Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA petugas percetakan milik Pemerintah Daerah Kabupaten Jombang, Jawa Timur, belakangan suka kerja lembur. Tapi Bisri, 39, Hadi Mulyono, 29, dan Edy Anwari, 31, demikian nama mereka, bukannya menyelesaikan tugas kantor. Sejak September tahun lalu, setelah jam kerja usai, mereka sibuk mencetak uang ringgit Malaysia dan kartu tanda pengenal pendatang dari Indonesla yang bermukim di negeri tetangga itu. Mereka kini tengah diperkarakan. Kisahnya, menurut seorang jaksa yang menyidik, berawal Agustus 1983. Ketika itu, H. Yunus, penduduk Desa Gempol Dampet, balik dari Malaysia. Tenaga kerja yang sering mondar-mandir Jombang-Malaysia itu mendapatkan pesanan dari seorang "bos" di Malaysia, Andi, untuk menjajaki pencetakan ringgit palsu di Indonesia. Yunus juga mendapat pesanan untuk mencetak kartu tanda pengenal (identity card) tenaga kerja Indonesia yang memang lagi laku keras di Malaysia. Setibanya di kampung, Yunus mengontak Bisri, kakak iparnya, yang kebetulan bertugas di bagian percetakan Kabupaten. Pembicaraan itu pun menjadi matang, setelah Yunus bersua dengan Edy Anwari, teknisi percetakan itu. Dengan contoh uang pecahan M$ 50, Edy merancang teknis pencetakannya. Cetakan pertama, seperti disepakati dalam perjanjian, sebanyak 1.000 Iembar atau bernilai M$ 50.000 (Rp 22 juta lebih). Ongkos cetak tiap lembar Rp 400. Sebagai tanda jadi, Edy Anwari dan dua orang temannya menerima uang muka Rp 200.000, sekaligus untuk pesanan pembuatan identity card. Kerja Edy dan temannya itu sama sekali tidak diketahui karyawan percetakan atau orang lain. Mereka memang biasa kerja lembur. Untuk menyarukan kegiatan gelap itu, mereka membuat pula model "ringgit palsu", berupa gambar uang M$ 50 di satu sisi dan di belakangnya ada kolom nama, agama, umur, dan alamat calon pemegang - bentuknya mirip undangan ulang tahun remaja yang banyak dijual di toko-toko buku. "Ini adalah tanda pengenal bagi tenaga kera di Malaysia asal Jombang," kata Edy, bila kepergok pegawai lain yang kebetulan mampir ke percetakan. Namun, kenyataannya, Edy, Bisri, dan Hadi Mulyono memang mencetak ratusan lembar ringgit palsu bernilai M$ 50. Berapa yang sudah dikirim ke Malaysia dan beredar di sana, polisi belum mengungkapnya, karena barang bukti yang disita hanya tujuh lembar dari tangan Yunus. Konon, Yunus bertolak ke Malaysia untuk menunjukkan bukti pencetakan ringgit palsu itu kepada pemesannya, Andi, tapi si pemesan rupanya tidak puas dengan uang palsu itu karena belum dilengkapi dengan tanda tangan dan nomor registrasi. Edy merasa kecewa, mendengar dari adik iparnya, Yunus, bahwa uang palsu yang dicetaknya tidak disetujui pemesan. Selesai menghilangkan jejak dengan membakar sisa uang palsu yang dicetaknya, 16 September lalu, ia melapor kepada polisi yang segara menangkapi mereka. Agaknya, tindakan Edy dan kawan-kawan itu justru membuat repot polisi Jombang. Barang bukti dari tangan Yunus belum bisa dikategorikan sebagai mata uang Malaysia palsu. "Barang buktinya memang belum cukup," kata Letnan Kolonel Polisi Adnan Sya'bah, kapolres Jombang, kepada TEMPO. Yang menyulitkan lagi, kasus itu terbongkar setelah pelakunya sendiri melapor. Walau demikian, pihak polisi mempunyai alasan untuk mengusut para pemalsu mata uang Malaysia itu. "Tindakan mereka bisa disebut membuat hubungan tidak harmonis antara Indonesia dan Malaysia," katanya. Ada kemungkinan, ketiga pegawai Pemda Jombang itu diancam tuduhan subversi. Polisi masih berharap, pembuktian akan semakin meyakinkan, bila dua anggota interpol yang mengusutnya di Malaysia menemukan bukti pemalsuan uang itu. Sambil menunggu kelengkapan penyidikan, polisi telah pula melimpahkan berkas perkara itu ke kejaksaan. "Pihak kejaksaan pasti akan melanjutkannya ke pengadilan," kata kepala Kejaksaan Negeri Jombang Jusuf Sembiring Pandia kepada TEMPO. Kini, katanya, Kejaksaan Negeri Jombang tinggal menunggu petunjuk dari atasannya mengenai tuduhan yang akan dibebankan kepada tersangka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo