Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kejujuran berbuah sia-sia

Mohamad dais bersama 14 orang, penemu harta karun ciburuy, bogor, senilai rp 5,7 milyar, mengadu ke dpr selama 44 th mereka menunggu imbalan, yang datang malah hukuman. berbeda dengan kasus di cirebon & klaten.

15 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kejujuran Berbuah Sia-Sia Penemu harta karun Ciburuy kembali mengadu ke DPR. Selama 44 tahun menunggu imbalan, yang datang malah hukuman. ~~TAK selamanya "kejujuran" bisa dipetik buahnya. Contohnya kejujuran ~para penemu harta karun berupa emas dan berlian senilai Rp 5,7 milyar di Desa Ciburuy, Bogor, Jawa Barat. Kejujuran mereka 44 tahun lalu -- menyerahkan harta itu kepada pemerintah -- "berbuah" sia-sia. Bahkan, "Kami malah dihukum denda Rp 2.655," kata Mohamad Dais, 80 tahun, salah seorang penemu harta Ciburuy yang masih hidup. Sebab itu, Sabtu dua pekan lalu Dais bersama 14 orang ahli waris penemu harta karun Ciburuy -- didampingi Kepala Desa Ciburuy, Fachrurazi mengadu ke DPR. Dua orang anggota DPR yang menerima mereka, Aboeng Koesman dan R. Bambang Soetisna, S.H. dari FKP, berjanji akan meneruskan pengaduan itu ke pihak yang berwenang. Kasus harta Ciburuy ini memang cerita lama. Tapi kisah ini kembali menghangat lantaran muncul penemu harta karun yang menerima hadiah dari pemerintah. Misalnya, warga Cirebon yang menemukan benda purbakala abad XVI berupa bokor berisi emas seberat 1,2 kg pada Oktober 1989, yang mendapat hadiah Rp 19 juta dari pemerintah. Begitu pula penemu harta karun di Klaten, Jawa Tengah, yang menerima penghargaan Presiden. Pada 1946, saat Dais menjabat Kepala Desa Ciburuy, ia berinisiatif mencari harta karun peninggalan Jepang. Di Perkebunan Pondok Gede Desa Ciburuy, mereka menemukan guci di "kuburan" tanpa nisan. Di hadapan para pejabat sipil dan militer, guci tersebut dibuka. Ternyata, isinya 7 kg perhiasan emas dan 22 ribu butir berlian seberat 4 kg. Hasil temuan itu lantas diserahkan kepada pemerintah melalui Komandan Batalyon IX Siliwangi, Kapten Efendi Natadipura. "Mudah-mudahan di kemudian hari, kejujuran Saudara-Saudara akan mendapat imbalan yang sepadan dari pemerintah," kata Efendi. Toh janji itu tinggal janji. Sampai 1953, Dais cuma mendengar bahwa harta karun yang disimpan di BNI 46 itu sudah tak utuh tinggal 75 persen. Pada 1970, Dais dan kawan-kawan membawa perkara itu ke pengadilan. Pada 1973, pengadilan menghukum pemerintah agar membayar ganti rugi kepada warga Ciburuy itu Rp 13 juta. Di tingkat banding, pengadilan memutuskan bahwa harta karun senilai Rp 5,7 milyar harus dibagi tiga: penduduk Ciburury, pemerintah, dan dana perjuangan. Karena itu, pemerintah dihukum membayar kepada Dais dkk. Rp 1,5 milyar. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan, naik kasasi. Ternyata, pada 1978, Mahkamah Agung (MA) meralat keputusan tadi. Dais dkk. dikalahkan dan harus membayar biaya perkara Rp 2.655. "Kami hampir menangis mendengar putusan itu," ujar Dais. Ia sendiri mengaku enggan mengajukan peninjauan kembali (PK) karena sudah lelah dan "habis-habisan" akibat kasus itu. Dais dkk. tentu saja kecewa atas keputusan MA itu. Pasalnya, sejak semula mereka sudah optimistis bakal menang di meja hijau. Sebab, berdasarkan pasal 587 KUH Perdata, jika harta karun ditemukan di atas tanah negara, maka setengahnya milik penemu, dan setengah lagi bagian si pemilik tanah. Kekecewaan serupa juga dirasakan warga Ciburuy yang telanjur merencanakan hadiah harta karun itu untuk mendirikan SD hingga SLA dan Balai Desa. Kini, Dais tinggallah berharap adanya kebijaksanaan pemerintah untuk memberikan imbalan sewajarnya. "Bayangkan, dari tahun 1946 benda berharga i~tu disimpan di bank. Kalau bentuk uang, bunganya saja sudah berapa," kata Dais. Toh harapan itu agaknya tinggal impian belaka. Kepada Indrawan dari TEMPO, Staf Biro Hukum Departemen Keuangan, Simoeh Kusuma, yang pernah menangani kasus harta karun Ciburuy itu, tegas-tegas menyatakan masalah itu sebenarnya sudah selesai tuntas dengan adanya keputusan MA tadi. Dari keputusan itu, katanya, jelas bahwa kasus Ciburuy itu berbeda dengan kasus Cirebon dan Klaten. Dua kasus terakhir, kata Simoeh, memang jelas termasuk benda sejarah yang ditemukan secara kebetulan. Sedangkan kasus Ciburuy, tambahnya, selain tak termasuk kategori benda sejarah ataupun harta karun, para penemu itu juga terbukti sengaja menggali lokasi harta itu. Sebelumnya mereka memang sudah tahu bahwa tentara Jepang pernah menanam barang di situ. Karena harta itu bekas milik Jepang, kata Simoeh, otomatis menjadi milik negara. Lebih dari itu, di pengadilan juga sudah terbukti bahwa harta itu dirampok Belanda sebelum pengembalian kedaulatan RI. Jadi, "Jelaslah pemerintah tak bisa dimintai pertanggungjawabannya," kata Simoeh. Widi Y~armanto dan Hasan Syukur (biro Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus