Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), Priguna Angerah Pratama (PAP), yang memerkosa keluarga pasien di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Hasan Sadikin, Bandung, terancam pidana penjara 12 tahun.
Dasar hukum yang digunakan terhadap tersangka pemerkosaan itu adalah Pasal 6 huruf (c) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. “Hukumannya 12 tahun penjara,” ujar Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Jabar, Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Surawan, lewat sambungan telepon kepada Tempo pada Kamis, 10 April 2025.
Adapun pasal tersebut mengatur hukuman bagi mereka yang melakukan pelecehan seksual fisik. Hukuman di Pasal 6 huruf (c) diperuntukkan bagi orang yang menyalahgunakan kedudukannya atau memanfaatkan kerentanan seseorang untuk melakukan persetubuhan maupun perbuatan cabul dengannya. Terpidana bisa dihukum penjara paling lama 12 tahun dan/atau dikenakan denda paling banyak Rp 300 juta.
Kasus ini sekarang masih berada di tahap penyidikan. Polisi akan melakukan tes DNA dari barang bukti yang telah diperoleh dari tempat kejadian perkara, dan juga melakukan psikologi forensik terhadap tersangka.
Surawan memperkirakan proses pengusutan kasus ini akan selesai dalam waktu satu bulan mendatang. “Kita usahakan cepat. Mudah-mudahan dalam waktu satu bulan ke depan sudah bisa selesai,” katanya.
Dalam kasus ini, dokter residen peserta PPDS FK Unpad Priguna Angerah Pratama (PA), 31 tahun, diduga memerkosa anak dari seorang pasien RSUP Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Tersangka membius korban terlebih dahulu sebelum melakukan kekerasan seksual terhadapnya.
Dirkrimum Polda Jabar mengatakan, korban awalnya menjaga ayahnya yang sedang sakit di RSHS Bandung. Dokter residen itu datang dengan dalih ingin mengambil sampel darah korban. Menurut pelaku, pengambilan sampel dilakukan untuk keperluan transfusi darah untuk ayah korban.
Pelaku kemudian mengajak korban ke gedung baru RSHS Bandung di lantai tujuh. Kejadian ini berlangsung pada 18 Maret 2025, sekitar pukul 00:30 WIB. Korban diminta membuka pakaiannya untuk bersalin dengan baju operasi. “Kemudian dimasukkan jarum infus sampai beberapa kali. Sudah berhasil, kemudian disambungkanlah ke infus itu, cairan semacam obat bius,” ucap Surawan.
Ketika korban terbangun, waktu sudah menunjukkan pukul 03.30 WIB. Surawan berkata korban bangun dalam keadaan pusing dan sempoyongan. Korban lalu turun untuk bertemu keluarganya. “Kemudian saat dia buang air kecil, alat vitalnya terasa sakit,” ujar Surawan.
Setelah itu, korban memberi tahu keluarganya dan segera melapor ke RSHS Bandung. Dokter di rumah sakit itu kemudian mengecek keadaan korban, dan ditemukan bahwa telah terjadi hubungan seksual yang tidak disadari oleh korban. “Dilakukanlah swab, kemudian ditemukan ada cairan sperma dan segala macam,” kata Surawan.
Pada sore hari, RSHS Bandung melaporkan tindakan kekerasan seksual itu kepada Polda Jabar. Penyidik kepolisian melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) pada 19 Maret 2025. Di sana, polisi menemukan alat kontrasepsi dan bekas obat bius di ruangan lantai tujuh gedung baru RSHS Bandung.
Polda Jabar menangkap dan segera melakukan penahanan terhadap PAP pada Ahad, 23 Maret 2025.
Kasus pemerkosaan keluarga pasien oleh dokter residen tersebut kini sedang berada dalam tahap penyidikan. “Tersangka sudah ditangkap dan ditahan tanggal 23 Maret, saat ini masih proses sidik,” kata Surawan lewat pesan singkat ketika dihubungi pada Rabu, 9 April 2025.
Unpad telah memberhentikan PAP dari program PPDS. “Karena telah melakukan pelanggaran etik profesi berat dan pelanggaran disiplin, yang tidak hanya mencoreng nama baik institusi dan profesi kedokteran, tetapi juga telah melanggar norma-norma hukum yang berlaku,” kata Unpad dalam keterangan tertulis bersama RSHS Bandung, Rabu.
Kementerian Kesehatan, yang menaungi RSHS Bandung, memastikan telah mengambil langkah tegas. Aji Muhawarman, Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, mengatakan Kemenkes telah meminta Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) untuk segera mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) pelaku. Pencabutan STR akan otomatis membatalkan Surat Izin Praktek (SIP) pelaku sebagai dokter, menurut keterangan Kemenkes pada Rabu.
Kemenkes juga berkata telah memberi instruksi kepada Direktur Utama RSHS Bandung Rachim Dinata Marsidi untuk menghentikan kegiatan residensi PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif untuk sementara waktu. Residensi bakal dihentikan selama satu bulan agar pihak rumah sakit dan Unpad bisa melakukan evaluasi pengawasan serta tata kelola FK Unpad.
Lebih lanjut, Kemenkes akan mewajibkan seluruh Rumah Sakit Pendidikan Kemenkes untuk melakukan tes kejiwaan bagi peserta PPDS di seluruh angkatan. “Tes berkala diperlukan untuk menghindari manipulasi tes kejiwaan dan mengidentifikasi secara dini kesehatan jiwa peserta didik,” kata Aji dalam keterangan tertulis, Kamis.
Pilihan Editor: Kasus Harun Masiku Melebar sampai Djoko Tjandra, Ini Penjelasan KPK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini