Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=1 color=brown><B>Suap DPR</B></font><BR />Para Jenderal di Pusaran Cek

Komisi Pemberantasan Korupsi menyiapkan dua opsi hukum bagi tiga mantan anggota Fraksi TNI/Polri yang tersangkut kasus cek pelawat. Ke mahkamah militer atau pengadilan koneksitas.

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERULANG kali hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi meminta Darsup Yusuf berbicara jujur. Kamis pekan lalu, hakim meragukan pengakuan bekas anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat itu. Kepada hakim, Darsup menyatakan tak tahu maksud pemberian traveller’s cheque atawa cek pelawat senilai Rp 500 juta yang diterimanya pada 2004. Demikian pula pemberinya, ia mengaku tidak tahu.

Pekan lalu, pensiunan mayor jenderal TNI Angkatan Darat itu dihadirkan sebagai saksi di persidangan Endin Soefihara, terdakwa penerima suap cek pelawat yang berkaitan dengan pemilihan Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Darsup bersama Inspektur Jenderal (Purnawirawan) Udju Djuhaeri, Laksamana Pertama (Purn) R. Sulistyadi, dan Marsekal Pertama (Purn) Suyitno adalah empat anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Fraksi TNI/Polri periode 1999-2004 yang disebut turut menikmati cek pelawat itu.

Kendati ia mengaku menerima uang itu, status lelaki kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 60 tahun lalu ini masih sebatas saksi. Dari empat anggota Fraksi TNI/Polri, baru Udju Djuhaeri yang diajukan sebagai terdakwa. Tiga yang lain, karena alasan status anggota militer saat itu, belum bisa diproses sebagai tersangka.

Persoalan status ini pula yang dijadikan dasar oleh pengacara Udju untuk mengajukan eksepsi atau nota keberatan. Pengacara Udju, Inu Kertopati, menilai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tak berwenang menyidangkan Udju. Alasannya, kedudukan Udju sebagai anggota Dewan atas dasar surat keputusan Panglima TNI. Meski dalam perjalanan kemudian polisi memisahkan diri dari TNI, menurut Inu, surat keputusan itu tak pernah dicabut. ”Sehingga seharusnya penyelidikan mereka dilakukan penyelidik koneksitas,” katanya.

Demikian juga penentuan peradilannya. Itu seharusnya berdasarkan penelitian bersama tim koneksitas, apakah masuk peradilan militer atau peradilan umum, seperti dimaksud Pasal 90 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Namun, dalam putusan sela, Jumat pekan lalu, majelis hakim menolak eksepsi Udju. ”Keberatan penasihat hukum terdakwa tidak dapat diterima dan perkara ini dilanjutkan,” kata ketua majelis hakim Nani Indrawati. Hakim menilai surat dakwaan jaksa penuntut umum sah sebagai dasar pemeriksaan.

Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Johan Budi S.P., mengatakan ketiga nama itu belum bisa diproses secara hukum. Ini berkaitan dengan status yang melekat pada mereka sebagai anggota militer. Nasib ketiga mantan anggota Komisi Keuangan dan Perbankan dari Fraksi TNI/Polri ini masih menunggu proses sidang pengadilan. Menurut Johan, telah ada dua opsi yang disiapkan untuk mereka: dikirim ke mahkamah militer atau ke Kejaksaan Agung untuk digiring ke pengadilan koneksitas. ”Tapi putusannya masih menunggu pengadilan,” katanya.

Perkara yang melibatkan Udju dan kawan-kawannya itu bermula saat Dewan menyelenggarakan seleksi calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Ada tiga nama yang disodorkan pemerintah untuk dipilih: Miranda Swaray Goeltom, Budi Rochadi, dan Hartadi A. Sarwono. Pemilihan yang diselenggarakan Komisi Keuangan dan Perbankan itu akhirnya memilih Miranda.

Di tengah proses pemilihan itulah sejumlah anggota Komisi Keuangan dan Perbankan kasak-kusuk. Sebelum pemilihan, menurut Darsup, ada pertemuan dengan calon Budi Rochadi di rumah makan Jepang di sebuah hotel di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Namun, menurut Darsup, dalam pertemuan yang berlangsung hingga pukul sembilan malam itu tak ada kesepakatan tertentu. ”Hanya perkenalan,” katanya.

Pertemuan dilanjutkan dua minggu kemudian di sebuah suite room Hotel Sultan. Undangan bagi anggota Fraksi TNI/Polri dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan urung karena Budi Rochadi batal hadir. Ada juga lobi ke kubu Miranda. Beberapa hari menjelang pemilihan, Darsup mengaku dihubungi staf Miranda. Anggota staf yang menelepon melalui nomor kantor itu menyampaikan, Miranda mengundang mereka minum teh di kantornya di Jalan Sudirman.

Darsup lalu menyampaikan undangan itu kepada tiga kawan sefraksinya. Sore harinya, berempat mereka menyambangi kantor Miranda. Dalam pertemuan tersebut, Darsup mengaku, tidak ada deal tertentu. Pertemuan yang berlangsung sekitar 45 menit itu hanya diisi perkenalan.

Uji kelayakan dan kepatutan calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dilaksanakan pada 8 Juni 2004. Udju, seperti pengakuannya kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, mengaku dihubungi Nunun Nurbaetie dan diminta menemui Ahmad Hakim Safari atau Arie Malangjudo di kantornya, PT Wahana Esa Sejati, Jalan Riau 21, Jakarta Pusat. Udju lalu menghubungi Arie, dan berjanji bertemu menjelang magrib.

Menurut Darsup, dua atau tiga hari setelah pemilihan, ia diajak Udju. Mereka berangkat berempat dengan satu kendaraan. Darsup mengaku menurut saja, tanpa menanyakan tujuan mereka. Darsup menyangka Udju akan mengajaknya makan. ”Karena hal ini biasa dilakukan,” kata Darsup di persidangan Kamis pekan lalu itu.

Mereka kemudian menuju sebuah kantor di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Di sana, mereka disambut seorang pemuda, diperkirakan Darsup berusia 28-30 tahun. Belakangan pemuda itu diketahui bernama Arie Malangjudo. Saat ketemu Arie, kata Darsup, Udju terlibat obrolan yang tidak ia ketahui. Sedangkan Darsup dan dua kawannya duduk menanti di sofa ruang tunggu.

Selanjutnya, Arie, menurut Darsup, membagikan amplop berwarna putih. Pertama kepada Udju, lalu kepada tiga anggota lain. Keterangan Darsup ini sedikit berbeda dengan keterangan Arie kepada penyidik. Arie menyebutkan ia menyerahkan jatah fraksi TNI/Polri itu dalam bungkusan berwarna cokelat. Bungkusan berisi empat amplop putih itu lalu disobek oleh Udju. Ia mengambil bagiannya, sisanya dibagikan ke tiga temannya. Kata Arie, Udju sempat memerintahkan rekannya membuka amplop masing-masing. ”Bapak-bapak, harap dibuka sekarang, jangan ada yang tidak puas dan saya jangan disalahin,” tuturnya.

Kemudian Udju dan teman-temannya menyobek amplop putih. Dan tanpa mengeluarkan seluruh isinya, mereka menghitung lembaran kertas yang ada di dalamnya. Melihat mereka menghitung, Arie sempat bertanya, ”Itu cek perjalanan ya, Pak?” Udju menjawab, ”Ya, ini traveller’s cheque dan anggap ini pensiun karena kita yang terakhir di DPR.”

Mendengar jawaban Udju, Arie bertanya, ”Apa Bapak mau pensiun?” Dijawab Udju, ”Bukan, nanti tidak ada lagi ABRI di DPR.” Setelah masing-masing menghitung, Udju sempat bertanya kepada tiga rekannya: ”Bagaimana, Pak?” Serempak menjawab, ”Cukup, Pak.” Kemudian mereka meninggalkan tempat itu.

Udju sendiri tak mau berkomentar perihal kasus yang tengah membelitnya itu. Kamis pekan lalu, saat keluar dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, ia menutup rapat-rapat mulutnya. ”Saya tak mau berkomentar,” katanya. Pengacara Udju, Inu Kertopati, mengakui Udju memang datang ke kantor Nunun. Tapi Inu menolak jika Udju disebut sebagai pemimpin rombongan pensiunan jenderal itu. ”Mereka sama-sama,” katanya.

Menurut sumber Tempo, kepada penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Nunun Nurbaetie menyangkal memberikan uang kepada anggota Dewan tersebut. Kepada wartawan, pengacara Nunun, Partahi Sihombing, juga berkali-kali menegaskan kliennya tidak pernah membagi-bagikan fulus ke Komisi Keuangan DPR.

Arie Malangjudo sendiri kini lenyap bak ditelan bumi. Kamis pekan lalu itu ia tak muncul di persidangan sebagai saksi. Sebelumnya, Tempo mendatangi kediaman Arie di kawasan Pondok Indah dan di Apartemen Hampton Park, Pondok Indah. Tapi, di dua tempat ini, para penjaga rumah menyatakan tuan rumah tidak ada. ”Dia memang sekarang seperti menyembunyikan diri. Ke kantor juga tidak pernah,” ujar seorang karyawan PT Sasaran Ehsan Mekarsari, tempat Arie kini bekerja, di kawasan Taman Buah Mekarsari.

Terkait dengan status keempat anggota Fraksi TNI/Polri ini, pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Rudy Satriyo Mukantardjo, menilai mereka bisa diajukan ke peradilan umum. Alasannya, apa yang dilakukan Udju dan kawan-kawannya bukanlah tindak pidana yang diatur oleh KUHAP Militer. Sehingga pengadilan atau Komisi Pemberantasan Korupsi memang berwenang memeriksa dan mengadili yang bersangkutan.

Dasarnya, menurut Rudy, mengacu pada perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan. Bukan status orangnya sipil atau militer. Korupsi, menurut Rudy, bukanlah tindak pidana yang diatur dalam KUHAP Militer. Apalagi perbuatan itu dilakukan saat mereka menjadi anggota Dewan, jauh dari tugas militer. ”DPR jelas bukan lembaga militer,” katanya. Sedangkan pengadilan koneksitas diterapkan bila ada sekelompok orang sipil dan militer melakukan tindak pidana militer.

Ramidi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus