Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sebuah alternatif, atau warisan

Pondok pesantren djamsaren di sala, didirikan 1.700: pesantren tarbiyah, di candung didirikan 1928: diniyah putri di padang panjang didirikan 1923. pendapat pimpinan pondok, pesantrennya kekurangan siswa.(ag)

1 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PONDOK Pesantren Djamsaren Sala, lebih tua umurnya dibanding Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Demikian diungkapkan oleh Kyai H. Ali Darokah. Raja Surakarta PB II (yang pindah dari Kartosuro) membangun Kraton sekaligus Masjid Besar Sala. Lalu PB IV memberi dorongan pada Kyai Djamsari untuk mendirikan pesantren. Dengan begitu, kira-kira di tahun 1700, Pondok Pesantren Djamsaren didirikan. Pondok seterusnya dipimpin oleh Kyai Djamsari III, berakhir sekitar 1825. Tahun-tahun ini saat dimulainya Pemberontakan Diponegoro. Kyai Djamsari ke-III, menyokong gerakan Diponegoro ini, dan tak ada yang tahu hingga kini nasib Kyai dalam perang itu. "Kyai Djamsari hilang," kata Kyai H. Ali Darokah. Dan semalang Kyai Djamsari, demikian pula nasib pondoknya. Dirusakoleh Belanda. Sebab itu Pondok Djamsaren kosong tanpa kegiatan selama lebih kurang 60 tahun. Baru di tahun 1878 pnndok ditata kembali oleh Kyai H. Idris. Diteruskan oleh menantunya, Kyai H. Abu Umar. Lalu puteranya, Kyai H. Ali Barokah sekarang, sejak 1963. Tapi yang tinggal memang nyaris hanya sejarah saja. Berbeda misalnya dengan Pesantren Tebuireng yang ribuan orang santrinya, siswa Djamsaren paling-paling tinggal 300 orang, dengan keadaan bangunan-bangunan yang sepi. Bagaimana pula dengan di lingkungan lain, di Sumatera Barat? Fungsi pesantren di Minangkabau sudah mundur. Ini penilaian seorang Kepala Kantor Wilayah Departemen P&K Sumatera Barat, Amri Ali. Dunia pesantren di Sumatera Barat (Minangkabau) memang jauh berakar kez aman silam. Misalnya Pesantren Tarbiyah di Candung, 11 km dari Bukittinggi, dikenal pesantren paling tua --didirikan Syech Sulaiman Arrasuly, 5 Mei 1928. Dalam usia lebih setengah abad dan punya cabang ratusan sekolah Tarbiyah di seluruh Indonesia, pesantren itu tidak banyak berubah. Alumni tetap dilantik dengan sumpah mempertahankan "faham ahlulsunnah waljamaah dalam soal iktikad (tauhid)" dan "mazhab Syafei dalam furuk yariiah". "Dan itu ditulis dalam ijazah," kata drs. Abdul Munir Rusli, putera almarhum pendiri yang kini jadi Ketua Yayasan Sulaiman Arrasuly. Seperti juga dulu, alumni laki-laki diharapkan minimal bisa menjadi khatib di desa asalnya. Ia harus mampu berdiri di mimbar Jum'at dan mempertahankan "prinsip-prinsip" itu. Dan benar juga: latar belakang pendirian sekolah Tarbiyah memang boleh dikata dalam kerangka mempertahankan pendirian kaum tua, ketika di awal tahun 20-an lahir paham kaum muda yang dipimpin antara lain oleh Syech Abdul Karim Amrullah, ayah Prof. Dr. Hamka. Sekarang mereka mempunyai siswa 600 orang puteraputeri, dengan 36 guru. Apakah karena "prinsip-prinsip itu, ataukah karena yang lain, agaknya benar bahwa kini pesantren kehilangan isyu untuk menarik anak muda. Tapi menurut Amir Ali motif utama adalah karena tiadanya jaminan lapangan kerja. Tapi adakah pesantren sudah demikian gawat? Kalangan pimpinan pesantren di Sum-Bar secara tidak langsung menolak. Bahkan mereka berbangga dengan misalnya Diniyah Putri Padang Panjang. Diniyah Putri ini, didirikan oleh Encik Rahmah El-Yunusiah tahun 1923, kini punya 800 pelajar mulai dari tingkat SLTP (Tsanawiyah) sampai perguruan tinggi -- Fakultas Dirasat El Islamiyah. Pelajar secara tradisional masih umum datang dari pedesaan--juga dari jauh: Sabah, Ujung Pandang, Ambon, Surabaya. Pimpinan Diniyah Putri sekarang, dra Isnaniyah Saleh, meskipun tidak eterkenal Encik Rahmah El Yunusiah tapi tokoh yang disegani. Dengan 60 orang guru, Diniyah Putri tergolong jarang menerima subsidi. Dan kalau toh kenyataannya ada sebagian siswi Diniyah yang pindah ke sekolah negeri, dan tidak sebaliknya--seperti juga terjadi di Pesantren Candung--dan kalau memang alasannya lapangan kerja, maka apa boleh buat. Pesantren, baik tradisional maupun "modern", tidak pernah didirikan untuk menyiapkan pegawai. Tapi tidak adakah alasan lain?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus