AKHIRNYA Kamis pekan lalu, Paul Handoko, 37 tahun, diganjar hukuman 3 tahun 9 bulan di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali. Majelis hakim yang diketuai Ridwan Nasution menyatakan bahwa Direktur Utama PT Dipa Raya Utama dan PT Swarna Dipa di Jakarta itu terbukti menipu Frans Bambang Siswanto, seorang pengusaha ternama di Bali, sebesar Rp 200 juta. Menurut majelis, penipuan itu dilakukan Paul dalam transaksi jual-beli tanah 63.550 m2 di Pantai Sanur. Putusan itu seperti membantah isu selama ini bahwa Paul tak terjangkau hukum. Bahkan Jaksa I Gde Putu Suarsana dan Iskamto pernah mengatakan bahwa Paul terhitung kebal hukum. Sebab, pada 1978 Paul pernah menggemparkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ketika divonis oleh Hakim Roewiyanto "bebas dari tuduhan memanipulasikan bea dan pajak 98 mobil eks CC dan CD, Rp 427 juta lebih". Di Bali, ternyata Paul tak bisa berkelit dari pengaduan Frans, 43 tahun. Menurut Frans, sekitar Maret 1987, Paul membujuknya agar membeli tanah seluas 63. 550 m2 di Pantai Sanur. Tanah yang diakui Paul sebagai miliknya itu, juga disebutnya tak dalam sengketa. Tanah senilai Rp 12 milyar -- Rp75 ribu per m -- itu, konon, sangat strategis untuk membangun sebuah hotel berbintang lima. Frans, sepakat membeli tanah itu dan membayar panjar dengan bilyet giro senilai Rp 200 juta kepada Paul. Tapi setelah itu Paul tak muncul-muncul. "Berkali-kali saya mencoba menghubungi, ia selalu menghindar," ujar Frans. Belakangan, kata Frans, Paul mengaku bahwa tanah itu milik adiknya, Adinyoto, yang masih bersengketa dengan Syamsul Bahri. Toh Frans tetap mau menandatangani perjanjian jual beli tanah itu dengan Adinyoto. Ternyata, kata Frans, ia benar-benar ditipu Paul. Sebab, selain jual beli itu tak kunjung terwujud, uang mukanya ikut menguap. Itu sebabnya, Mei silam, ia mengadukan Paul ke Polda Nusa Tenggara. Berikutnya, pada 8 Agustus lalu, polisi pun menangkap Paul, yang kini pengusaha real estate, dan menahannya hingga kini. Di sidang, Paul menganggap bahwa tuduhan itu fitnah. Sebab, menurut Paul, ia tak pernah menawarkan tanah tersebut apalagi mengaku sebagai pemiliknya. Katanya, ia hanya menyaksikan transaksi antara adiknya dan Frans. Adapun soal uang Rp 200 juta, yang menurut Paul sebetulnya untuk blaya administrasi, sudah dikembahkan kepada Frans -- dalam bentuk bilyet giro Rp 200 juta di Bank Perniagaan Indonesia (BPI) Jakarta. Sebab itu Teras Narang dan Suryatin Lijaya, tim pengacara Paul, menyatakan bahwa perkara itu perdata murni. Apalagi uang yang menyebabkan Paul dituduh penipu, kata Narang, sudah dikembalikan, dan bisa dicairkan Frans kapan pun ia mau. "Tapi sampai bilyet giro itu jatuh tempo, Frans tak juga mencairkannya," tutur Adinyoto (TEMPO, 3 Desember 1988). Di persidangan, Jaksa menampilkan bukti baru yang cukup menentukan. Ternyata bilyet giro BPI dari Paul tadi tak ada dananya. Bahkan menurut BPI, Paul perrah dikenai peringatan karena tiga kali memberikan bilyet giro yang tak ada dananya. Dengan begitu, "ada tidaknya unsur perdata dalam kasus ini tak akan menghapuskan tindak pidana penipuannya," kata Jaksa Iskamto, yang menuntut Paul 3 tahun penjara. Tim pengacara Paul menganggap bahwa bukti itu tak mengakibatkan tuduhan jaksa terbukti. "Kalau saja Frans mencairkan bilyet giro itu dulu, persoalannya 'kan bisa segera beres," kata Teras Narang. Toh majelis hakim sependapat dengan jaksa dan menghukum Paul 3 tahun 9 bulan penjara. "Terlepas sanggup atau tidaknya Paul membayar, dari hasil pemeriksaan terbukti bahwa ia mengeluarkan bilyet giro kosong," kata Ridwan Nasution. Langsung Paul naik banding. "Putusan itu tidak adil dan hanya sepihak. Frans yang tak mampu membayar harga tanah itu, kenapa malah saya yang dipidana. Sampai kapan pun, saya akan menuntut keadilan ini," kata lelaki jangkung berambut lurus itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini