Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sadar menggusur, tanpa kecuali

Tanaman rakyat digilas traktor perkebunan negara & sudah 5.000 petani terusir dari kebun mereka di sumatera utara. abdullah eteng, anggota komisi ii dpr dapat mengumpulkan 39 kasus yang dibawanya ke dpr.(hk)

1 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA di beberapa kawasan perkebunan di Sumatera Utara sedang tidak begitu enak. Beberapa korban telah jatuh. Menurut Abdullah Eteng, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI, "ratusan tentara, hansip, intel dan centeng perkebunan" turun ke lapangan dalam rangka "mengamankan" areal perkebunan PTP-IX dan II. Tanaman rakyat digilas traktor. Ribuan lembu juga dikerahkan untuk mengganyang tanaman padi dan jagung. Kata Eteng, sudah 5.000 petani terusir dari kebun mereka. Apa sebenarnya yang terjadi? Abdullah Eteng, 5 Agustus lalu, membentangkannya seperti berikut. Karena penduduk Sumatera Utara di sekitar daerah perkebunan makin padat, pada 1955 pemerintah menarik kembali tanah seluas 317 ribu hektar dari perkebunan negara untuk dibagi-bagikan kepada petani. Termasuk di dalamnya tanah milik perkebunan tembakau yang tergabung dalam Deli Planters Vereeniging, di daerah angin Bohorok, di antara Sei Ular dan Sei Wampu. Mulanya tanah perkebunan tembakau ini luasnya sampai 250 ribu hektar. Belakangan makin susut menjali 125 ribu (1955) dan akhirnya tinggal 59 ribu (1965). Pun kebun tembakau kebanggaan nasional tersebut belakangan menjadi perkebunan kelapa sawit, karet, coklat, tebu dan macam-macam lagi. Penggunaan tanah perkebunan oleh rakyat diperkenankan melalui undang-undang (Undang-Undang Darurat No. '1954). Dalam penjelasan U.U. ini disebutkan "lebih mendahulukan kepentingan kaum tani daripada kepentingan perkebunan." Tersebut begitu pula di dalam Peperti No. 2/1960. Sehingga petani dapat memiliki surat-surat tanah seperti KRPT (Kartu Reorganisasi Pemakaian Tanah Sumatera Utara), sertifikat hak milik atau SK. Bila sebelumnya tanah perkebunan diserobot petani, sebelum 1965, belakangan pihak perkebunan berusaha menarik kembali tanahnya. Untuk mengamankan areal tanah perkebunan, Maret 1967, dibentuk Komando Operasi Pengamanan Tanah PPN Tembakau Deli. Diumumkan, antara lain, areal tanah perkebunan tembakau dinyatakan tertutup dari segala jenis penggarapan. Penggarap yang muncul sesudah 13 Juli 1960, yaitu yang tidak dilindungi UU Darurat No. 8/1954 dan Peperti No. 2/1960 (Peraturan Penguasa Perang Tertinggi tentang penyediaan tanah siap garap bagi penggarap yang tergusur), diharuskan meninggalkan tanah garapannya sesegera mungkin. Sedangkan penggarap sah, yang sudah ada sebelum 1960, akan diselesaikan oleh komando. Teorinya petani penggarap yang sah masih diindahkan. Tapi praki eknya, menurut Abdullah Eteng, menimbulkan banyak keruwetan. Mulai dari camat sampai kepala kampung, dikerahkan membersihkan tanah dari tanaman rakyat "tanpa mempedulikan areal yang dikecualikan," ujar Abdullah Eteng yang akhir-akhir ini gigih mengurusi perkebunan rakyat. Padahal, katanya, jelas ada aturan yang mengecualikan pemberian Hak Guna Usaha (HGU baru bagi bekas areal perkebunan yang sudah merupakan perkampungan rakyat, telah diusahakan secara menetap atau yang diperlukan oleh pemerintah (Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 11/1962). Operasi Pengamanan Tanah PPN Tembakau Deli itulah awal kekisruhan antara petani dengan pihak perkehunan, Yang terjadi macam-macam. Kisah keluarga Bogol Sinuraya dari Kampung Beruam di Langkat ini hanya satu dari sekian banyak kejadian. Suatu hari, 1972, serombongan traktor dari perkebunan PNP II Bakiun "berjalan-jalan" menggilas tanaman garapan rakyat. Bogol si petani penggarap berusaha mencegahnya. Karena dia mrasa penggarap sah 2 hektar tanah yang memang berasal dari areal PNP Bakiun, sejak bertahun-tahun sebelumnya berdasarkan undang-undang. Bogol ditangkap dan diarak keliling kampung. Isterinya berusaha membantu Bogol menghadang traktor. Tapi ia dikerubuti petugas. Terapi saling tarik. Isteri Bogol tertarik kainnya sehingga perempuan ini bugil di tengah jalan. Melihat tanaman menantunya rusak dan menyaksikan anak perempuannya telanjang di jalan, Ngulihi boru Tarigan sedih dan putus asa. Dia langsung mencoba bunuh diri dengan menenggak air tuba. Untung jiwanya dapat diselamatkan oleh orang kampung. Dari Sibolangit juga terdapat cerita serupa. Beberapa orang penduduk, seperti Tinggi Tarigan, Temengena br Sembiring dan Kelingi br Tarigan hampir miring otak. Mereka adalah di antara penduduk Sibolngit yang terpaksa menyerahkan tanah garapannya kepada perkebunan PNP II Bekala. Penduduk Sibolangit puluhan tahun yang lalu (1942) membuka hutan seluas 200 hektar dari tanah cadangan konsesi Sain Myr milik Deli Maatschapij atas anjuran pemerintah pendudukan Jepang. Pihak perkebunan menyetujuinya. Hutan telah menjadi perkampungan makmur. Sampai datang "bencana". Mulanya, Agustus 1974, beberapa orang penduduk dipanggil ke kantor polisi. Maksudnya, tak lain, agar penduduk menyerahkan kembali tanahnya kepada perkebunan. Karena penduduk menolak ganti rugi Rp 50 ribu/hektar, menurut cerita Eteng, orang-orang Sibolangit ditahan semalam. Di situ mereka diancam siapa tak menurut, silakan pulang mengambil tikar dan bantal, terus masuk tempat tahanan PKI di Tanjung Kassau. Penduduk takut. dan menyerah. Tapi apa yang terjadi sekeluar dari tahanan ? Keluarga mereka menyambut dengan tangis melolong-lolong. Rupanya, ketika beberapa orang penduduk masih dalam tahanan, beberapa puluh traktor telah mengganyang tanaman di atas tanah garapan rakyat. Petani yang lain juga kena perangkap. Mereka ditemui oleh beberapa orang yang menyatakan dirinya panitia. KRPT dikumpulkan, katanya, untuk ditukar dengan sertifikat. Penduduk terbujuk. Apa yang terjadi berikutnya? Dengan enaknya "panitia" mengumumkan KRPT telah hilang terbakar. Dan, eh, mendadak muncul traktor-traktor menggilas tanah maka yang sudah kehilangan KRPT. Dari berbagai kisah akhirnya Abdullah Eteng dapat mengumpulkan sekitar 39 kasus yang dibawanya. ke Komisi II/DPR. Menteri Dalam Negeri ambil perhatian. Misalnya terhadap kasus PTP-IX. Dikatakan oleh Mendagri dalam suatu rapat kerja di DPR enam bulan lalu, bahwa tanah-tanah yang diperkarakan rakyat di antaranya memang di luar areal perkebunam Direktur Jenderal Agraria, sementara itu juga berjanji: "Dalam persengketaan antara kaum tani yang lemah dengan pihak yang kuat pemerintah selamanya akan berdiri di pihak kaum tani . . . " Operasi Sadar Tapi belum lagi petani merasakan realisasi ucapan pejabat tersebut, mendadak muncul Operasi Sadar. Berbeda dengan Operasi Pengamanan Tanah PPN Tembakau Deli, yang teorinya hanya membabat dan menggusur petani penggarap tanah perkebunan sebelum 1960 (yang tidak sah) --walaupun prakteknya toh tanpa pengecualian --Operasi Sadar malah bermaksud mengusir semua petani, penggarap sah apalagi yang liar. Bahkan menurut Abdullah Eteng, "termasuk kaum tani pemilik sertifikat hak milik yang berada di pinggir perkebunan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkebunan." Begitu pula perkebunan swasta, "seperti PT London" misalnya, menurut Eteng juga nebeng Operasi Sadar. Tapi di Jawa Tengah, pekan lalu Gubernur Suparjo Rustam menyejukkan hati. Seperti diberitakan Harian Kompas, Suparjo berkata, "Para petani penggarap tanah negara tidak perlu gelisah, karena hak mereka tidak akan dihapus." Bersamaan dengan itu, kepada para bupati dan walikota di Jawa Tengah diingatkannya, agar "dalam menangani soal tanah, jangan sekali-kali main paksa, kekerasan, apalagi main ancam semua harus diselesaikan secara musyawarah dan mufakat." Rupanya ada berkahnya juga kehebohan dan ledakan soal tanah belakangan ini, mungkin ke arah penyelesaian hukum tanah yang mendasar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus