Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sekitar 80 persen penghuni lembaga pemasyarakatan merupakan narapidana narkotik.
Pemerintah berencana merevisi Undang-Undang Narkotika, khususnya ketentuan hukuman bagi pengguna.
Beberapa pihak mendorong revisi UU Narkotika dengan mekanisme dekriminalisasi pengguna narkotik melalui pendekatan kesehatan, tidak melulu menggunakan rehabilitasi medis ataupun sosial.
WAKIL Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan mayoritas penghuni lembaga pemasyarakatan di Tanah Air merupakan narapidana narkotik. Dari terpidana narkotik yang mendekam di lembaga pemasyarakatan, 80 persennya adalah pengguna. "Kita tahu persis bahwa 52 persen penghuni lapas adalah pelaku kejahatan narkotik," kata Eddy Hiariej—sapaannya—di kompleks Kementerian Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Jakarta, pada Rabu, 4 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eddy prihatin apabila pengguna narkotik dengan barang bukti 0,4-0,5 gram dipidana penjara minimal 4 tahun. Musababnya, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak mengatur secara spesifik ancaman hukuman bagi pengguna. Pemerintah pun berencana mengubah ketentuan tersebut melalui revisi UU Narkotika. Dalam rancangan revisi yang sedang digodok, ujar Eddy, pengguna narkotik bisa jadi tidak dikenai hukuman pidana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Revisi Undang-Undang Narkotika nantinya lebih memperhatikan aspek kesehatan. "Jadi cenderung bagaimana mengobati orang yang kecanduan narkotik daripada menghukum atau memenjarakannya," ujar Eddy. Ia mengatakan pengguna narkoba dapat diberi tindakan seperti rawat jalan atau rehabilitasi. "Tapi ada syarat-syarat berdasarkan rancangan undang-undang yang sedang digodok pemerintah dan DPR." Salah satu ketentuan yang sedang dibahas pemerintah adalah peran Tim Asesmen Terpadu (TAT) dalam menentukan tindakan yang diambil terhadap pengguna narkotik. Menurut dia, Badan Narkotika Nasional akan berperan penting dalam operasi tim tersebut.
TAT direncanakan bisa membuat penilaian apakah seorang pengguna narkotik harus terancam pidana atau cukup direhabilitasi. "Jadi di sini peran TAT menjadi penting untuk menjustifikasi apakah pengguna diproses hukum atau tidak. Kalau direhabilitasi, apakah dia perlu menjalani rawat inap atau cukup rawat jalan." Karena itu, ia berharap kondisi lembaga pemasyarakatan yang kelebihan beban atau overcrowded dapat berkurang.
Peneliti Center for Detention Studies, Gatot Goei, menilai pengguna narkotik yang tidak dipenjara dapat mengurangi beban di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan yang overcrowded. Namun, menurut dia, perubahan aturan pemidanaan menjadi rehabilitasi ini tidak akan berpengaruh terhadap penurunan angka peredaran narkotik di Tanah Air.
Sebab, peredaran narkotik berhubungan erat dengan penegakan hukum dan keamanan. "Apabila penegakan hukum tidak tegas dan sistem keamanan tidak mampu membendung narkotik yang masuk ke Indonesia, narkotik akan tetap beredar di masyarakat," ucapnya pada Ahad, 8 Desember 2024.
Meski begitu, Gatot menilai perubahan aturan ini berdampak terhadap anggaran pemerintah. Sebab, pengeluaran untuk rehabilitasi akan lebih kecil ketimbang pemenjaraan. Ia mencontohkan, 25 ribu narapidana pengguna narkotik akan direhabilitasi. Adapun biaya rehabilitasi sebesar Rp 2 juta per orang. Dengan demikian, kebutuhan biayanya adalah Rp 50 miliar dalam enam bulan. "Biaya ini jauh lebih rendah saat napi harus berada dalam lapas," ujarnya. "Di lapas, dalam satu tahun saja menghabiskan sekitar Rp 135 miliar untuk makan dan Rp 325 miliar untuk semua kebutuhan 25 ribu napi."
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Choky Risda Ramadhan, mengatakan Undang-Undang Narkotika mengatur minimal pemidanaan 4 tahun penjara. Setahun setelah aturan itu berlaku, ia mencatat pengguna narkotik yang dipenjara sekitar 3.900 orang. Jumlahnya meningkat menjadi sekitar 109 ribu pada 2019 dan 130 ribu pada 2022. "Artinya, pemidanaan pemenjaraan yang punitif dan sekeras itu pun belum berhasil mengurangi peredaran serta penggunaan narkotik," tuturnya pada Ahad, 8 Desember 2024.
Choky menilai perubahan pemidanaan pengguna narkotik menjadi rehabilitasi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta pengaturan narkotik di berbagai negara. Menurut dia, kebijakan paling pas bagi pengguna adalah pendekatan kesehatan dan pengurangan dampak buruk (harm reduction).
Pendekatan kesehatan bisa dilakukan lewat rehabilitasi. Sedangkan pendekatan harm reduction mempertimbangkan kebijakan mana yang bisa mengurangi dampak buruk terhadap pengguna narkotik. "Nah, dari berbagai macam penelitian dan kebijakan di beberapa negara, pemenjaraan terhadap pengguna narkotik lebih banyak dampak buruknya dibanding rehabilitasi," ucapnya.
Choky mencontohkan, seseorang yang mencoba narkotik untuk rekreasi dipenjara, tapi alasannya menggunakan barang haram itu tidak diatasi. Ketika keluar dari penjara, ia pun tidak bisa kembali ke masyarakat. Hal ini bisa berdampak buruk, seperti putus sekolah, kehilangan pekerjaan, perceraian, dan putus kontak dengan keluarga. Choky pun sepakat dengan Gatot. "Akhirnya, kalau berbicara soal biaya, bisa jadi justru pemenjaraan lebih mahal," ujarnya. Ia menjelaskan, Undang-Undang Narkotika mengatur minimum sentencing empat tahun. Artinya, kata dia, orang yang ketahuan membawa, memiliki, atau menyimpan narkotik meskipun bukan pengedar pasti dipenjara minimal empat tahun
Choky menyatakan pernah menghitung kebutuhan makan penghuni lembaga pemasyarakatan. Jumlahnya Rp 5-8 juta setiap tahun per orang. Apabila pengguna narkotik dipidana selama empat tahun, biaya kebutuhan makannya sebesar Rp 20 juta per tahun. Angka tersebut belum termasuk biaya lain, seperti program pendidikan, olahraga, dan keamanan. "Nah, kalau rehabilitasi waktunya rata-rata 6-12 bulan."
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, sepakat bahwa pengguna narkotik membuat lembaga pemasyarakatan kelebihan penghuni. Ia menengarai masalah pada UU Narkotika adalah tidak membedakan pengguna dengan pengedar sehingga pengguna juga dijerat pidana seperti pengedar. "Akhirnya dikirim ke lapas dan membuat overcrowded," katanya saat dihubungi, Ahad, 8 Desember 2024.
Karena itu, ICJR sepakat dengan perubahan kebijakan pemidanaan pengguna narkotik menjadi rehabilitasi. "Kami sepakat pengguna harus direspons dengan pendekatan kesehatan," ucap Maidina. Ia mengatakan lembaganya mendorong revisi UU Narkotika dengan mekanisme dekriminalisasi pengguna narkotik menggunakan pendekatan kesehatan, tapi tidak melulu rehabilitasi medis ataupun sosial. Sebab, berdasarkan laporan narkotik sedunia Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Obat-obatan dan Kejahatan (UNODC) pada 2018, hanya satu dari sembilan pengguna yang bermasalah dalam penggunaan narkotik.
Menurut data UNODC pada 2020, hanya 13 persen pengguna narkotik yang mengalami problematic use. Karena itu, ICJR mengusulkan acuan rentang ambang batas narkotik, yang mengacu pada gramasi narkotik yang digunakan saat seseorang ditangkap serta lama jumlah penggunaan dalam rentang tertentu. Kemudian intervensinya akan didasarkan pada kondisi personalnya, seperti konseling, konseling rutin, rehabilitasi jalan, atau rehabilitasi inap. "Dalam rancangan undang-undang yang masih di Dewan Perwakilan Rakyat, skema ini belum masuk. Tapi dalam revisi pemerintah, hal ini akan diusulkan ke DPR," ucap Maidina.
Hal senada diungkapkan peneliti ICJR, Girlie Aneira Ginting. Ia menuturkan mekanisme ini akan membuat tidak semua pengguna narkotik yang dipenjara akan direhabilitasi. "Kalau semua pengguna narkotik direhabilitasi, ibaratnya hanya pindahin tempat dari penjara ke panti rehab," ujarnya pada Ahad, 8 Desember 2024.
Girlie menjelaskan, nantinya ada semacam panel assessment—terdiri atas petugas kesehatan dan konselor adiksi—yang memeriksa pengguna narkotik berdasarkan ambang batas tersebut. Merekalah yang akan menentukan bentuk intervensi yang paling tepat.
Ia menggarisbawahi, ambang batas narkotik perlu disusun dalam undang-undang. Apalagi UU Narkotika yang berlaku saat ini tak memiliki aturan tersebut. Karena itu, institusi seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan kepolisian membuat peraturan sendiri yang mengatur ambang batas untuk mengklasifikasikan pengguna atau pengedar.
Girlie mengatakan salah satu negara yang berhasil menerapkan pendekatan kesehatan terhadap pengguna narkotik adalah Portugal. Ia mengklaim angka peredaran narkotik di negeri tersebut turun karena penerapan kebijakan itu.
Guru besar ilmu hukum Universitas Pancasila, Agus Surono, menilai rehabilitasi bagi pengguna narkotik merupakan jalan keluar terbaik untuk lembaga pemasyarakatan yang kelebihan beban. Apalagi 80 persen penghuninya adalah tahanan narkotik, terutama pengguna. Menurut dia, rehabilitasi tidak akan membebani anggaran pemerintah. Sebab, kebijakan ini bisa melibatkan rumah sakit swasta. "Dan biayanya menjadi beban pengguna yang diberi sanksi rehabilitasi sebagai pengguna," kata Agus lewat aplikasi perpesanan, Ahad, 8 Desember 2024.
Ihwal biaya rehabilitasi bagi pengguna narkotik juga disoroti Gatot Goei. Ia menilai biaya tersebut harus dipertimbangkan dalam revisi UU Narkotika. "Apabila tidak ada pengendalian biaya rehab, biaya akan menjadi masalah bagi para pengguna dan keluarga," tuturnya.
Gatot pun memberikan sejumlah catatan kepada pemerintah apabila hendak menerapkan rehabilitasi bagi pengguna narkotik, alih-alih pemenjaraan. Pertama, tempat rehab harus disiapkan secara optimal sehingga perlu ada waktu bagi pemerintah menyiapkan sarana dan prasarana rehabilitasi setelah Revisi UU Narkotika disahkan. Kedua, pemerintah harus mengantisipasi dampak sosial akibat kebijakan ini.
Gatot mewanti-wanti jangan sampai pengguna narkotik justru menjadi masalah di masyarakat. Contohnya, potensi pengguna mengganggu masyarakat atau melakukan tindak pidana lain karena tidak mampu membiayai rehabnya. "Jadi revisi UU Narkotika jangan cuma ditargetkan untuk mengurangi beban hunian lapas, tapi juga memulihkan pengguna dari ketergantungan serta mengatur peran masyarakat dalam proses rehab," ujarnya.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Badan Narkotika Nasional enggan menanggapi rencana perubahan kebijakan pemidanaan pengguna narkotik menjadi rehabilitasi. Ketua Kelompok Kerja Hubungan Masyarakat Ditjen Pemasyarakatan Deddy Eduar Eka Saputra dan Kepala BNN Inspektur Jenderal Marthinus Hukom belum merespons pesan ataupun panggilan telepon Tempo hingga berita ini ditulis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini