SUASANA di beberapa kawasan perkebunan di Sumatera Utara sedang
tidak begitu enak. Beberapa korban telah jatuh. Menurut Abdullah
Eteng, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI, "ratusan tentara,
hansip, intel dan centeng perkebunan" turun ke lapangan dalam
rangka "mengamankan" areal perkebunan PTP-IX dan II. Tanaman
rakyat digilas traktor. Ribuan lembu juga dikerahkan untuk
mengganyang tanaman padi dan jagung. Kata Eteng, sudah 5.000
petani terusir dari kebun mereka.
Apa sebenarnya yang terjadi? Abdullah Eteng, 5 Agustus lalu,
membentangkannya seperti berikut. Karena penduduk Sumatera Utara
di sekitar daerah perkebunan makin padat, pada 1955 pemerintah
menarik kembali tanah seluas 317 ribu hektar dari perkebunan
negara untuk dibagi-bagikan kepada petani. Termasuk di dalamnya
tanah milik perkebunan tembakau yang tergabung dalam Deli
Planters Vereeniging, di daerah angin Bohorok, di antara Sei
Ular dan Sei Wampu. Mulanya tanah perkebunan tembakau ini
luasnya sampai 250 ribu hektar. Belakangan makin susut menjali
125 ribu (1955) dan akhirnya tinggal 59 ribu (1965). Pun kebun
tembakau kebanggaan nasional tersebut belakangan menjadi
perkebunan kelapa sawit, karet, coklat, tebu dan macam-macam
lagi.
Penggunaan tanah perkebunan oleh rakyat diperkenankan melalui
undang-undang (Undang-Undang Darurat No. '1954). Dalam
penjelasan U.U. ini disebutkan "lebih mendahulukan kepentingan
kaum tani daripada kepentingan perkebunan." Tersebut begitu pula
di dalam Peperti No. 2/1960. Sehingga petani dapat memiliki
surat-surat tanah seperti KRPT (Kartu Reorganisasi Pemakaian
Tanah Sumatera Utara), sertifikat hak milik atau SK.
Bila sebelumnya tanah perkebunan diserobot petani, sebelum 1965,
belakangan pihak perkebunan berusaha menarik kembali tanahnya.
Untuk mengamankan areal tanah perkebunan, Maret 1967, dibentuk
Komando Operasi Pengamanan Tanah PPN Tembakau Deli. Diumumkan,
antara lain, areal tanah perkebunan tembakau dinyatakan tertutup
dari segala jenis penggarapan. Penggarap yang muncul sesudah 13
Juli 1960, yaitu yang tidak dilindungi UU Darurat No. 8/1954 dan
Peperti No. 2/1960 (Peraturan Penguasa Perang Tertinggi tentang
penyediaan tanah siap garap bagi penggarap yang tergusur),
diharuskan meninggalkan tanah garapannya sesegera mungkin.
Sedangkan penggarap sah, yang sudah ada sebelum 1960, akan
diselesaikan oleh komando.
Teorinya petani penggarap yang sah masih diindahkan. Tapi praki
eknya, menurut Abdullah Eteng, menimbulkan banyak keruwetan.
Mulai dari camat sampai kepala kampung, dikerahkan membersihkan
tanah dari tanaman rakyat "tanpa mempedulikan areal yang
dikecualikan," ujar Abdullah Eteng yang akhir-akhir ini gigih
mengurusi perkebunan rakyat. Padahal, katanya, jelas ada aturan
yang mengecualikan pemberian Hak Guna Usaha (HGU baru bagi
bekas areal perkebunan yang sudah merupakan perkampungan rakyat,
telah diusahakan secara menetap atau yang diperlukan oleh
pemerintah (Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No.
11/1962).
Operasi Pengamanan Tanah PPN Tembakau Deli itulah awal
kekisruhan antara petani dengan pihak perkehunan, Yang terjadi
macam-macam. Kisah keluarga Bogol Sinuraya dari Kampung Beruam
di Langkat ini hanya satu dari sekian banyak kejadian.
Suatu hari, 1972, serombongan traktor dari perkebunan PNP II
Bakiun "berjalan-jalan" menggilas tanaman garapan rakyat. Bogol
si petani penggarap berusaha mencegahnya. Karena dia mrasa
penggarap sah 2 hektar tanah yang memang berasal dari areal PNP
Bakiun, sejak bertahun-tahun sebelumnya berdasarkan
undang-undang. Bogol ditangkap dan diarak keliling kampung.
Isterinya berusaha membantu Bogol menghadang traktor. Tapi ia
dikerubuti petugas. Terapi saling tarik. Isteri Bogol tertarik
kainnya sehingga perempuan ini bugil di tengah jalan. Melihat
tanaman menantunya rusak dan menyaksikan anak perempuannya
telanjang di jalan, Ngulihi boru Tarigan sedih dan putus asa.
Dia langsung mencoba bunuh diri dengan menenggak air tuba.
Untung jiwanya dapat diselamatkan oleh orang kampung.
Dari Sibolangit juga terdapat cerita serupa. Beberapa orang
penduduk, seperti Tinggi Tarigan, Temengena br Sembiring dan
Kelingi br Tarigan hampir miring otak. Mereka adalah di antara
penduduk Sibolngit yang terpaksa menyerahkan tanah garapannya
kepada perkebunan PNP II Bekala.
Penduduk Sibolangit puluhan tahun yang lalu (1942) membuka hutan
seluas 200 hektar dari tanah cadangan konsesi Sain Myr milik
Deli Maatschapij atas anjuran pemerintah pendudukan Jepang.
Pihak perkebunan menyetujuinya. Hutan telah menjadi
perkampungan makmur. Sampai datang "bencana". Mulanya, Agustus
1974, beberapa orang penduduk dipanggil ke kantor polisi.
Maksudnya, tak lain, agar penduduk menyerahkan kembali tanahnya
kepada perkebunan.
Karena penduduk menolak ganti rugi Rp 50 ribu/hektar, menurut
cerita Eteng, orang-orang Sibolangit ditahan semalam. Di situ
mereka diancam siapa tak menurut, silakan pulang mengambil tikar
dan bantal, terus masuk tempat tahanan PKI di Tanjung Kassau.
Penduduk takut. dan menyerah.
Tapi apa yang terjadi sekeluar dari tahanan ? Keluarga mereka
menyambut dengan tangis melolong-lolong. Rupanya, ketika
beberapa orang penduduk masih dalam tahanan, beberapa puluh
traktor telah mengganyang tanaman di atas tanah garapan rakyat.
Petani yang lain juga kena perangkap. Mereka ditemui oleh
beberapa orang yang menyatakan dirinya panitia. KRPT
dikumpulkan, katanya, untuk ditukar dengan sertifikat. Penduduk
terbujuk. Apa yang terjadi berikutnya? Dengan enaknya "panitia"
mengumumkan KRPT telah hilang terbakar. Dan, eh, mendadak muncul
traktor-traktor menggilas tanah maka yang sudah kehilangan
KRPT.
Dari berbagai kisah akhirnya Abdullah Eteng dapat mengumpulkan
sekitar 39 kasus yang dibawanya. ke Komisi II/DPR. Menteri Dalam
Negeri ambil perhatian. Misalnya terhadap kasus PTP-IX.
Dikatakan oleh Mendagri dalam suatu rapat kerja di DPR enam
bulan lalu, bahwa tanah-tanah yang diperkarakan rakyat di
antaranya memang di luar areal perkebunam Direktur Jenderal
Agraria, sementara itu juga berjanji: "Dalam persengketaan
antara kaum tani yang lemah dengan pihak yang kuat pemerintah
selamanya akan berdiri di pihak kaum tani . . . "
Operasi Sadar
Tapi belum lagi petani merasakan realisasi ucapan pejabat
tersebut, mendadak muncul Operasi Sadar. Berbeda dengan Operasi
Pengamanan Tanah PPN Tembakau Deli, yang teorinya hanya membabat
dan menggusur petani penggarap tanah perkebunan sebelum 1960
(yang tidak sah) --walaupun prakteknya toh tanpa pengecualian
--Operasi Sadar malah bermaksud mengusir semua petani, penggarap
sah apalagi yang liar. Bahkan menurut Abdullah Eteng, "termasuk
kaum tani pemilik sertifikat hak milik yang berada di pinggir
perkebunan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan
perkebunan." Begitu pula perkebunan swasta, "seperti PT London"
misalnya, menurut Eteng juga nebeng Operasi Sadar.
Tapi di Jawa Tengah, pekan lalu Gubernur Suparjo Rustam
menyejukkan hati. Seperti diberitakan Harian Kompas, Suparjo
berkata, "Para petani penggarap tanah negara tidak perlu
gelisah, karena hak mereka tidak akan dihapus." Bersamaan dengan
itu, kepada para bupati dan walikota di Jawa Tengah
diingatkannya, agar "dalam menangani soal tanah, jangan
sekali-kali main paksa, kekerasan, apalagi main ancam semua
harus diselesaikan secara musyawarah dan mufakat."
Rupanya ada berkahnya juga kehebohan dan ledakan soal tanah
belakangan ini, mungkin ke arah penyelesaian hukum tanah yang
mendasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini