed Usman, Muzakir alias Him bin Adi, dan Ilyas Amren bin Amren. Majelis hakim membacakan vonis tersebut dalam sidang terakhir di PN Idi, Aceh Timur, Kamis 6 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sebelumnya, ada beberapa narapidana jaringan narkoba yang juga dijatuhi hukuman mati, seperti Freddy Budiman, Raheem Agbaje Salami, Mary Jane, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, Rodrigo Gularte, dan Freddy Budiman. Namun efektif kah vonis tersebut dalam menekan kasus peredaran narkotika di Tanah Air?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dikutip dari laman resmi Badan Narkotika Nasional atau BNN, kejahatan narkotika atau kasus narkoba tergolong sebagai kejahatan serius dan luar biasa (extraordinary crime), sehingga negara harus mengambil langkah tegas dan keras dalam menanganinya. Penerapan hukuman mati tidak hanya bertujuan untuk memberikan efek jera (deterrent effect) atau menjatuhkan hukuman yang setimpal, tetapi yang lebih utama adalah melindungi masyarakat (defend society) serta menjaga generasi muda dari bahaya penyalahgunaan narkoba.
Di sisi lain, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fatahilah Akbar, menyatakan bahwa diperlukan penelitian lebih mendalam mengenai penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana narkotika.
Menurutnya, hingga saat ini, hukuman mati belum terbukti efektif dalam menekan peredaran narkotika di Indonesia. Ketidakefektifan hukuman mati dalam menekan peredaran narkotika disebabkan oleh praktik penegakan hukum yang lebih banyak menargetkan distributor atau pengedar kecil. Sementara itu, hanya sedikit bandar besar yang berhasil dijerat hukum.
"Oleh karena itu, tidak menyelesaikan masalah narkotika," kata Fatahilah kepada Tempo, Jumat, 11 Oktober 2024.
Dinukil dari jurnal Sanskara Hukum dan HAM dengan judul Relevansi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Narkotika Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana oleh Abdul Halim Lubis dan Ania Galuh Margaini menulis bahwa dalam tinjauan sejarah hukum, keberadaan hukuman mati dalam KUHP merupakan kebijakan yang bersifat diskriminatif dan politis, yang digunakan untuk memperkuat kekuasaan Belanda atas wilayah jajahannya.
Sejak 1870, hukuman mati dalam Wetboek van Strafrecht di Belanda telah dihapuskan. Namun, dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indië, hukuman tersebut tetap diberlakukan hingga kini dengan alasan terkait faktor rasial, ketertiban publik, yurisdiksi hukum pidana, serta pertimbangan kriminologi.
Jurnal tersebut juga menyebut jika pengaturan mengenai penerapan hukuman mati di Indonesia perlu dipertimbangkan dengan cermat, mengingat perumusannya dalam hukum pidana di masa depan harus selaras dengan nilai-nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat.
Pembaharuan hukum pidana yang akan diterapkan di Indonesia sebaiknya sejalan dengan aspek kultural yang ada. Sebab Kasus hukuman mati merupakan perkara yang sangat penting dan harus ditangani dengan penuh kehati-hatian, karena objek eksekusinya adalah nyawa manusia. Jika terjadi kesalahan dalam proses persidangan, maka nyawa yang telah hilang tidak dapat dikembalikan.
Mutia Yuantisya dan Achmad Hanif Imaduddin ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.