Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ketika emi kumat

Wi alias Nurhaedi,40, karyawan PTP xiii di desa andungbiru, Probolinggo, tewas ditangan istrinya, Emi alias Miyarni. tubuh wi tercabik 28 sayatan. diduga Emi menderita psychosa.

27 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Mate la engkok," teriak Wi. Ibu tiga anak itu bukan kanibalis. Garagara kesal tak digubris, tubuh suami dicincang. Peristiwa itu menimpa Wi alias Nurhaedi, 40 tahun, karyawan PTP XXIII di Desa Andungbiru, Kecamatan Tiris, Probolinggo, Jawa Timur. Ia dihabisi istrinya, Emi alias Miyarni, 35 tahun, Rabu pekan lalu. Menurut Samud, Kepala Desa Andungbiru, pasangan pemetik teh asal Madura itu bersamasama menonton televisi di rumah tetangga, beberapa jam sebelum pembantaian. Dua anaknya, Ahmad, 12 tahun, dan Syafei, 10 tahun, diajak pula. Si bungsu Lukman, 8 tahun, menginap di rumah kakak Wi, di luar kompleks perumahan karyawan perkebunan itu. Malam itu Emi rupanya digelut gelisah. Usai menidurkan kedua anaknya di kamar depan, ia bergegas mengambil celurit di dapur lalu ia dengan benda tajam tadi menyabet suaminya yang sudah terlelap di kamar belakang. Wi berteriak, "Mate la engkok. " Teriakan "mati aku" itu membangunkan kedua anaknya. Mereka memburu ke kamar belakang dan menyaksikan ibunya menghunjamkan celurit ke tubuh Wi. Mereka memekik menyadarkan ibunya. Ahmad, yang berusaha merebut celurit, malah dibentak ibunya yang kalap itu. Ahmad mengambil botol dan mencoba memukul paha dan tangan Emi. Gagal. Ahmad lalu menggigit tangan ibunya. Celurit lepas dan dilarikan Ahmad ke luar rumah. Kemudian Ahmad lari ke rumah Sabar, kakak Emi, yang letaknya sekitar 100 meter dari rumahnya. Melihat celurit yang bersimbah darah dan laporan singkat dari keponakannya, Sabar bergegas ke rumah adiknya itu. Tapi pintu rumah Emi terkunci. Tetangga berkerumun di depan rumah. Samud segera dihubungi. Samud menyuruh tetangga melapor ke Polsek Tiris. Sabar dan Imam Nawawi, mandor kepala perkebunan, diperintahkan menjebol atap yang terbuat dari asbes. Kedua orang itu bergerak. Nawawi menyorotkan senter dari lubang dan melihat Emi jongkok di samping tubuh suaminya di lantai seraya menggores biji mata Wi dengan keris. Mulutnya menggeram seperti suara binatang buas. Di tempat tidur, yang sudah porakporanda kena simbahan darah, teronggok usus yang sudah dikeluarkan dari tubuh Wi. Tak kuat melihat pemandangan itu, Sabar melorot. Ia muntah-muntah dan pingsan. Sekitar pukul 01.30 polisi datang, setelah dua jam mendaki jalan yang jaraknya 15 km itu. Ketika polisi naik ke atap dan melongok lewat lubang asbes, yang tampak cuma tubuh Wi yang tercabik. Emi ternyata sudah pindah ke ruang lain. Ia jongkok, termenung di sudut ruang makan. Tangannya menggenggam keris dan celurit. Setelah celurit dirampas anaknya, ia ternyata mengambil celurit yang lain. Lewat celah itu polisi memukul tangan Emi dengan kayu bercabang, sampai kedua benda tajam tadi jatuh. Emi diam saja. Ia juga tak melawan ketika polisi mendorongnya ke sisi lain. Samud kemudian mendobrak pintu belakang dan polisi memborgol tangan wanita itu. Kenapa Emi yang dikenal pendiam itu tegas bertindak sadis? Menurut Emi kepada sebuah koran di Surabaya, ia kecewa kepada suaminya karena keluhannya tidak pernah digubris. Padahal ia sedang sakit. Bekas operasi steril yang menyebabkan perutnya panas itu sering kumat. Namun, menurut Samud, Wi menduga lain. Sore sebelum kejadian, Wi mengatakan kemungkinan penyakit hilang ingatan yang diderita Emi kumat lagi. Istrinya gampang marah sejak dua bulan silam. Dan sehari sebelum peristiwa nahas itu Emi berkelahi dengan iparnya, Halimah gara-gara sakit panas di perutnya itu. Tahun 1988 Emi pernah sakit ingatan. Atas persetujuan keluarga, ia dipasung di kebun di dekat rumahnya, sebelum sebulan dirawat di Rumah Sakit Jiwa Patrang, Jember. Tanda itu muncul lagi dua bulan silam. Ia sering membantah perintah mandor perkebunan. Daun teh yang harusnya disimpan di tempat teduh malah dijemur. Kalau ditegur, ia ngeloyor pergi seraya marahmarah. Menurut diagnosa dari pihak Puskesmas Tanggul, Emi menderita psychosa. Psychosa, kata Dr. Daldiri kepada K. Candra Negara dari TEMPO, gangguan jiwa yang menyebabkan seseorang tak mampu membedakan dirinya dengan realita di sekelilingnya. Menurut ahli jiwa di RSUP Dr. Soetomo itu, penyakit tersebut tidak bisa sembuh. Artinya, penderitanya sewaktu-waktu bisa gampang kumat. Kini Emi menampik bicara dan menolak makan. Dan tak betul Emi kanibalis, seperti diberitakan banyak koran. Dari hasil visum, menurut Letnan Kolonel Fadhilah Budiono, Kapolres Probolinggo, meski tubuh Wi tercabik 28 sayatan, tetapi tidak ada satu pun organnya yang hilang. Sri Pudyastuti R.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus