PONDOK Pesantren Djamsaren Sala, lebih tua umurnya dibanding
Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Demikian diungkapkan oleh
Kyai H. Ali Darokah.
Raja Surakarta PB II (yang pindah dari Kartosuro) membangun
Kraton sekaligus Masjid Besar Sala. Lalu PB IV memberi dorongan
pada Kyai Djamsari untuk mendirikan pesantren. Dengan begitu,
kira-kira di tahun 1700, Pondok Pesantren Djamsaren didirikan.
Pondok seterusnya dipimpin oleh Kyai Djamsari III, berakhir
sekitar 1825. Tahun-tahun ini saat dimulainya Pemberontakan
Diponegoro. Kyai Djamsari ke-III, menyokong gerakan Diponegoro
ini, dan tak ada yang tahu hingga kini nasib Kyai dalam perang
itu. "Kyai Djamsari hilang," kata Kyai H. Ali Darokah. Dan
semalang Kyai Djamsari, demikian pula nasib pondoknya.
Dirusakoleh Belanda. Sebab itu Pondok Djamsaren kosong tanpa
kegiatan selama lebih kurang 60 tahun.
Baru di tahun 1878 pnndok ditata kembali oleh Kyai H. Idris.
Diteruskan oleh menantunya, Kyai H. Abu Umar. Lalu puteranya,
Kyai H. Ali Barokah sekarang, sejak 1963.
Tapi yang tinggal memang nyaris hanya sejarah saja. Berbeda
misalnya dengan Pesantren Tebuireng yang ribuan orang santrinya,
siswa Djamsaren paling-paling tinggal 300 orang, dengan keadaan
bangunan-bangunan yang sepi. Bagaimana pula dengan di
lingkungan lain, di Sumatera Barat?
Fungsi pesantren di Minangkabau sudah mundur. Ini penilaian
seorang Kepala Kantor Wilayah Departemen P&K Sumatera Barat,
Amri Ali.
Dunia pesantren di Sumatera Barat (Minangkabau) memang jauh
berakar kez aman silam. Misalnya Pesantren Tarbiyah di Candung,
11 km dari Bukittinggi, dikenal pesantren paling tua --didirikan
Syech Sulaiman Arrasuly, 5 Mei 1928. Dalam usia lebih setengah
abad dan punya cabang ratusan sekolah Tarbiyah di seluruh
Indonesia, pesantren itu tidak banyak berubah. Alumni tetap
dilantik dengan sumpah mempertahankan "faham ahlulsunnah
waljamaah dalam soal iktikad (tauhid)" dan "mazhab Syafei dalam
furuk yariiah". "Dan itu ditulis dalam ijazah," kata drs.
Abdul Munir Rusli, putera almarhum pendiri yang kini jadi Ketua
Yayasan Sulaiman Arrasuly.
Seperti juga dulu, alumni laki-laki diharapkan minimal bisa
menjadi khatib di desa asalnya. Ia harus mampu berdiri di mimbar
Jum'at dan mempertahankan "prinsip-prinsip" itu. Dan benar juga:
latar belakang pendirian sekolah Tarbiyah memang boleh dikata
dalam kerangka mempertahankan pendirian kaum tua, ketika di awal
tahun 20-an lahir paham kaum muda yang dipimpin antara lain
oleh Syech Abdul Karim Amrullah, ayah Prof. Dr. Hamka. Sekarang
mereka mempunyai siswa 600 orang puteraputeri, dengan 36 guru.
Apakah karena "prinsip-prinsip itu, ataukah karena yang lain,
agaknya benar bahwa kini pesantren kehilangan isyu untuk
menarik anak muda. Tapi menurut Amir Ali motif utama adalah
karena tiadanya jaminan lapangan kerja.
Tapi adakah pesantren sudah demikian gawat? Kalangan pimpinan
pesantren di Sum-Bar secara tidak langsung menolak. Bahkan
mereka berbangga dengan misalnya Diniyah Putri Padang Panjang.
Diniyah Putri ini, didirikan oleh Encik Rahmah El-Yunusiah tahun
1923, kini punya 800 pelajar mulai dari tingkat SLTP
(Tsanawiyah) sampai perguruan tinggi -- Fakultas Dirasat El
Islamiyah. Pelajar secara tradisional masih umum datang dari
pedesaan--juga dari jauh: Sabah, Ujung Pandang, Ambon,
Surabaya.
Pimpinan Diniyah Putri sekarang, dra Isnaniyah Saleh, meskipun
tidak eterkenal Encik Rahmah El Yunusiah tapi tokoh yang
disegani. Dengan 60 orang guru, Diniyah Putri tergolong jarang
menerima subsidi. Dan kalau toh kenyataannya ada sebagian siswi
Diniyah yang pindah ke sekolah negeri, dan tidak
sebaliknya--seperti juga terjadi di Pesantren Candung--dan kalau
memang alasannya lapangan kerja, maka apa boleh buat. Pesantren,
baik tradisional maupun "modern", tidak pernah didirikan untuk
menyiapkan pegawai. Tapi tidak adakah alasan lain?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini