Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Konflik kuno, tapi terus

Kisah tentang tanah perkebunan tembakau ptp xxvii jember yang dibuka thn 1918 & sengketanya dengan rakyat sampai sekarang. pengaturan tanah masih tumpang tindih kata direktur jenderal agraria daryono. (hk)

1 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANAH garapan mendadak harus diperciut. Tentu saja para penggarap di Jember tidak dapat menerima beitu saja. Sebab tanah tersebut mereka peroleh seeara turun-temurun. Perkebunan Tembakau PTP XXVII Jember dibuka sejak 1918 oleh NV Lanbouw Maatschappij Oud Djember (LMOD). Sebagian dibuka sndiri oleh perusahaan kolonial tersebut dan selebihnya dikerjakan dengan semacam kerja paksa oleh rakyat. LMOD mengambil tenaga kerja dari Madura. Dengan bujukan dan janji muluk-muluk orang Madura dipaksa membuka hutan dengan tenaga dan biaya sendiri. Setelah membuka hutan merekapun dipaksa pula menanam tembakau pada muslm tertentu. Semua hasil panen, kecuali palawija sebagai selingan, diharuskan dijual kepada perkebunan. Di samping itu mereka masih pula dipungut pajak tanah (in natura) sebanyak 450 kg padi kering/hektar/tahun. Demikian sejarahnya nenek moyang para penggarap perkebunan tembakau Jember memperoleh haknya. Tapi April 1978, Direksi PTP mengatakan pematokan-pematokan dalam rangka apa yang disebut heregestrasi dan berkaveling Setiap patok tanah luasnya hanya boleh 0,3 hektar. Setelah pematokan selesai, menurut Direksi, akan disusul dengan pencabutan hak garap seluruh penggarap dan seterusnya pemisahan akan menentukan penggarap baru. Penggarap lama yang dianggap patuh kepada peraturan perusahaan, masih akan menerima masing-masing sepetak. Tumpang Tindih Para penggarap mempersengketakan hak turun-temurun mereka. Sebab dari atau 3 hektar tanah yang semula mereka kuasai, tiba-tiba harus menciut menjadi hanya 0,3 hektar saja. Padahal, seperti kata Abdullah Eteng dari Komisi II/DPR, jika Undang-Undang Agraria (UUPA) membatasi hak tanah, prinsipnya juga tidak boleh memecah tanah pertanian yang sudah dalam batas minimun -- untuk Jember, katanya, luas minimum itu 2 hektar. Memang kisruh. Tapi sengketa tanah memang bukan barang baru di sini. "Ini sebenarnya konflik yang kuno sekali," .kata ahli sejarah Onghokham misalnya "antara penduduk di dekat hutan negara dengan negara." Petani merasa hutan adalah haknya. Sedangkan negara merasa memilikinya. Pelanggaran selalu saja ada. Dalam zaman penjajahan pernah ada sekitar 5 ribu kasus dalam suatu tahun. Lalu, di zaman sekarang, apa kabar Undang-Undang Pokok Agraria? Memang belum dapat dilaksanakan sepenuhnya seperti kata Direktur Jenderal Agraria Daryono SH, kepada Harian Berita Baila. Pengaturan tanah belum beres. "Masih tumpang-titdih," ujar Daryono. Sedangkan kebijaksanaan pemerintah mengurusinya menurut Dr. Soerjono Sukanto SEI, MA, Dosen Fak. Hukum UI, masih selalu "bersifat ad-hoc atau sementara". UUPA, kata Soerjono, masih perlu direvisi, selain memang banyak kelemahannya dalam praktek." Persengketaan tanah, begitu ditihat ahli hukum ini, banyak tidak memilih peradilan sebagai lembaga untuk menyelesaikannya. Sebabnya, antara lain, di samping perkara akan berjalan lama juga memakan ongkos tidak sedikit. Apalagi, katarlya, bila rakyat merasa akan memperoleh keadilan tanpa melalui pengadilan. Cuma, ya itulah, kepastian hukum sering tak diperoleh sehingga sengketa demi sengketa berlangsung terus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus