Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Kriminal

Komnas HAM Mendesak Aparat Penegak Hukum Pakai Pasal Pemberat untuk Menjerat Dokter Residen

Komnas HAM meminta aparat penegak hukum memakai pasal pemberat untuk menjerat dokter residen yang memperkosa keluarga pasien di RS Hasan Sadikin.

13 April 2025 | 11.21 WIB

Polda Jabar mengungkapkan kronologi kasus dokter PPDS Unpad  dengan insial PAP, pelaku pelecehan seksual terhadap keluarga pasien pada Maret 2025. Dok Humas Polda Jabar
Perbesar
Polda Jabar mengungkapkan kronologi kasus dokter PPDS Unpad dengan insial PAP, pelaku pelecehan seksual terhadap keluarga pasien pada Maret 2025. Dok Humas Polda Jabar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengecam kasus pemerkosaan yang diduga dilakukan dokter residen Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Padjadjaran (PPDS Unpad) terhadap keluarga pasien Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Hasan Sadikin, Bandung, Priguna Anugerah Pratama. Komnas HAM mendesak aparat penegak hukum untuk menerapkan pasal pemberat terhadap pelaku serta memenuhi hak pemulihan dan restitusi korban.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Kami mendorong agar aparat penegak hukum bisa menerapkan pasal pemberat dalam kasus ini karena seharusnya tugas dokter itu melayani, memberikan layanan kesehatan, tetapi justru yang dilakukan adalah melakukan kejahatan seksual,” kata Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Anis Hidayah saat dihubungi Tempo pada Kamis, 10 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia menjelaskan, hukuman atas pelanggaran yang dilakukan pelaku diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Pada pasal 6 huruf c, misalnya, tertulis bahwa setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta.

Sementara itu, pada pasal 12 tertulis bahwa setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan, kerentanan, ketidaksetaraan, ketidakberdayaan, ketergantungan seseorang, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan, atau memanfaatkan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari orang itu yang ditujukan terhadap keinginan seksual dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena eksploitasi seksual, dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.

Anis menambahkan, pasal-pasal terkait dihubungkan dengan (juncto/jo) pasal 5 ayat (1) huruf b yang mengatur kewajiban lembaga negara, pemerintah, dan pemerintah daerah untuk menyediakan program dan anggaran untuk pencegahan kekerasan seksual sebagai pemberat. “Ditambah satu per tiga (dari hukuman pokok) karena pelakunya tenaga kesehatan,” tuturnya memberikan catatan tambahan.

Di samping itu, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro memberikan sejumlah catatan terhadap kasus tersebut. Pertama, dia mendorong pengusutan dan diberlakukannya proses hukum secara adil dalam menangani kasus tersebut.

Sementara bagi korban, kata Atnike, aparat penegak hukum diminta memberikan perlindungan dan pemulihan dari trauma. "Demikian juga dalam proses hukum seperti pengadilan nantinya, harus melindungi korban dari retraumatisasi," kata dia saat dihubungi secara terpisah, Kamis.

Dari segi pelayanan medis, Atnike menekankan, perlu adanya peninjauan terhadap standar kebijakan terkait prosedur tindakan medis bagi pasien maupun keluarga untuk menjamin keamanan pribadi seseorang. “Misal, tindakan medis harus didampingi oleh petugas atau keluarga, demikian pula misalnya perlu ada surat tugas dari otoritas rumah sakit dalam setiap tindakan medis yang diberikan. Sehingga penyalahgunaan atau abuse bisa dicegah,” ujarnya.

Komisioner Komnas HAM Prabianto Mukti Wibowo menilai tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) merupakan pelanggaran HAM yang serius. “Pelaku harus dihukum berat melalui peradilan yg transparan dan mempertimbangkan hak-hak korban,” ucap Prabianto lewat pesan tetrtulis, Kamis.

Kasus dugaan pelecehan seksual oleh dokter residen PPDS Unpad ini terungkap setelah sebuah akun Instagram tentang PPDS, @ppdsgramm, mengunggah tangkapan layar berisi informasi terkait kasus tersebut. 

Polda Jawa Barat telah menahan dokter residen berinisial PAP sejak 23 Maret 2025. PAP diduga melakukan kekerasan seksual terhadap keluarga pasien RSHS Bandung pada pertengahan Maret lalu. “Tersangka sudah ditangkap dan ditahan tanggal 23 Maret, saat ini masih proses sidik,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat Komisaris Besar Surawan.

Unpad dan RS Hasan Sadikin Bandung menyatakan telah memberhentikan PAP dari program PPDS karena dinilai melakukan pelanggaran etik berat. “Telah melanggar norma-norma hukum yang berlaku,” kata pernyataan resmi kedua institusi. Unpad juga menegaskan bahwa PAP bukan pegawai RSHS, melainkan peserta PPDS yang dititipkan di rumah sakit tersebut.

 

Hanin Marwah

Lulusan program studi Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta. Bergabung dengan Tempo sejak awal 2024. 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus