Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKBAR Tandjung terenyak ketika mendengar dokumen Toyota Land Cruiser miliknya ternyata palsu. Ingatannya langsung ke 1999, ketika ia membeli mobil itu di Astra Utama di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Mobil abu-abu B-8677-VG itu ia beli dengan cara kredit. Uang mukanya sekitar Rp 300 juta. Sisanya, kurang-lebih Rp 400 juta, dicicil. ”Tanya ke Astra,” ujar mantan Ketua Umum Partai Golkar itu kepada Tempo. ”Saya beli langsung ke orang Astra.”
Politikus di Senayan yang kesandung mobil bodong adalah Akil Mochtar. Dari kalangan artis, ada Herman Felani. Nama mereka tercatat dalam dokumen penyelidikan mobil mewah Kepolisian Daerah Metro Jaya. Isi berkas setebal 63 halaman, yang diterima Tempo pekan lalu, itu mengungkap 350 unit mobil mewah bermasalah.
Akbar memang gemar membeli mobil bertenaga besar, yang umumnya boros bahan bakar. Sebelum membeli Toyota Land Cruiser, doktor ilmu politik itu sudah mengoleksi Mitsubishi Pajero, yang harganya ratusan juta rupiah. Akbar juga membeli sedan Volvo. ”Land Cruiser sudah saya jual ke adik ipar di Solo, kemudian dijual lagi,” tutur mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu. Kok, bodong?
Staf Astra Utama di Jalan Sudirman yang dihubungi Tempo menjelaskan, Land Cruiser milik ”Bang Akbar” bukan mobil built-up. Mobil itu dirangkai di Indonesia. Itu sebabnya kode pada kerangka mobil mencantumkan ”MHF”. Adapun mobil impor, kodenya bergantung pada negara asal.
Setelah dicek, nomor rangka mobil, yaitu MHF11TJ8009004120, dan nomor mesin, 1H00182241, tak dikenal. ”Kemungkinan nomor rangka dan nomor mesin sudah diganti,” kata staf yang tak mau dikutip namanya itu.
Riwayat mobil Akil Mochtar, yang juga Toyota Land Cruiser VX 2002, lain lagi. Dokumennya diketahui palsu saat perpanjangan surat pada 22 Juli 2004. Namun Akil membantah mobil B-507-LQ itu miliknya. ”Saya tak pernah punya Land Cruiser,” ujarnya. Mobil yang dia koleksi adalah Honda CRV 2006. Akil mengaku tiga tahun sebelumnya membeli Nissan dan BMW 318i.
Perpanjangan pajak jualah yang mengungkap kisah suram mobil Herman Felani. Tahun pembuatannya diubah dari 2002 menjadi 2006. Mobil jip Hyundai Santa Fe 2.4G.MT itu menjadi lebih muda umurnya ketimbang aslinya. Menurut Mutia Datau, istri artis yang pernah beken pada 1970-an itu, mobil B-8052 buatan Korea itu dibeli dari dealer resmi, dengan menggunakan fasilitas kredit Bank Indomonex Cabang Pasar Baru. Masa kreditnya tiga tahun, dengan harga sekitar Rp 250 juta. ”Mobil itu baru lunas sembilan bulan lagi,” kata Mutia.
Mobil mewah bermasalah bukan cuma merek Toyota dan Hyundai. Kendaraan mahal kelas dunia seperti Rolls-Royce, Mercedes-Benz, BMW, Volvo, Hummer, Ferrari, dan Lamborghini juga berderet dalam tabel berkas penyelidikan polisi yang dirangkum selama 1999-2004 itu. Rolls-Royce atas nama Lili di Jalan Ciomas, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, misalnya.
Dalam dokumen disebutkan bahwa mobil ini diblokir suratnya lantaran memiliki nomor ganda, yaitu B-256-OI dan B-626-JW. Begitu pula sedan Jaguar B-323-QL hitam milik warga di Kalideres, Jakarta Barat, yang surat-suratnya dinyatakan palsu.
Di mana mobil-mobil itu sekarang berada? Sulit dilacak. Sebagian malah masih berkeliaran. Seperti mobil Hummer H3 milik seorang penting di Jakarta. Mobil tak bersurat itu pernah dicegat polisi ketika melintas di Jalan Raya Caruban, tepatnya di Desa Ngampel, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, awal September lalu.
Mobil B-8315-MP seharga Rp 2-3 miliar itu memakai pelat nomor palsu milik sedan Peugeot 505 keluaran 1986. Runyamnya, tanpa melalui proses hukum, dua pekan kemudian mobil mulus buatan 2006 itu ngebut balik ke Jakarta. ”Surat-suratnya ada,” kata Kepala Kepolisian Resor Madiun Ajun Komisaris Besar Andhy Hartoyo. Namun seorang polisi berbisik kepada Tempo, ”Pemiliknya orang bintang. Itu mobil 10 jari.” Artinya, tak sembarang orang punya dan jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sigit Sudarmono membantah mobil sitaan tak jelas keberadaannya. Apalagi bebas berkeliaran. ”Mobilnya ada, kami titipkan di suatu tempat,” katanya, tanpa merinci ”tempat” tadi. Ketika Tempo mengecek di area parkir Polda Metro Jaya, tak ditemukan kendaraan sitaan dalam jumlah ratusan. Di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara di Jakarta Timur pun tak tampak mobil sitaan polisi, walau sebiji.
Ada kalanya mobil tak jelas ini diimpor melalui agen tunggal pemegang merek yang melayani pesanan seseorang. Tak jarang mobil didatangkan dengan memanfaatkan jalur diplomatik, plus bantuan aparat dan pejabat. Contohnya pengiriman tiga mobil mewah yang dibongkar di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, awal bulan lalu.
Pengirimannya ditujukan kepada tiga perwakilan negara di Jakarta. Namun, setelah terkuak, mobil jenis Lamborghini seharga Rp 3,8 miliar, Rolls-Royce Phantom Rp 6 miliar, dan Ferrari Rp 2 miliar itu tak diakui sebagai pesanan. Modus ini sudah biasa dipraktekkan agen yang mendapat pesanan ”orang kuat”—dan tentu saja berduit.
Setelah tiba di pelabuhan, mobil tak langsung didaftarkan ke Departemen Perindustrian atau Departemen Perdagangan. Juga tak perlu dilaporkan ke Bea-Cukai dan kantor pajak. Peran pejabat, selain membiarkan barang ilegal itu lolos dari pelabuhan, juga ”membantu” proses pembuatan dokumen.
Berdasarkan berkas penyelidikan, aparat di tingkat direktur lalu lintas sampai pengetik berkas kompak bahu-membahu. Mereka kongkalikong dengan tauke yang membuka biro jasa pengurusan surat kendaraan. Padahal tauke inilah yang mendatangkan mobil mewah ilegal berikut pencetak blangko kosong untuk pembuatan faktur, STNK, dan BPKB.
Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Adang Firman membantah aparatnya ikut dalam sindikat perdagangan mobil gelap. ”Dari kami enggak ada,” ujarnya singkat. Agung Kuswandono, Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai, juga menyangkal anak buahnya berkongsi dengan penyelundup. ”Kalau ada, langsung saya hajar,” katanya.
Elik Susanto, Arti Ekawati, Dianing Sari, Dini Mawungtyas (Madiun)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo