Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Berlari Bersama Para Pemimpi

Sekuel film Laskar Pelangi yang dipilih menjadi pembuka Jakarta International Film Festival tahun ini.

14 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANG PEMIMPI
Sutradara: Riri Riza
Skenario: Salman Aristo, Riri Riza, Mira Lesmana. Berdasarkan novel karya Andrea Hirata.
Pemain: Lukman Sardi, Mathias Muchus, Nugie, Nazriel Irham, Landung Simatupang.
Produksi: Miles Films dan Mizan Productions

Berlari.

Tema film ini adalah ”berlari”, seperti juga tokoh Ikal yang kini sudah remaja, yang ingin menghambur ke masa depan. Ingin menaklukkan dunia dan melesat menuju Universitas Sorbonne, Prancis.

Cita-cita itu lahir dari sebuah kotak bergambar Menara Eiffel pemberian ”pacar” Ikal masa kecil, Aling. Semangat Ikal remaja (Vikri Septiawan) semakin melesat setinggi awan karena tiupan energi sepupunya, Arai (Rendy Ahmad). Berlari, mereka berlari dengan tujuan yang tampak seperti titik yang begitu jauh.

Film yang merupakan sekuel dari Laskar Pelangi—juga diangkat dari novel karya Andrea Hirata—ini dimulai dengan narasi Ikal dewasa (Lukman Sardi) yang merasa sudah mencapai sebuah jalan buntu dalam hidupnya. Kemudian kita dibawa ke sebuah masa lalu. Ayah Ikal (Mathias Muchus) yang mengayuh sepeda reot menyusuri jalan-jalan di kampung mereka di Be­litung. Tanpa musik. Tanpa dialog. Sebuah awal film yang tidak biasa, yang sangat menjanjikan kisah yang lebih dalam dan serius.

Ikal kini tak lagi bersama kelompok Laskar Pelangi. Di SMA Manggar, dia kini bergaul dengan Arai, sepupu­nya, seorang yatim piatu yang berwajah cakep dan senantiasa optimistis menggantung cita-cita setinggi langit. Satunya lagi, Jimbron, anak yatim piatu gagap yang dibesarkan seorang pendeta. Trio yang hidup dalam keterbatasan finansial di Belitung ini masih bisa hidup seperti remaja biasa: membolos mengaji hanya untuk menyaksikan serial Bonanza di televisi, menggoda cewek pujaan, dan bekerja di pasar ikan untuk menabung.

Tetapi ingat, mereka juga remaja lelaki yang butiran hormonnya sudah memberontak ingin keluar dari tubuhnya. Arai jatuh hati betul pada Zakiah Nurmala (Maudy Ayunda), si jelita di kelas yang bahkan melirik pun ogah. Jimbron jatuh sayang pada Laksmi, si gadis bisu yang tak lagi tersenyum sejak kematian orang tua­nya. Lalu bagaimana dengan protagonis kita, si Ikal? Dia tidak punya gebetan (ini bahasa anak muda untuk perempuan yang dikejar-kejar). Ikal masih terkenang Aling, yang tak muncul so­soknya dalam film ini. Selain itu, Ikal digambarkan terobsesi oleh cewek seksi yang ada di poster film Indonesia yang payudaranya ditutup oleh seekor anjing yang bulunya menjurai-jurai. Pada malam hari, Ikal melampiaskan obsesi­nya melalui mimpi-mimpi basah (yang sama sekali berbeda dengan mimpinya tentang masa depan).

Ketika PN Timah mulai terpuruk, kuli seperti ayah Ikal ikut jatuh ke dalam problem finansial. Ikal merasa titik yang dikejarnya semakin jauh, dan tak mungkin tercapai. Dia bolos sekolah. Cita-citanya kuliah di Prancis dia buang ke laut. Dia menciptakan mimpi-mimpi baru bersama seorang pelaut yang menganggap sekolah itu hanya sia-sia karena toh ”saya bisa berkelana ke seluruh dunia, tanpa pendidikan”.

Tentu saja angka rapor Ikal ambruk. Tetapi sang ayah (diperankan oleh Mathias Muchus dengan baik) tetap saja tabah mengambil rapor anaknya yang kebakaran itu. Inilah adegan puncak dari novel yang begitu filmis, yang sudah terbayangkan akan menyentuh. Ikal berlari dan berlari, mencoba menyusul ayahnya yang mengendarai sepeda reot itu. Dalam novel, kita diberi sajian sebuah adegan tatkala sang ayah terkejut akan kehadiran Ikal. Dan tanpa kata, kita paham, Ikal sudah meminta maaf sedalam-dalamnya kepada sang ayah.

Dalam film ini, Riri Riza mengambil beberapa risiko yang memang harus diambil karena novel Andrea selalu bersifat fragmen yang terpecah-pecah. Dalam film Laskar Pelangi, Riri Riza dan Mira Lesmana dengan bagus sekali membuat sebuah plot agar jalan cerita lebih fokus. Mereka bahkan memberanikan diri menciptakan dua tokoh baru dan meminimalkan beberapa so­sok anak-anak.

Dalam film Sang Pemimpi, Riri Riza memutuskan untuk bersetia pada jalan cerita dan membuat beberapa adegan puncak kecil: duo Ikal-Arai yang merelakan tabungannya digunakan ibunya; Ikal dan Arai membantu kehidupan finansial Bu Maryamah, dan seterusnya. Ini adegan-adegan yang diharapkan menyentuh penonton. Tapi akibatnya, adegan penting antara Ikal dan ayahnya terasa kurang istimewa karena beberapa ”puncak kecil” sudah ”mencuri” kesempatan itu.

Risiko lain adalah Riri memberanikan diri menjungkirbalikkan bangunan yang sudah dia ciptakan sendiri. Sejak awal dia sudah membangun hubungan ayah dan Ikal yang berjalan tanpa bicara. Mereka lebih sering menggunakan bahasa tubuh dan sorot mata. Pada saat Ikal bertemu ayahnya, tiba-tiba kita ditemani musik dan dialog Ikal. Mungkin jika Riri percaya pada kekuatan keheningan, yang dia gunakan dengan dahsyat pada awal film, adegan puncak ini akan jauh lebih menggebrak.

Film Sang Pemimpi sangat mengingatkan kita bahwa ini sebuah film yang diambil berdasarkan novel Andrea Hirata, novelis yang selalu mencoba memberikan rasa optimisme. Tetapi risikonya adalah, kita tahu, para remaja dalam dunia reka Andrea adalah kegelisahan yang ”sopan”. Mereka adalah remaja yang harus bertarung melawan kemis­kinan minus elemen lain yang kelabu dalam dunia akil balig itu. Semua serba manis dan takzim. Dan sangat sulit untuk Riri Riza untuk melenceng dari ”ke­takziman” remaja ciptaan Andrea.

Setelah sekuel film ini, saya rasa, sudah waktunya Riri Riza dan Mira Lesmana kembali lagi pada kekuatan mereka menggarap film berlatar belakang sejarah atau politik yang menya­jikan sebuah ledakan. Kami menanti film mereka berikutnya dengan semangat, yaitu Bumi Manusia yang diangkat dari karya Pramoedya Ananta Toer.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus