ARUM (bukan nama sebenarnya) mungkin pantas dicatat di Guinness Book of Records sebagai manusia termuda yang dihukum penjara di dunia ini. Bocah perempuan berusia 6 tahun itu, Rabu dua pekan lalu, divonis Pengadilan Negeri Purwokerto 3 bulan penjara. Anak itu, menurut Hakim Bambang Chatiarso, terbukti bersama ibunya, Nyonya Saniah, menipu toko emas "Ibu" di Wangon, Banyumas, Jawa Tengah. Masih menurut hakim, ibu dan anak itu telah berulangkali melakukan kejahatan yang sama. Sebab itu, hakim juga menghukum Nyonya Saniah, yang meninggalkan suaminya, Hadisuyono, di Kebumen, 4 bulan penjara. "Karena anak itu masih di bawah umur dan ibunya juga masih ada, hakim memutuskan agar anak itu tetap ditahan bersama ibunya," kata Hakim Bambang. Sekitar September silam, Nyonya Saniah bersama anaknya mengunjungi toko emas "Ibu". Kepada pemilik toko, ia mengatakan bermaksud membeli kalung emas 4,9 gram. Tapi begitu kalung itu di tangannya, Saniah mengganti kalung itu dengan kalung imitasi yang sudah dipersiapkannya sebelumnya. Tanpa diketahui pemilik toko, kalung asli dioperkannya ke Arum, yang segera berlalu dan toko itu. Saniah pun segera menyusul anaknya, setelah menyerahkan kalung imitasi kepada pemilik toko. Saniah, yang berbadan kecil ramping, beberapa hari kemudian menjual kalung jarahan itu ke toko emas lain dengan harga Rp 80 ribu. Tapi dasar masih "amatiran", Saniah seminggu kemudian ingin lagi mengulang "keberuntungannya" di toko yang sama. Kali ini ibu empat anak itu pura-pura akan membeli anting-anting emas. Pemilik toko, yang tentu saja masih ingat wajah wanita itu, segera bertindak. Hari itu juga Saniah dan Arum ditangkap polisi, dan sejak itu mereka ditahan di lembaga pemasyarakatan khusus wanita di Banyumas. Di sidang, Jaksa Nyonya Haryati menuntut agar hakim menghukum Saniah 6 bulan penjara dan Arum 5 bulan penjara. Mendengar tuntutan itu, Saniah, yang mengakui perbuatannya, memohon agar ia dibebaskan hakim. Sebaliknya Arum, yang tak sempat mengenyam bangku sekolah karena ikut berkelana dengan ibunya -- seperti layaknya bocah seusianya -- sama sekali tak mengerti apa yang tengah terjadi. Anak berkulit sawo matang dengan rambut dipotong pendek itu menggelayut di pelukan ibunya, sambil sesekali menoleh ke sana-kemari. Hakim Bambang Chatiarso ternyata menghukum ibu dan anak bungsunya itu masing-masing dengan hukuman 4 bulan dan 3 bulan penjara. Dalam hal anak di bawah usia 16 tahun, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hakim memang berhak mengembalikan si anak ke orangtuanya, menjadikan anak negara, atau menghukum penjara. Bambang memutuskan pilihan terakhir itu. Tapi, katanya, vonis penjara itu justru demi kepentingan Arum sendiri. "Ibunya sendiri yang meminta agar anak itu tetap ditahan bersamanya," ujar Bambang. Anak itu, menurut Hakim Bambang, tak mungkin diserahkan kepada ayahnya, Hadisuyono, yang hanya bekerja sebagai buruh tani dan jauh di Kebumen. Untuk dijadikan anak negara, tambahnya, juga tak mungkin. Sebab, selain karena permintaan ibunya tadi "kejahatan itu juga tak dilakukan si anak seorang diri," ucap hakim lulusan Fakultas Hukum Unair Surabaya itu. Hakim Bambang juga sudah membedakan proses persidangan Arum dan ibunya, dibandingkan proses perkara pidana biasanya. Selain sidangnya dinyatakan tertutup untuk umum, baik hakim maupun Jaksa tak mengenakan toga. "Agar si anak tidak takut," ujar Bambang. Pemeriksaan di sidang, kata hakim itu, juga lebih ditujukan kepada sang ibu, sedangkan Arum tak ditanyai apa-apa. Hakim atau jaksa mungkin tak salah menjalankan undang-undang. Tapi persoalannya, layakkah bocah sebesar Arum dipidana? Ahli hukum pidana Dr. Bambang Poernomo menganggap, seyogyanya Arum tak dipidana. Kendati, menurut KUHP, hakim bisa memenjarakan anak-anak di bawah umur. "Dalam hukum pidana, pantang menjatuhkan pidana terhadap anak di bawah umur," ujar dosen Fakultas Hukum UGM Yogyakarta itu. Sebaiknya, kata Bambang Poernomo, persidangan Arum juga terpisah dan sidang ibunya. Psikolo Prof. Singgih Gunarsa juga sependapat, Arum tak layak dihukum. "Anak itu 'kan belum tahu apa-apa. Dia masih dalam proses perkembangan, yang amat dipengaruhi lingkungannya," kata Singgih. Yang bertanggung jawab dalam kasus ini, katanya, ya, ibunya. Lebih dari itu, menurut Singgih, sebaiknya anak-anak seperti itu tidak diadili, apalagi dihukum. "Itu bisa menimbulkan trauma, keguncangan yang kurang baik terhadap perkembangan mental si anak," ujarnya. Dalam kasus Arum, tambah Singgih, seharusnya anak itu dikembalikan ke lingkungannya: bisa bapaknya, bibinya, atau saudara tertua lainnya. Kecuali Indonesia, memang tak satu pun negara di dunia ini yang tak membatasi usia minimum seorang terdakwa. Di Belanda, misalnya, batas usia minimum seorang terdakwa adalah 12 tahun. Di hampir semua negara bagian Amerika Serikat, batas usia itu rata-rata 8 tahun. Di kawasan ASEAN, seperti Malaysia dan Singapura, batas minimumnya 7 tahun. Hanya di Iran, konon, batas minimum itu 6 tahun -- walau sampai kini belum terdengar anak seusia itu diadili disana. Di Indonesia, RUU Peradilan Anak, yang sudah digarap sejak 21 tahun lalu, memang mencantumkan batas usia minimum terdakwa adalah 10 tahun. Hanya saja, hingga kini RUU itu tak jelas nasibnya. Sebab itu, sampai kini, sesuai dengan KUHP, semua anak bisa diadili dan dipenjara. Mungkin hari ini Arum yang menjadi korban. Tapi mana tahu, esok atau lusa akan ada berita anak usia 2 atau 3 tahun yang divonis penjara di peradilan Indonesia. Karena memukul temannya, misalnya. Happy S., Karni Ilyas, dan Slamet Subagyo (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini