Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kementerian HAM Anggap SKCK Sebagai Diskriminasi Bagi Narapidana

SKCK dinilai menjadi penghalang bagi mantan narapidana untuk mendapatkan pekerjaan.

25 Maret 2025 | 08.30 WIB

Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan HAM Nicholay Aprilindo memastikan akan memberikan amnesti kepada 44.000 narapidana di seluruh Indonesia.
Perbesar
Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan HAM Nicholay Aprilindo memastikan akan memberikan amnesti kepada 44.000 narapidana di seluruh Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan Hak Asasi Manusia Kementerian Hak Asasi Manusia Nicholay Aprilindo menilai Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) sebagai diskriminasi terhadap narapidana. “Mereka ingin hidup normal, bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka, menghidupi diri dan keluarga mereka secara halal tanpa ada diskriminasi HAM berupa kewajiban SKCK,” kata Nicholay saat dihubungi pada Senin, 24 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nicholay menuturkan, para narapidana khususnya dari kalangan muda berharap mengubah kehidupan selepas menjalani masa hukuman tanpa terbebani SKCK dan stigma sebagai pelaku kriminal yang menghalangi mendapatkan pekerjaan. Pernyataan tersebut merupakan catatan Nicholay setelah melakukan kunjungan terhadap 12 lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Banten, dan Daerah Khusus Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Berdasarkan hasil kunjungannya yang dilakukan sejak akhir Januari hingga awal Maret 2025, Nicholay menyatakan kondisi bui di Indonesia belum sesuai dengan standar hak asasi manusia. Nicholay melaporkan, banyak lapas atau rutan yang mengalami kelebihan penghuni atau overcrowded.

Ia juga menjumpai tahanan lanjut usia yang berkisar antara 60 hingga 96 tahun dengan jumlah sekitar 10 sampai 70 orang. Adapula warga binaan yang menderita penyakit akut seperti diabetes dan tuberkulosis (TBC).

Selain itu, terdapat tahanan ibu hamil yang melahirkan anaknya dalam masa hukuman di lapas dan rutan. “Anaknya ikut dirawat, dibesarkan di dalam lapas atau rutan sampai berumur 1-3 tahun,” tutur dia.

Dalam kunjungan itu, Nicholay juga mendapatkan keluhan dari para penghuni tahanan atas perbuatan kriminal yang dituduhkan kepada mereka. Keluhan yang disampaikan, kata Nicholay, bervariatif. Terdapat narapidana yang mengklaim dirinya tidak melakukan perbuatan kriminal alias mendapatkan fitnah. Ada pula tahanan yang terpaksa mengakui perbuatan karena awam terhadap hukum sehingga hanya menuruti kehendak penyidik, penuntut, dan hakim saat persidangan.

Terdapat narapidana yang mesti melewati proses hukum tanpa didampingi pengacara karena tidak sanggup membayar, tidak mengetahui hak hukumnya, bahkan tidak mengetahui bahwa negara memfasilitasi pengacara atau bantuan hukum lantaran tidak diberitahu. Selain itu, ada juga narapidana yang secara sadar tidak mau menggunakan jasa pengacara karena takut hukumannya diperberat.

Nicholay mengatakan, pada umumnya motif para narapidana melakukan tindak kriminal adalah faktor ekonomi, lingkungan, dan pergaulan. “Mereka berharap setelah mereka menjalani hukumannya dan berkelakuan baik serta bertaubat tidak mau mengulangi perbuatannya.”

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus