RUMAH Sakit Palangkaraya, yang biasanya sepi, mendadak kebanjiran pengunjung. Sepanjang hari, tak henti-hentinya orang berdesak-desakan di ruang perawatan VIP rumah sakit itu. Petugas kewalahan mengatur giliran besuk. Pengunjung umumnya membawa oleh-oleh, mulai dari ubi sampai selimut. Pasien istimewakah yang dirawat di situ? Guntur, 12 tahun, pasien yang menyedot perhatian warga Palangkaraya itu, bukanlah bocah ajaib. Tapi ia adalah potret nestapa seorang bocah kita. Penderitaan anak bungsu dari 10 bersaudara itu tak disangka banyak orang. Bayangkan, sekitar satu tahun, anak itu telantar di rumah kakak kandungnya sendiri, di kompleks Perumnas II, Palangkaraya. Tabir yang menerpa Guntur terkuak akhir September lalu. Seorang tetangga, Ratna, yang sehari-harinya bekerja di RSU Palangkaraya, mencium ada ketidakberesan di rumah sebelah. Hampir setiap malam, bahkan di saat-saat rumah Guntur kosong, ia mendengar erangan menyayat. Semula suara itu disangkanya rengekan biasa seorang bocah. Tapi ia curiga, karena di rumah tipe 36 itu tak ada bocah kecil. Yang ada hanya dua penghuni kakak beradik: Ernawati, dan Sri Susanti. Kecurigaan itu mendorong Ratna mendatangi rumah Ernawati. Di situ kebetulan hanya ada Sri Susanti, sementara si kakak, Ernawati, sedang ke luar kota. "Siapa yang menangis tengah malam?" tanya Ratna. Sri nampak gelagapan. Ia menunjuk, pada sebuah kamar sempit pojok belakang. Seketika, Ratna terkesiap. Di situ Guntur tergolek di atas dipan beralaskan lembaran plastik, dan tertutup kelambu. Tubuhnya kurus kering, kakinya menelungkup. Yang menyedihkan, Guntur hampir tak mampu bicara. Kamar "penyekapan" itu sendiri sangat gelap, tak ada ventilasi udara. "Ketika saya mendekat, ia menangis," tutur Ratna. Bahkan, yang membuat Ratna bergidik, ia melihat Guntur melahap benda apa saja yang ada di dekatnya termasuk selimut dan kotorannya sendiri. Tak tahan melihat pemandangan itu, Ratna segera memberi tahu Sjachjar, tokoh masyarakat setempat, yang juga anggota DPRD Kalimantan Tengah. Saat itu juga, Guntur dibawa ke rumah sakit. "Kesehatannya sudah membaik, malah sekarang sudah bisa duduk," tutur dr. Mustaring, yang sejak awal menangani Guntur. Menurut Mustaring, Guntur adalah penderita epilepsi -- artinya ia sudah lama lumpuh. Cuma Mustaring belum bisa memastikan, apakah keadaan itu sudah bawaan sejak lahir. Tapi akibat keluarganya menelantarkannya semacam itu, kondisi mentalnya payah. "Ia terkena retardasi mental dan motorik," tambah Mustaring. Sementara itu, pihak kepolisian hingga kini terus mengusut penyebab penyekapan itu. Menurut Dan Serse Polres Palangkaraya, Letnan Satu Mohamad Thagor, dari penyidikan sementara disimpulkan, ada tanda-tanda kakak-kakak Guntur sengaja menelantarkan bocah itu. Dua kakak kandung korban, Nyonya Rantian dan Jemalis Agau, Sabtu pekan lalu dimintai keterangan polisi. Rantian, yang guru SD itu, menyebut Guntur menderita lumpuh sejak berusia empat tahun. "Sejak kecil ia sakit-sakitan. Sewaktu ia dalam kandungan, Ibu pernah jatuh," katanya. Pada Agustus 1989, Guntur dibawa ayahnya, Andelkong, dari desanya, Tumbang Jutuh, Kabupaten Kapuas -- sekitar 80 km dari Palangkaraya -- ke tempat Rantian. Alasannya, sejak kematian istrinya, Andelkong tak mampu lagi mengasuh dan memberi nafkah anak itu. Sejak itu hingga sekarang, Andelkong belum pernah menengok Guntur. Rantian sendiri Mei 1990, karena harus pindah mengajar, melimpahkan tanggung jawabnya kepada adiknya, Ernawati. "Setahu saya, perlakuan terhadap Guntur sangat baik," kata Rantian. Hanya diakuinya, ia tidak mengikuti perkembangan Guntur selanjutnya, setelah anak itu diasuh Erna. Ernawati yang sehari-hari pedagang keliling, masih berada di luar kota. Agaknya, para kakak Guntur menelantarkan anak itu hanya gara-gara merasa dapat beban dari orangtua mereka tanpa mereka inginkan. Aries Margono, Agus Basri (Palangkaraya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini