Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAKIM di Pengadilan Agama Tarempa, Pulau Siantan, Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, Aab Abdul Wahab, memutuskan tak pulang kampung saat Idul Fitri pada akhir April 2023. Tujuannya cuma satu: bisa menabung. Tarempa di tengah laut, sekitar 10 jam perjalanan menggunakan feri dari Pulau Batam. “Untuk ongkos pulang kampung saja habis Rp 20 juta pulang-pergi bertiga,” kata bapak satu anak itu kepada Tempo pada Kamis, 10 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kampung halamannya berada di Majalengka, Jawa Barat. Rupanya, dua hari setelah Lebaran, ayahnya masuk rumah sakit. Namun ia tetap tak kuat mudik karena kantong menipis. Gajinya sebagai hakim tak cukup. Akhirnya, ia baru bisa membawa anak dan istrinya pulang untuk menjenguk sang ayah saat Idul Adha pada tahun yang sama. Ketika pulang itu ia juga harus merogoh kocek sekitar Rp 10 juta untuk keperluan tambahan lain. “Saat itu ayah sudah tiga kali keluar-masuk rumah sakit,” ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berusia 36 tahun, Aab kini berstatus hakim pratama muda. Ia dilantik menjadi hakim pada 2020. Dia bertugas di Tarempa sejak Agustus 2021. Karena bertugas di wilayah perbatasan, ia mendapat bantuan dana untuk sewa rumah Rp 15-16 juta setahun. Tapi harga sewa rumah layak huni berdinding tembok di Tarempa sudah mencapai Rp 25-30 juta per tahun. Aab akhirnya mengontrak rumah berdinding kayu dengan biaya sewa Rp 1,6 juta per bulan atau Rp 19,2 juta per tahun. “Itu pun susah mencarinya,” ujarnya.
Kondisi serupa dirasakan hakim di Pengadilan Agama Kuala Tungkal, sekitar 120 kilometer arah utara Kota Jambi, Fitrah Nurhalim, 34 tahun. Pria yang menjadi hakim sejak 2020 itu juga mengontrak rumah di sana. Masalahnya, ia dan keluarganya kesulitan mendapatkan air bersih hingga harus mandi dengan air hujan yang ditampung di tandon. “Rumah kami juga sering kemasukan ular dan biawak,” ucapnya.
Fitrah merasa penderitaannya berlalu setelah dimutasi ke Pengadilan Agama Muara Bulian, Jambi. Masalahnya, ia harus menggunakan uang pribadi karena uang pindah tak mencukupi. Sebagai hakim pengadilan agama, Fitrah sehari-hari mengurus kasus perceraian yang umumnya disebabkan oleh masalah ekonomi. “Saya kadang juga ikut menangis karena masalah ekonomi menjadi isu saya,” tuturnya.
Selain urusan rumah, mutasi rupanya menjadi tantangan lain bagi para hakim. Hakim Pengadilan Agama Bantaeng, Sulawesi Selatan, Nova Noviana, 29 tahun, juga memilih tinggal di rumah kontrakan bersama suami dan anaknya. Belum bulat hatinya untuk mencicil pembelian rumah di Bantaeng. “Karena bisa ada mutasi, tidak ada jaminan selamanya di sini,” ujarnya.
Aab Abdul Wahab, hakim Pengadilan Agama Tarempa di Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, di kantor Tempo, Palmerah, Jakarta, 10 Oktober 2024./Tempo/Ilham Balindra
Hakim kerap berpindah lokasi kerja. Aab Abdul Wahab meninggalkan sementara Tarempa sejak Februari lalu. Rata-rata dalam setahun Aab dan dua hakim lain di Tarempa menangani 150 perkara. Itu sebabnya ia diperbantukan menjadi hakim di Pengadilan Agama Tembilahan, Indragiri Hilir, Riau, yang lebih sibuk. Saat pindah sementara, dia juga membawa istri dan anak tunggalnya.
Akibat harus berpindah, Aab sempat mendapat cobaan. Ia bercerita, saat pindah bersama anak-istri, dia butuh dua hari menempuh perjalanan dari Tarempa menuju Tembilahan lewat jalur laut dan darat. Sang istri yang sedang mengandung anak kedua mengalami keguguran setelah sampai di Indragiri Hilir. “Mungkin belum rezeki atau karena kecapekan, akhirnya keguguran,” ucap Aab.
Menginginkan nasib mereka diperbaiki pemerintah, Aab, Fitrah, dan puluhan hakim muda lain di berbagai daerah berangkat ke Jakarta menemui sejumlah pihak. Mereka tergabung dalam gerakan Solidaritas Hakim Indonesia. Salah satu aksi mereka adalah mengambil cuti bersama selama 7-11 Oktober 2024. Seruan ini diklaim diikuti ratusan hakim lain di berbagai daerah.
Salah satu poin aksi mereka adalah menuntut kesejahteraan. Saat ini aturan penggajian hakim masih merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung. Masalahnya, gaji dan tunjangan jabatan saat ini dianggap sudah tak lagi mempertimbangkan kebutuhan layak bagi seorang hakim. “Sudah 12 tahun tak ada perbaikan,” tutur juru bicara Solidaritas Hakim Indonesia, Catur Alfath Satriya.
Kondisi di dalam salah satu rumah dinas hakim di daerah Kuala Tungkal, Jambi, 2024/istimewa
Dua tahun setelah menjabat, Presiden Joko Widodo sebetulnya sempat merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 dan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2016. Meski lebih berfokus pada hak pensiun, regulasi ini menambah lebih detail daftar zona wilayah untuk tunjangan kemahalan. Contohnya Natuna dan Tarempa diatur khusus sehingga masuk zona 3 khusus dengan tunjangan kemahalan Rp 10 juta per bulan.
Di sinilah persoalan lain muncul. Di Tarempa, hakim menerima tunjangan kemahalan untuk memenuhi kebutuhan belanja harga bahan kebutuhan pokok yang memang lebih mahal. Tapi, di daerah lain, pelaksanaan tunjangan kemahalan ini disinyalir tak konsisten. Catur Alfath mencontohkan daerah lain yang masuk zona 3 khusus, yaitu Buli di Halmahera, Maluku Utara. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2016, Buli termasuk zona 3 khusus, sama seperti Tarempa.
Tapi tak ada hakim di Buli yang mendapat tunjangan kemahalan sesuai dengan zona 3 khusus karena belum ada nomenklatur Pengadilan Negeri Buli. Akhirnya tunjangan merujuk pada Maluku Utara di zona 3, yaitu Rp 2,4 juta per bulan. “Jadi implementasinya masih kacau,” kata Catur, yang juga hakim di Pengadilan Negeri Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Pada 2018, sebanyak 17 hakim mengajukan gugatan atas sejumlah pasal di Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 ke Mahkamah Agung. Ada tiga pasal dan aturan soal tunjangan kemahalan yang mereka gugat. Majelis hakim kemudian mengabulkan sebagian gugatan dan menyatakan Pasal 3, 5, dan 11 bertentangan dengan sejumlah undang-undang dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Masalahnya, setelah gugatan itu, tak ada aturan baru yang dibuat pemerintah. “Akhirnya penghasilan kami jadi ilegal karena tidak ada dasar hukumnya,” ucap Catur.
Jokowi sebetulnya sudah merespons putusan MA itu dengan menerbitkan revisi kedua lewat Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2022. Namun gaji pokok dan tunjangan tetap mengacu pada angka-angka di Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012. Itulah yang akhirnya membuat para hakim melakukan protes. Sebab, sudah satu dekade lebih tak ada perbaikan pada kondisi kesejahteraan mereka.
Keluh kesah para hakim ini ternyata sudah sampai ke telinga para hakim agung di Mahkamah Agung, jauh sebelum munculnya aksi cuti bersama. Hakim agung Prim Haryadi tidak menafikan adanya ketidakadilan yang dirasakan para hakim. Masalah kesejahteraan ini kerap dibandingkan dengan kenaikan gaji pegawai negeri yang naik saban tahun. Padahal sudah 12 tahun tak ada perbaikan pada gaji hakim. “Beberapa tunjangan yang sudah diatur juga belum direalisasi pemerintah,” ujarnya.
Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin mengklaim sudah mengetahui persoalan para hakim di pengadilan agama dan pengadilan negeri lain. Ia mencontohkan ada pengadilan agama yang hakimnya hanya tiga orang, tapi jumlah perkara yang ditangani mencapai 2.000. Itu sebabnya dia memasukkan usul perbaikan gaji dan tunjangan hakim ke Kementerian Sekretariat Negara lima bulan lalu. Syarifuddin meyakini kenaikan itu sudah disetujui. “Cuma, besarannya belum tahu,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Moh. Khory Alfarizi dan Riky Ferdianto berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Wakil Tuhan Mandi Air Hujan"