Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kembali Tersangkut Korupsi

Status tersangka lagi-lagi disandang Eddie Widiono. Kali ini mantan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara itu diduga melakukan korupsi proyek outsourcing sistem informasi pelanggan. Penetapannya sebagai tersangka merupakan hasil pengembangan kasus yang sama di PLN Jawa Timur.

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR mengagetkan itu diterima Eddie Widiono Soewondho, 56 tahun, Ahad malam pekan lalu. Sejumlah media online memberitakan penetapannya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Malam itu juga Direktur Utama PLN periode 2003-2008 ini segera mengontak pengacaranya, Maqdir Ismail. ”Kok, saya jadi tersangka, ya?” kata Maqdir menirukan ucapan Eddie di telepon.

Eddie dituduh melakukan korupsi pada proyek outsourcing Roll Out Customer Information Service Rencana Induk Sistem Informasi (CIS Rencana Induk). Proyek sistem komputerisasi untuk pelayanan pelanggan ini dilaksanakan PLN Distribusi Jakarta dan Tangerang (Disjaya). Nilainya Rp 137 miliar lebih.

Menurut penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi, ada penggelembungan pada angka itu. Akibatnya, kata juru bicara Komisi, Johan Budi S.P., negara dirugikan Rp 45 miliar. ”Modusnya markup proyek.”

Perkara yang menjerat Eddie ini, ujar Johan, merupakan hasil pengembangan kasus serupa di PLN Jawa Timur. Bedanya, untuk PLN Jawa Timur, layanan ini disebut Customer Management System. Komisi menetapkan Hariadi Sadono, General Manager PLN Distribusi Jawa Timur periode 2004-2008, sebagai tersangka korupsi Rp 175 miliar.

Jaksa Komisi sudah menuntut Hariadi 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta atau 6 bulan kurungan. Selain itu, dia dituntut membayar uang pengganti Rp 6,5 miliar atau tambahan hukuman 3 tahun penjara. Senin pekan ini, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan memutus nasib Direktur Luar Jawa Bali PLN nonaktif tersebut.

Bukan sekali ini saja Eddie tersandung perkara korupsi yang berkaitan dengan proyek PLN. Lima tahun lalu, Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI ”menghadiahkan” gelar yang sama. Saat itu dia diduga melakukan korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas Borang pada 2004.

Sebagai direktur utama, Eddie diduga terlibat proyek pengadaan dua turbin listrik di Palembang yang membuat duit negara menguap Rp 122 miliar. Eddie sempat mendekam di sel tahanan Badan Reserse Kriminal empat bulan, sebelum dibebaskan lantaran penyidik tak menemukan bukti tindak pidana yang dilakukannya.

Soal penetapan sebagai tersangka oleh Komisi, Eddie menolak memberikan komentar. ”Kalau yang ini, tanyakan ke pengacara saya saja,” ujarnya singkat saat jumpa pers Kamis pekan lalu. Menurut Maqdir, yang hadir dalam acara itu, kliennya pernah diperiksa dua kali oleh Komisi pada Juli 2009 terkait dengan proyek CIS Rencana Induk. Tapi, setelah delapan bulan, tak ada lagi pemanggilan. Eddie menduga proyek itu tak ada soal. ”Pak Eddie juga belum pernah disidik Komisi,” kata Maqdir.

CIS Rencana Induk adalah sistem yang mempermudah sistem informasi pelanggan dan sistem informasi keuangan pelanggan di daerah Jakarta dan Tangerang. Hasil nyata proyek ini adalah pembayaran rekening listrik melalui anjungan tunai mandiri (ATM) di beberapa bank. Selain ringkas dan hemat, cara ini dianggap ampuh memotong kebocoran tagihan listrik.

Tidak semua pengelolaan distribusi PLN regional menggunakan sistem informasi pelanggan tersebut. Hingga kini, hanya PLN Disjaya, PLN Distribusi Jawa Timur, dan PLN Distribusi Lampung yang menggunakan sistem itu. ”Distribusi regional lain bisa tidak menerapkan sistem ini,” ujar Maqdir.

PLN Disjaya memborongkan (outsourced) proyek sistem informasi itu kepada PT Netway Utama, perusahaan konsultan teknologi informasi. Nilainya sekitar Rp 137 miliar. Netway menerima rezeki ini lewat penunjukan langsung—tanpa tender. Kontrak kerja samanya diteken Fahmi Mochtar, General Manager Disjaya, dan Gani Abdul Gani, Direktur Utama Netway, pada 29 April 2004. Kontrak berlaku hingga April 2006. Fahmi menggantikan Eddie Widiono sebagai Direktur Utama PLN pada 10 Maret 2008.

Ihwal Netway mendapat proyek ini bermula pada Agustus 1994. Kala itu, PLN Disjaya dan Politeknik Institut Teknologi Bandung melakukan kerja sama pembuatan Rencana Induk Sistem Informasi Pelanggan. Netway, yang punya ikatan perjanjian lebih dulu dengan Politeknik ITB, ikut menggarap proyek ini.

Pada 9 Mei 2001, proyek itu dikembalikan ke PLN Disjaya. Peran Politeknik ITB berakhir di sini. Anehnya, tutur sumber Tempo di PLN, sebelum proyek dikembalikan ke Disjaya, Netway sudah mengirimkan proposal ke Disjaya, pada 12 September 2000. Proposal itu dipresentasikan para petinggi Netway di kantor PLN Disjaya pada 21 September 2000. Ketika itu, General Manager PLN Disjaya adalah Margo Santoso. Adapun Eddie Widiono menjabat Direktur Pemasaran dan Distribusi PLN Pusat. ”Rupanya, Pak Eddie kesengsem sama proposal itu dan memerintahkan Disjaya segera melakukan negosiasi dengan Netway,” tutur sumber ini.

Belakangan, setahun setelah kontrak diteken, Satuan Pengawas Internal PLN mencium bau korupsi pada proyek ini. Dan benar, hasil audit internal menemukan dua titik lemah proyek: kelemahan prosedur dan kelemahan perhitungan biaya.

Perihal temuan audit internal itu dibenarkan seorang penyelidik Komisi. Menurut dia, proposal Netway adalah satu-satunya proposal yang diterima PLN Disjaya. Netway kemudian langsung ditunjuk sebagai pemborong (outsourcer) tanpa proses prakualifikasi dan kualifikasi. PLN Disjaya juga tidak membuat harga perhitungan sendiri, yang berfungsi sebagai acuan untuk menetapkan harga kontrak.

Seharusnya, ujar sumber Tempo, harga perhitungan sendiri sudah disiapkan PLN Disjaya sebelum memulai negosiasi dengan Netway, tapi harga itu baru diadakan setelah negosiasi berjalan pada 2003. ”Harganya sesuai dengan kesepakatan Netway dan PLN Disjaya.” Nah, untuk melancarkan proyek ini, ujar sumber itu, peran Eddie dominan. Ia, misalnya, mendorong Disjaya mengontrak Netway. Eddie juga disebutkan kerap menanyakan kepada pimpinan Disjaya perihal kontrak outsourcing yang tak kunjung terealisasi. ”Saking seringnya, sampai dirasakan sebagai tekanan,” kata sumber itu.

Eddie juga diduga mengabaikan prosedur pengesahan rapat umum pemegang saham untuk penandatanganan kontrak dengan Netway. Persetujuan komisaris hanya tersaji dalam bentuk surat persetujuan yang diteken Komisaris Utama Andung Nitimihardja (almarhum). ”Seharusnya rencana kontrak itu disahkan RUPS dulu,” ujar sumber itu.

Keterangan Eddie kepada komisaris, agar mendapatkan persetujuan, juga diduga tidak benar. Sumber PLN ini mencontohkan, kepada komisaris, Eddie mengatakan penunjukan langsung Netway sudah sesuai dengan ketentuan dan kajian hukum dari kantor hukum Reksa Paramitra, tim hukum internal PLN Disjaya, dan konsultan hukum Remy & Darus. Padahal, faktanya, kajian hukum Reksa Paramitra hanya berdasarkan hasil evaluasi tim outsourcing PLN Disjaya yang menilai semua ketentuan telah dipenuhi. ”Reksa tidak mengkaji sendiri kebenaran kontrak,” kata sumber itu lagi.

Maqdir membantah semua tuduhan yang menyudutkan Eddie ini. Penunjukan langsung Netway dan penetapan harga kontrak, menurut Maqdir, sepenuhnya kewenangan PLN Disjaya. Proses itu dilaksanakan oleh sebuah tim evaluasi outsourcing yang dibentuk General Manager PLN Disjaya. ”Terlalu jauh untuk dikaitkan dengan direktur utama,” katanya.

Penunjukan langsung itu, menurut Maqdir, juga sudah sesuai dengan Keputusan Direksi PLN Nomor 038 Tahun 1998. Tiga alasan yang disyaratkan juga terpenuhi. Pertama, adanya kondisi yang mendesak karena potensi kebocoran pembayaran rekening listrik yang tinggi. Kedua, sistem informasi ini spesifik karena hanya satu-satunya di PLN yang berbasis tata usaha langganan. Dan ketiga, adanya kontinuitas pekerjaan yang harus dijaga. ”Sejak awal, Netway terlibat pembuatan sistem ini dan memberikan dukungan teknis selama 2001-2003,” kata Maqdir.

Soal pengesahan rapat pemegang saham, ditegaskan Maqdir, itu telah diterima saat pembahasan anggaran tahunan. Sehingga persetujuan komisaris dalam bentuk surat itu tidak menyalahi aturan. Adapun dalam hal harga, kata dia, Eddie sama sekali tidak ikut menentukan. ”Di mana markup-nya, siapa yang melakukan, siapa yang diuntungkan, tidak jelas tuduhan KPK ini,” ucap Maqdir.

Meski telah menetapkan Eddie sebagai tersangka, sampai kini Komisi Pemberantasan Korupsi belum menahannya. Menurut Johan, tim penyidik masih melakukan pendalaman kasus ini. Johan juga tidak membantah tersangka kasus ini akan bertambah. ”Tunggu saja hasil pengembangan penyidikan,” katanya.

Anne L. Handayani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus