Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BENTUK masjid itu meniru Masjid Baiturrahman di Nanggroe Aceh Darussalam. Memiliki sejumlah menara, masjid yang berdiri di kompleks perumahan DPR Pulo Gebang, Jakarta Timur, itu belum sepenuhnya rampung. Kendati demikian, tempat ibadah itu sudah memiliki nama, As-Syafaqoh.
Penggagas As-Syafaqoh adalah Sofyan Usman, 65 tahun. Anggota Komisi Keuangan dari Partai Persatuan Pembangunan periode 2004-2009 ini pula yang menggalang dana ke sana-kemari untuk pendirian masjid tersebut. Sumbangan yang diberikan untuk masjid itu, ujar Sofyan, sebagian dari hasil pencairan cek pelawat yang diterima beberapa saat setelah Miranda S. Goeltom terpilih sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Juni 2004.
Untuk urusan cek ini, Sofyan sudah diperiksa KPK. Saat itu, awal 2009, kepada penyidik ia berjanji mengembalikan duit Rp 250 juta dari lima cek itu. Ia minta waktu empat hari. ”Saya harus cari uangnya dulu, saya tak punya tabungan,” ujarnya saat ditemui Tempo di rumahnya di kompleks DPR Pulo Gebang, Jakarta Timur. Setelah pinjam kiri-kanan, kata Sofyan, akhirnya ia bisa mengembalikan duit itu.
Seperti Sofyan, Daniel Tanjung juga sudah diperiksa KPK berkaitan dengan cek pelawat ini. Kepada KPK, Daniel, 75 tahun, menyatakan cek yang ia terima itu ia titipkan kepada iparnya, Abdul Aziz. ”Karena saya takut kalau terpakai tidak bisa mengganti,” ujarnya kepada Tempo.
Kepada penyidik yang memeriksanya pada Juli silam, bekas anggota Komisi Keuangan dari Partai Persatuan Pembangunan itu berjanji mengembalikan duit tersebut sebelum Agustus 2009. Jumlah yang dititipkan ke Abdul cukup banyak, 25 lembar atau Rp 1,25 miliar. Menurut Daniel, cek itu dicairkan Abdul dan disimpan di rekening iparnya tersebut.
Pada 23 Oktober silam, Daniel diperiksa untuk ketiga kalinya oleh KPK. Saat itu ia menyatakan duit cek sudah dipakai Abdul Aziz. Abdul, ujar Daniel, minta waktu untuk menjual hartanya untuk mengembalikan duit dari cek tersebut. ”Uang itu kini sudah dikembalikan ke KPK,” kata Daniel. Menurut Daniel, ia dan seorang anggota staf Abdul yang mengantarkan duit tersebut ke KPK.
Kepada KPK, hampir semua anggota Dewan yang diperiksa mengaku sudah membelanjakan duit dari cek pelawat yang mereka terima. Darsup Yusuf, misalnya, memakai rezeki nomplok Rp 500 itu untuk membeli mobil, membayar utang, dan melakukan ibadah umrah.
Saat kasus ini mencuat, bekas anggota Komisi Keuangan dari Fraksi TNI ini segera mengembalikan duit itu ke KPK. ”Untuk mengembalikannya, saya menjual rumah,” ujar Darsup saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kamis pekan lalu.
Dilihat dari jumlah yang mengalir ke anggota Dewan, sekitar Rp 24 miliar, duit yang dikembalikan ke KPK sebenarnya terhitung kecil. ”Baru sekitar Rp 8 miliar,” ujar juru bicara KPK, Johan Budi S.P. Pengembalian duit ini, ujar Wakil Ketua Bidang Pencegahan KPK, M. Jassin, juga tidak otomatis membebaskan pelakunya dari jerat pidana.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Rudy Satrio Moekantardjo, sependapat dengan Jassin. ”Pengembalian barang bukti hanya bisa meringankan hukuman,” ujarnya. Adapun khusus untuk Agus Tjondro, bekas anggota Dewan yang ”membocorkan” cek pelawat itu, menurut Rudy, mestinya ia dibebaskan dari tuntutan. Kendati belum ada aturannya, Agus, menurut Rudy, bisa disebut whistle blower. ”Sebab, tanpa pengakuan dia, kasus ini belum tentu terungkap.”
Erwin Dariyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo