Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pemerasan di Balik Kematian Mahasiswa Pendidikan Dokter Spesialis Undip

Indikasi pemerasan diperoleh dari hasil penelusuran kasus perundungan terhadap Aulia Risma Lestari.

29 Desember 2024 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Poster mahasiswa PPDS FK Undip dr Aulia Risma Lestari saat aksi belasungkawa mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) di Widya Puraya, kampus Undip Semarang, September 2024. TEMPO/Budi Purwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Polisi tidak menemukan bukti perundungan terhadap Aulia Risma Lestari.

  • Tiga orang ditetapkan sebagai tersangka pemerasaan dan pungutan ilegal.

  • Jumlah korban dan tersangka mungkin bertambah karena praktik pungutan ilegal sudah berlangsung lebih dari 10 tahun.

POLISI tidak menemukan bukti perundungan terhadap Aulia Risma Lestari, mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Namun, dari hasil penyelidikan, polisi justru menemukan indikasi pemerasan dan pungutan ilegal yang diduga berhubungan erat dengan kematian Aulia Risma.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Jawa Tengah Komisaris Besar Dwi Subagio mengatakan penyidik menghadapi hambatan dalam mengusut dugaan perundungan terhadap Aulia. Sebab, korban sudah meninggal. Padahal, secara teknis, kasus bullying hanya bisa ditindaklanjuti bila ada laporan dari korban secara langsung. "Harus korban yang mengadu," katanya, Sabtu, 28 Desember 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Dwi Subagio. ANTARA

Menurut Dwi, praktik pungutan dalam PPDS Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dipastikan tidak sesuai dengan ketentuan. Pungutan ini yang kemudian membebani mahasiswa sehingga berdampak pada masalah psikis. “Kalau enggak kuat, ya bisa depresi," ujar Dwi. 

Aulia Risma ditemukan tak bernyawa di kamar indekosnya pada 12 Agustus 2024. Dari hasil penyelidikan, dipastikan dokter 30 tahun itu meninggal akibat overdosis obat penenang. Diduga ia nekat mengakhiri hidupnya lantaran depresi setelah menjadi korban perundungan.  

Kementerian Kesehatan segera menurunkan tim untuk menelusuri kematian Aulia. Hasilnya, diduga Aulia Risma menjadi korban pemerasan oleh senior-seniornya. Aulia diwajibkan menyerahkan uang Rp 20-40 juta per bulan sejak ia masih duduk di semester pertama. Kesimpulan itu didasarkan pada bukti transfer rekening, rekaman pembicaraan Aulia semasa hidup, dan hasil wawancara dengan sejumlah mahasiswa. 

Kementerian Kesehatan menyerahkan bukti-bukti itu ke Kepolisian Daerah Jawa Tengah untuk ditindaklanjuti. Hasilnya, pada 24 Desember 2024, polisi menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Mereka adalah Kepala Program Studi Anestesiologi Taufik Eko Nugroho, Kepala Staf Medis Kependidikan Program Studi Anestesiologi Sri Maryani, dan dokter residen sekaligus senior Aulia, Zara Yupita Azra.

Dwi tidak bersedia menjelaskan peran masing-masing tersangka dalam dugaan pemerasan tersebut. “Itu sudah masuk teknis, akan disampaikan nanti di pengadilan,” katanya. Yang jelas, kata dia, ada pungutan di luar ketentuan yang melibatkan ketiga tersangka. Uang tersebut bukan untuk kepentingan pendidikan, melainkan kepentingan pribadi para tersangka. "Mereka melakukan pungutan itu bersama-sama."

Dwi mengatakan tidak tertutup kemungkinan jumlah korban dan tersangka akan bertambah. Sebab, praktik ilegal itu sudah berlangsung lama. “Lebih dari 10 tahun," ujarnya. Nilai perputaran uang dari pungutan tersebut diperkirakan mencapai Rp 2 miliar per semester.  


Pungutan Berujung Kematian

Pengusutan kematian mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Aulia Risma Lestari, memasuki babak baru. Kepolisian Daerah Jawa Tengah menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Mereka diduga menjalankan praktik pungutan liar dan pemerasan terhadap mahasiswa. Praktik ilegal inilah yang kemudian diduga membuat Aulia depresi dan mengakhiri hidup dengan obat penenang.  

Tersangka:

- Taufik Eko Nugroho (dokter), Kepala Program Studi Anestesiologi 
- Sri Maryani, Kepala Staf Medis Kependidikan Program Studi Anestesiologi
- Zara Yupita Azra, dokter residen sekaligus senior Aulia Risma di Program Studi Anestesiologi 

Kronologi:

12 Agustus 2024
Aulia Risma meninggal akibat overdosis obat. Ia ditemukan di kamar indekosnya di Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang, Jawa Tengah. Pintu kamarnya terkunci. Di dalam kamar ditemukan jarum suntik dan sisa obat bius yang diduga digunakan untuk mengakhiri hidupnya. 

14 Agustus 2024
Kementerian Kesehatan menghentikan sementara penggunaan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Kariadi sebagai tempat praktik program studi anestesi.

4 September 2024
Orang tua Aulia melaporkan kematian anaknya ke Polda Jawa Tengah.

7 Oktober 2024 
Polisi menyatakan penanganan kasus ini sudah naik ke tahap penyidikan.

24 Desember 2024
Polisi menetapkan tiga tersangka. 


Temuan Polisi: 

- Ketiga tersangka diduga terlibat praktik pungutan liar.
- Ketiga tersangka terlibat dalam pengumpulan dan pungutan biaya operasional pendidikan yang tidak diatur secara akademis. 
- Diduga korban pungutan bukan hanya Aulia Risma.
- Jumlah pungutan Rp 50-100 juta per orang. 
- Perputaran uang dari pungutan mencapai Rp 2 miliar per semester.
- Praktik pungutan sudah berlangsung lebih dari 10 tahun. 

Pasal Penjerat: 

Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

(1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 335 KUHP 

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.

Pasal 378 KUHP 

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.


Kuasa hukum keluarga Aulia Risma, Misyal Ahmad, membenarkan kabar perihal korban yang diduga lebih dari satu. "Sebelumnya ada empat korban yang juga mau lapor, tapi urung," ujar Misyal. Dia tidak mengetahui alasan mereka membatalkan rencana untuk melapor.

Berdasarkan keterangan keluarga, kata Misyal, Aulia telah mengeluarkan uang Rp 225 juta sejak masuk PPDS. Selama ini tidak pernah ada penjelasan tentang penggunaan uang tersebut, padahal Aulia mendapatkan beasiswa untuk mengikuti program pendidikan itu. Karena itu, dia berharap korban-korban lain bisa melengkapi laporan agar permasalahan ini terang benderang.  

Menurut Misyal, dari cerita Aulia kepada keluarga, uang pungutan mahasiswa diserahkan kepada Sri Maryani. "Mahasiswa PPDS ini kebanyakan dijadikan ‘mesin ATM’ oleh mereka,” katanya.

Rapat antara Komisi III DPR dan keluarga almarhum dokter Aulia Risma di Kompleks Parlemen, Jakarta, 18 November 2024. ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi

Juru bicara Kementerian Kesehatan, Widyawati, mengatakan praktik program studi anestesi di RSUP Kariadi dibekukan setelah kematian Aulia Risma. Saat ini Kementerian tengah mengkaji rencana mencabut pembekuan itu. Begitu juga dengan rencana pencabutan surat izin praktik untuk Taufik Eko Nugroho dan Zara Yupita Azra yang saat ini berstatus tersangka. "Kami masih memprosesnya dan menunggu perkembangan investigasi dari kepolisian," ujarnya.

Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mahesa Paranadipa Maikel mengatakan Taufik dan Zara tercatat sebagai anggota IDI. Organisasinya menghormati keputusan polisi yang menetapkan mereka sebagai tersangka. "Karena penetapan tersangka pasti ada dua bukti kuat," ujar dia. Namun penetapan tersangka itu tidak serta-merta membuat pengurus mencoret keanggotaan mereka. "Harus ada yang melapor, sampai hari ini belum ada." 

Pernyataan senada disampaikan oleh kuasa hukum Universitas Diponegoro, Khairul Anwar. Menurut dia, belum ada sanksi yang diberikan kepada tiga tersangka itu. "Semua tersangka masih menjalankan pekerjaan sebagaimana mestinya,” katanya. Kampus akan mengambil sikap setelah ada keputusan pengadilan yang bersifat mengikat. “Karena kami mengedepankan praduga tidak bersalah.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus