Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti kemunduran demokrasi serius yang terjadi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ditandai dengan kembalinya negara ke arah kekuasaan dan pengabaian terhadap HAM demi kepentingan politik elektoral.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip melalui keterangan tertulis, dalam diskusi dan catatan akhir tahun Koalisi Masyarakat Sipil pada Kamis, 28 Desember 2023, Dimas Bagus Arya, Koordinator KontraS, menjelaskan jika dalam sembilan tahun terakhir situasi penghormatan terhadap HAM dan demokrasi mengalami penurunan drastis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu masih terbengkalai, ditambah dengan penutupan ruang sipil dan semakin sempitnya kebebasan berpendapat, berpikir, dan berekspresi. Tercermin dari fenomena pembungkaman, tindakan represif hingga serangan digital yang hingga kini makin marak menyasar aktivis HAM dan lingkungan, jurnalis, pegiat anti korupsi, sampai akademisi.
Gufron Mabruri, Direktur Imparsial, dalam kesempatan yang sama turut menekankan bahwa demokrasi substantif yang mengedepankan kebebasan dan HAM telah dikorupsi oleh perilaku pragmatis elit politik. Faktor utama di balik kemunduran ini, menurutnya adalah prioritas kebijakan pembangunan ekonomi yang tidak memihak rakyat.
Lebih lanjut, Muhammad Islah, Deputi Eksekutif Nasional (Eknas) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), menyebutkan bahwa undang-undang yang direvisi oleh pemerintah dimanfaatkan sebagai instrumen untuk membungkam kelompok atau individu yang tidak sejalan dengan penguasa. Beberapa contoh nyata adalah revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang Minerba, dan Undang-Undang Cipta Kerja.
Kriminalisasi atas pegiat HAM, seperti dalam kasus Haris dan Fatia juga ditekankan oleh koalisi. Menurut Al Araf, Ketua Centra Initiative, Presiden Jokowi telah meruntuhkan pilar-pilar negara hukum demi kekuasaaan.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, menegaskan bahwa tantangan puncak bagi demokrasi Indonesia terletak pada Pemilihan Umum 2024. Ia menyoroti potensi kekuasaan politik Presiden Jokowi untuk memperpanjang dominasi kekuasaan.
Senada dengan Hasan, Ray Rangkuti, Direktur Eksekutif Lingkar Madani, menyebutkan telah terjadi tiga dosa dalam Pemilu 2024 yang tidak bisa dimaafkan di dalam demokrasi. Yakni intimidasi dan kekerasan, mobilisasi politik uang, dan manipulasi suara. Dua dari tiga dosa tersebut, menurut Ray, telah terjadi pada Pemilu kali ini. Dana ilegal yang masuk untuk kepentingan pemilu, insiden intimidasi serta kekerasan.
Masalah serius juga telah menghantui empat tahapan besar pemilu, yaitu pendaftaran, kampanye, pencoblosan, dan penghitungan suara. Dua tahapan pertama, pendaftaran dan kampanye, mengalami persoalan yang melibatkan penyelenggara pemilu dan aparatur pemerintah.
Selanjutnya, koalisi turut menegaskan perlunya tindakan interupsi dari publik, terutama Generasi Z sebagai pemilih muda yang memiliki andil besar dalam melakukan kampanye aktif. Koalisi berharap, upaya ini dapat mencegah pengorbanan pemilu dan demokrasi demi kepentingan rezim dan dinasti politik.