Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengegolkan si cantik di dpr

Ruu kejaksaan masih dibahas alot di dpr. menkeh ismail saleh menangkis tuduhan bahwa ruu itu bertentangan dengan kuhap. ruu tersebut menggambarkan kekurangsingkronan dan tidak ada koordinasi.

15 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKANKAH kejaksa~an kehilangan we~wenangnya untuk menyidik pidana khusus? Artinya, semua perkara harus disidik polisi, termasuk perkara subversi seperti kasus Dharsono, dan korupsi misalnya kasus Bank Duta. Menilik jawaban pemerintah yang disampaikan Menteri Kehakiman Ismail Saleh, Jumat pekan lalu, dalam menanggapi pandangan fraksi-fraksi DPR atas RUU Kejaksaan, jawabannya "tidak". Persisnya, Ismail Saleh mengatakan bahwa RUU Kejaksaan itu sama sekali tidak tumpang tindih, apalagi bertentangan, dengan hukum acara (KUHAP). Justru adanya pasal 29 RUU itu, (yang mengatur soal wewenang kejaksaan untuk menyidik tindak pidana khusus), dan KUHAP (yang men~gatur wewenan~g Polri untuk menyidik tindak pidana umum), akan lebih memantapkan dan memperkukuh makna dan hakikat sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System, ICJS). Ismail Saleh, yang bekas Jaksa Agung, dengan lihainy~a juga membantah bahwa KUHAP menyebut Polri sebagai penyidik tunggal. Sebaliknya penyidikan tindak pidana khusus juga bukan wewenan~g tunggal kejaksaan. Jadi, "Rumusan pasal 29 RUU itu sudah cukup cantik," ujar Ismail di hadapan sidang paripurna yan~g dipimpin Wakil Ketua DPR~ Saiful Sulun. Tangkisan Ismail Saleh it~u agaknya cukup meredam gugatan banyak pihak terhadap RUU Kejaksaan. Sejak RUU itu di~gulirkan pemerintah pada 16 November lalu, baik para wakil rakyat di DPR maupun praktisi hukum di luar gedung parlemen memang menuding calon "bayi" undang-undang itu bertentangan dengan KUHAP. Sebagian dari anggota DPR menganggap KUHAP sudah jelas mengatur: Polri menyidik, jaksa menuntut - dan melaksanakan putusan hakim - dan hakim memutuskan perkara. Mereka berpendapat, pasal peralihan (pasal 284 KUHAP) hanya membenarkan kejaksaan menyidik pidana khusus yang telanjur ada dan sedang diproses sejak masa hukum acara lama (HIR). Itu pun diharuskan hanya berlaku selama dua tahun. Setelah itu, menurut mereka, tentu saja harus diberlakukan sistem KUHAP, yang menganut asas Polri sebagai penyidik tunggal. KUHAP menyebutkan - selain Polri - Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), seperti polisi hutan, hak cipta, dan pajak yang dikoordinir Polri. Tak satu pasal pun yang mengatur jaksa bisa menyidik. Namun, begitulah, badai kritik itu kini ditepis Ismail Saleh. Menurut Ismail, soal wewenang jaksa untuk menyidik itu bukanlah hal baru. Hal itu sudah tersurat dalam berbagai undang-undang tindak pidana khusus, yang lahir jauh sebelum KUHAP, seperti KUHP, Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman 1970, serta pasal 17 Peraturan Pelaksanaan KUHAP. Nah, semua itu kini ditampung pasal 29 RUU tersebut. Secara umum, komentar para anggota DPR memang tak lagi "sepanas" seperti sebelumnya. Begitupun, juru bicara FPDI Djupri, tetap menilai kehadiran pasal 29 RUU itu suatu kemunduran, kembali ke masa HIR. "Kalau memang pelaksanaan KUHAP dianggap belum sempurna, ya disempurnakan dong. Jangan lantas KUHAP-nya diubah," kata Wakil Ketua Komisi III DPR itu kepada wartawati TEMPO Nunik Iswardhani. Rekannya, Mohammad Yusuf Husin dari FPP, malah menganggap pasal 29 RUU itu tak perlu ada. Sebab, katanya, sepanjang undang-undang tindak pidana khusus belum dicabut, pasal 284 KUHAP ya masih berlaku. Jadi, "Pasal 29 RUU itu berlebihan," ujar Yusuf. Ia juga menganggap pasal 32 (1) b RUU tentang wewenang Jaksa Agung menyidik perkara tertentu yang ditetapkan Presiden terhitung melangkahi wewenang Polri. Sementara itu, di luar DPR, seorang perwira menengah di Mabes Polri menilik RUU Kejaksaan itu dari landasan pemikirannya. "Sepertinya kejaksaan hanya mengindahkan aspek sejarahnya, bukan bertolak dari KUHAP," kata perwira itu. Menurut sumber itu, daripada mengubah KUHAP, lebih baik kerja sama penyidikan antara Polri dan kejaksaan, seperti dalam kasus Monitor, yan~g ditin~gkatkan. "Supaya tak terjadi lagi kebiasaan berkas perkara bolak-balik," tambahnya. Yang agak mengagetkan adalah pendapat guru besar hukum pidana FH UI, Prof. Oemar Senoadji. ~Menurut bekas Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung ini, bukan RUU Kejaksaan yang bertentangan dengan KUHAP. Tapi, katanya, justru KUHAP-nya yang ternyata menyimpang dari undan~g-undan~g pokoknya, baik Undang-Undang Kepolisian dan Kejaksaan maupun Undang-Undang Kehakiman. Sebab itu, Oemar menyarankan agar penafsiran KUHAP direvisi untuk kemudian dituangkan dalam RUU Kejaksaan itu. Sebetulnya, kata Oemar, KUHAP memberikan wewenang bagi Jaksa Agung untuk menyidik pidana khusus. Itu berlatar belakang dari bentuk KUHAP, yang mengambil separuh dari sistem Inggris (polisi sepenuhnya memegang wewenang penyidikan) dan separuh sistem kontinental (sebagian penyidikan ditangani jaksa). Artinya, Jaksa Agung bisa memerintahkan jaksa atau polisi untuk melakukan penyidikan pidana khusus. Hanya saja, "Dari se~gi praktisnya, Jaksa Agung pasti memerintahkan jaksa bawahannya," kata Oemar kepada Gindo Tampubolon dari TEMPO. Tepat-tidaknya argumentasi itu, masalah ini mungkin masih akan dibahas DPR pada Januari tahun depan. Yang jelas, penggodokan RUU Kejaksaan itu cukup menggambarkan kekurangsinkronan dan tiadanya koordinasi antara berbagai undang-undang yang mengatur hukum acara pidana di Indonesia. Hanya saja, menurut sebuah sumber, perebutan wewenang antara kejaksaan dan polisi itu juga berlatar belakang ladang "rezeki", termasuk dana penyidikan dari pemerintah. Tapi Soesanto Bangun Negoro, dari FKP-DPR, wanti-wanti agar masalah "ladang" polisi dan jaksa ini jangan terlalu dipertajam. "RUU ini kan kemauan pemerintah. Polisi dan jaksa sama-sama jajaran pemerintah, yang akan menjalankan undang-undang itu," kata Soesanto. Hap~py S., Sr~i Indrayati (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus