KERAP kisah sodomi di zaman "Sodom dan Gomora" berulang. Kali ini terjadi di lingkungan sekolah, di SD Negeri Tugurejo, Semarang. Pemerannya, menurut polisi, dua guru, Ahmad Saroni, 27 tahun, dan koleganya, Agus, 30 tahun. Cerita ini bertambah hush karena korbannya sekitar selusin anak didik mereka yang duduk di kelas lima dan enam. "Karena itu, perkara mereka itu kami usut," ujar Kapoltabes Semarang, Kolonel H. Gunawan. Adalah Waluyo, penjaga malam di sekolah itu, yang mengintip Saroni dan Agus melakonkan cinta sejenis. Adegan majenun tadi berlangsung di ruang kesehatan sekolah itu, Jumat malam dua pekan silam. Keduanya bebas berada di ruangan ini karena kepala sekolah, A. Choesin, sebelumnya sudah memberi izin pada mereka untuk mondok di situ. Setelah Waluyo melaporkan kelakuan mereka itu, sejumlah pemuda bersama seorang anggota polsek setempat menggerebek. Dan dalam pemeriksaan polisi, Saroni tidak hanya mengaku melakukan adegan itu berdua saja, dengan Agus. Dari mulut penduduk Kelurahan Gergaji itu meluncur pengakuan: korban juga anakanak didiknya. Tapi Agus mengaku hanya dengan Saroni bersodomi. Saroni mengajar di SD itu sudah dua tahun. Walau sebagai guru honorer untuk bidang studi keterampilan dan pramuka, ia sukses mengangkat nama sekolah tersebut, seperti merebut gelar juara lomba keterampilan antar SD seKota Semarang dan ikut dalam Jambore Nasional. Perangainya yang buruk itu luput dari amatan Choesin. Saroni, yang sudah biasa melakukan perbuatan itu dengan Agus, rupanya jenuh. Karena itu, ia pun mulai melirik anak didiknya. Sebagai mangsa awal, Saroni membujuk seorang murid di kelas lima sebut saja namanya Andi. Anak ini diberinya les privat, sendiri, pada sore hari. Bahkan ia mengiming-imingi memberi ilmu batin agar nanti Andi pintar dan sakti, yakni berupa tulisan Arab dibungkus kain putih. Syaratnya, Andi harus mau bersodomi dengan Saroni. Mulanya Saroni mengelus paha dan kelamin Andi. Setelah itu ia maju terus, hingga Andi diumpamakan oleh Saroni seperti seorang perempuan. Usai adegan ini, agar Andi terkelabui, ia menuliskan rajah dalam tulisan Arab dengan minyak kelapa di perut muridnya itu. Katanya, minyak dimaksud sudah diberi mantra. Dan Saroni pesan agar perbuatan mereka tidak dibocorkan. Jika perbuatan itu diketahui orang lain, menurut Saroni, ilmu batin yang diberikannya itu akan hilang kesaktiannya. Sedap. Modus operandi semacam inilah yang dilakukan Saroni terhadap sebelas murid lain. Ada juga yang diancam nilai rapornya akan merah, tetapi yang tutup mulut bakal mendapat nilai bagus. Perilaku menyimpang ini, menurut pengakuannya kepada polisi, sejak ia duduk di kelas 3 SMA di kota itu pada tahun 1986. Mulanya, ya, dengan teman sekolah. Ditilik dari latar belakang, Saroni potensial memasuki dunia aneh itu, karena pria berkulit kuning langsat itu suka bertingkah keperempuan-perempuanan. Anak bungsu dari 10 bersaudara ini dari keluarga berekonomi sedang. "Ibu dulu menginginkan saya lahir sebagai perempuan," kata Saroni kepada polisi. Selesai SMA, ia tak melanjutkannya ke perguruan tinggi. Saroni memperdalam tari Jawa di perkumpulan wayang orang Ngesti Pandawa Semarang. Di sinilah ia berkenalan dengan Agus, yang saat itu sudah mengajar di SD Negeri Tugurejo dan kemudian menjadi pasangan homonya yang tetap. Dengan perantaraan Agus pula ia bisa diterima sebagai guru honorer di SD itu. Setelah kasus Saroni dipegang polisi, para orangtua murid tidak tinggal diam. "Ia harus dihukum," ujar seorang ibu yang anaknya menjadi korban. Selain itu, ada pula murid yang mengaku trauma karena keberingasan Saroni. Hingga sekarang sudah tujuh korban yang diperiksa sebagai saksi. "Mereka sudah divisum dokter," kata Mayor Noor Ali, Kasat Serse Poltabes Semarang. Ditemui TEMPO, Saroni pasrah saja dalam sel tahanan. Ia tidak membantahnya. Tindakan orang dewasa seperti dia yang mencabuli jenis kelamin yang sama, apalagi di bawah umur, menurut polisi, diancam hukuman maksimal 5 tahun. Bersihar Lubis dan Bandelan Amarudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini