Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Latah Jari Berujung Ciduk

Menangkal kabar bohong soal wabah corona, kepolisian gencar menggelar patroli siber. Belum ada auktor intelektualis.

4 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas menggiring empat orang tersangka penyebar berita bohong tentang Covid-19 saat rilis di Mapolres Blitar, Jawa Timur, 18 Maret 2020./ANTARA/Irfan Anshori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ibu rumah tangga di Surabaya dan Jakarta menjadi tersangka kasus penyebaran hoaks soal isu corona.

  • Kebanyakan pelaku penyebaran hoaks Covid-19 berasal dari kalangan ekonomi terbatas.

  • Polisi menangani lebih dari 70 kasus penyebaran kabar bohong atau hoaks soal wabah corona.

FOTO empat petugas rumah sakit yang mengenakan baju hazmat sedang menggotong seorang pasien diunggah Nur Fadillah ke salah satu grup di Facebook pada 5 Maret lalu. Ibu rumah tangga yang tinggal di Kota Surabaya itu juga mencantumkan keterangan bahwa pasien corona tersebut sudah masuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo. Ia mengingatkan anggota grup agar menjaga kesehatan dan selalu dalam lindungan Tuhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Unggahan itu justru menjadi bumerang bagi Fadillah. Keesokan harinya, ia diciduk tim Sub-Direktorat Kejahatan Siber Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jawa Timur. “Ibu ini membagikan info yang tidak diketahui kebenarannya dan menimbulkan keresahan masyarakat,” kata Kepala Sub-Direktorat Kejahatan Siber Polda Jawa Timur Ajun Komisaris Besar Catur Cahyono Wibowo saat dihubungi Tempo, Kamis, 2 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam pemeriksaan, Fadillah mengaku mendapatkan foto itu dari satu grup WhatsApp wali murid. Ia tak berniat membagikan berita bohong dan membuat resah masyarakat. “Cuma mau mengingatkan. Tidak ada unsur apa-apa,” ujar Fadillah. Dari keterangan tersebut, polisi menyadari Fadillah tidak paham soal isu yang diunggah di media sosial itu. Tim Polda Jawa Timur lantas mengajak Fadillah untuk menggelar konferensi pers dan meminta maaf ke publik. “Untuk mengedukasi masyarakat,” ucap Catur.

Nasib serupa dialami Ayanka—bukan nama sebenarnya. Warga DKI Jakarta ini diciduk empat penyidik Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI pada pukul 10 malam, pekan ketiga Maret lalu. Penyidik itu menyodorkan surat penetapan tersangka dan penangkapan terhadap Ayanka karena dianggap menyebarkan kabar bohong di Facebook. Ayanka pun mengingat-ingat lagi unggahan status mana yang membuatnya berurusan dengan polisi. Ternyata status itu diunggahnya pada awal Februari lalu.

Dalam status Facebook-nya, Ayanka menautkan tautan berita mengenai kematian tenaga kerja Cina di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, disertai keterangan yang mengutip Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang sangsi terhadap kemampuan Indonesia mendeteksi virus corona. Dia pun tak merasa menyebarkan kabar kibul, tapi hanya mengekspresikan kekhawatirannya terhadap penyebaran virus corona. Namun penyidik berkata kepada dia bahwa banyak yang melaporkan status tersebut ke kepolisian.

Setelah menjalani pemeriksaan semalaman di kantor Bareskrim Polri, Ayanka diperbolehkan pulang pada pagi harinya. Dia diminta membuat surat permohonan maaf dan wajib lapor tiap hari Senin. Meski demikian, status tersangka tetap tersemat untuk dia. “Saya memohon Pak Polisi untuk menerbitkan surat penghentian penyidikan. Saya tidak berniat memproduksi informasi bohong,” ujarnya.

 

•••

 

SEJAK virus corona muncul di Indonesia, kepolisian gencar menggelar patroli di dunia maya. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan dan Masyarakat Polri Komisaris Besar Asep Adi Saputra mengatakan, hingga Kamis, 2 April lalu, institusinya menangani 70 kasus hoaks soal isu Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). “Ranking teratas Polda Jawa Timur,” kata Asep. Rinciannya: Kepolisian Daerah Jawa Timur sebanyak 12 kasus dan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya 10 kasus. Sedangkan Polda Jawa Barat, Badan Reserse Kriminal Polri, dan Polda Lampung masing-masing 5 kasus.

Asep mengatakan tim siber menerapkan Pasal 28 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap para tersangka tersebut. Ancaman hukumannya maksimal enam tahun bui dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

Kepala Sub-Direktorat Kejahatan Siber Polda Jawa Timur Ajun Komisaris Besar Catur Cahyono Wibowo mengatakan timnya memang gencar menggelar patroli siber. Dalam satu satuan tugas, dia memiliki 13 personel yang bergantian ronda di Facebook, Instagram, Twitter, dan grup WhatsApp. Menurut Catur, para pelaku penyebar kabar bohong rata-rata berasal dari kalangan ekonomi terbatas dan pendidikan yang tidak tinggi. “Mereka menyebarkan hoaks karena latah dan karena ketidaktahuan,” ujar Catur.

Dari 12 orang yang ditangani Polda Jawa Timur, profesi para tersangka itu di antaranya ibu rumah tangga, petani, dan pedagang. Mereka antara lain berasal dari Blitar, Trenggalek, dan Jember. Di antara mereka tak ada yang menjadi auktor intelektualis atau memproduksi informasi tidak benar dengan tujuan membuat panik. “Mereka seperti orang yang mengalami fobia setiap mendengar isu corona,” katanya. Catur mengklaim kepolisian Jawa Timur tidak menerapkan hukum positif atau langsung memenjarakan para tersangka. Polisi mencoba menggunakan pendekatan keadilan restoratif dengan memberi tahu para tersangka soal kesalahannya.

Kementerian Komunikasi dan Informatika juga gencar menggelar patroli siber. Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate mengatakan timnya menemukan 424 konten hoaks hingga Jumat, 3 April lalu. Konten itu tersebar di berbagai platform media sosial, website, YouTube, dan pesan instan.

Menurut dia, ada dua tindakan yang dilakukan kementeriannya setelah menemukan konten hoaks. Untuk kasus ringan, Kementerian Komunikasi meminta platform digital seperti Facebook, Instagram, YouTube, dan Twitter menurunkan informasi itu atau melakukan pemblokiran. Tapi terkadang cara ini tak terlalu efektif. Penyebabnya, sejumlah pelaku langsung membuat akun baru setelah terjadi pemblokiran.

Kementerian juga bekerja sama dengan kepolisian untuk kasus yang tergolong berat. Apalagi jika pelakunya berulang kali menyebarkan kabar bohong. Kementerian Komunikasi langsung mengirimkan informasi penyebaran hoaks dan data pendukungnya ke kepolisian daerah supaya bisa dilakukan penegakan hukum.

Johnny mengklaim lembaganya bertindak cepat mengatasi penyebaran kabar bohong soal virus corona. Tim Kementerian Komunikasi pun segera memberi tahu para pengelola platform setiap kali ditemukan hoaks dengan harapan konten tersebut bisa segera diblokir dan penyebarannya tidak meluas. Tapi kerap kali akun penyebar hoaks tak kunjung diblokir. “Kami minta secepat-cepatnya. Tapi mereka lambat,” ujar politikus Partai NasDem ini. Menurut dia, informasi bohong soal virus corona perlu dibersihkan segera dari jagat maya supaya tak menimbulkan kekhawatiran dan kepanikan di masyarakat.

LINDA TRIANITA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus