Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Serius Revisi UU ITE memberikan 3 catatan terkait rencana pemerintah dan DPR melakukan revisi kedua Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Catatan pertama, koalisi meminta DPR tidak hanya melibatkan Komisi I yang membidangi keamanan dalam pembahasan revisi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Komisi hukum, komisi yang membahas isu perempuan, kebebasan berekspresi dan konsumen juga perlu dilibatkan,” kata perwakilan koalisi dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia M. Isnur lewat keterangan tertulis, Senin, 13 Maret 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isnur berkata belakangan ini DPR telah mengesahkan banyak aturan yang akan bersinggungan dengan UU ITE. Aturan yang baru disahkan itu di antaranya, UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Isnur menilai banyaknya regulasi yang dikeluarkan DPR itu membuat perunya harmonisasi dengan aturan terkait. Dia mencontohkan kodifikasi yang dilakukan melalui KUHP akan berdampak pada pencabutan atau perubahan ketentuan dalam beberapa peraturan yang berlaku, termasuk UU ITE.
“Meskipun KUHP Baru ini akan berlaku setelah kurang lebih 3 tahun mendatang, upaya harmonisasi antara UU ITE dengan ketentuan dalam KUHP Baru perlu segera dilakukan terutama dalam momentum revisi UU ITE,” kata dia.
Isnur mengatakan koalisi juga menuntut DPR menghapus pasal-pasal karet yang sering digunakan untuk mengkriminalisasi korban, mencederai alam demokrasi dan kelompok rentan. Keberadaan pasal-pasal karet ini menjadi catatan kedua koalisi terkait rencana revisi UU ITE. Safe Net, kata dia, mencatat terjadi 64 kasus pemidaan kepada warganet menggunakan UU ITE selama 2020. Sejak 2019 hingga mei 2022, Amnesty International Indonesia juga mencatat setidaknya 332 orang dituduh melanggar pasal-pasal bermasalah yang multitafsir dalam UU ITE.
Isnur berkata UU ITE yang berlaku saat ini juga kerap menjadi alat untuk menyerang perempuan korban kekerasan. Menurut dia, perempuan korban kekerasan saat ini masih kesulitan mengakses bantuan hukum. Untuk itu mereka mencari bantuan dengan mengunggahnya di media sosial. Namun, keberanian korban untuk bersuara masih dibayang-bayangi dengan ancaman pencemaran nama baik yang terkandung dalam UU ITE. “Pasal ini sering disalahgunakan untuk mengancam korban kekerasan yang berusaha melawan,” kata dia.
Isnur mengatakan catatan ketiga, koalisi menuntut adanya ruang pembahasan yang bermakna dan partisipatif dalam pembahasan revisi kedua UU ITE. Dia mengatakan publik harus terlibat dalam proses pembahasan itu sejak awal di DPR.
Pemerintah telah mengajukan revisi kedua UU ITE kepada DPR sejak beberapa waktu lalu. Pemerintah juga sudah mengirimkan Daftar Inventaris Masalah kepada DPR untuk dibahas. Ada tujuh usulan dari pemerintah dalam revisi itu, seperti perubahan pasal-pasal yang mengatur tentang kesusilaan, penghinaan dan pencemaran nama baik. Pembahasan revisi ini rencananya akan dilakukan pada masa sidang DPR yang akan datang.
ROSSENO AJI | ANTARA