PARA atlet nantinya masuk perguruan tinggi sama seperti masuk pelatnas atau pelatda. Mereka tak lagi mengikuti tes masuk sebagaimana layaknya calon mahasiswa. Institut Teknologi Bandung (ITB) telah memutuskan akan membuka pintu bagi para atlet berprestasi lulusan SMA A1 dan A2 tanpa harus ikut seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi (UMPT). "Mungkin tahun depan baru mulai dilaksanakan," kata Dr. Arifin Wardiman, Pembantu Rektor I ITB, pada TEMPO. Gagasan menerima atlet berprestasi masuk ITB tanpa tes, menurut Rektor ITB Prof. Wiranto Arismunandar, terutama untuk menghargai keberhasilan para atlet. Bahkan, katanya, semangat para atlet itu yang perlu ditularkan kepada para mahasiswa ITB yang nonatlet. "Mental atlet untuk selalu menjadi juara dan pemenang adalah suatu yang berharga," katanya. Yang juga tak kalah penting, kata Arifin, ITB perlu menunjukkan pada masyarakat bahwa mahasiswa mampu menjadi olahragawan yang baik. "Dengan memberi kesempatan pada atlet berprestasi, kami harapkan mereka mampu mengimbas kepada mahasiswa lain" tambah Arifin, staf pengajar di teknik fisika itu. ITB akan menjaring atlet berprestasi tanpa jalur tes lewat bantuan KONI Pusat. Menurut Sekjen KONI Pusat dr. Moch. Sarengat beberapa waktu lalu, ITB telah memberitahukan rencana itu. Namun, kata Indra Djati, Pembantu Rektor III, ITB sendiri juga membuat kriteria. Misalnya, seorang jago renang di sebuah SMA yang kemudian menjadi juara daerahnya. "Mereka sudah dapat dikatakan berprestasi. Atlet itu bisa diterima jika ia memang berminat dan mengajukan diri," katanya. Diperkirakan, tak gampang mendapatkan bibit olahragawan top yang sekaligus hebat dalam pelajaran. Dari 1.700 mahasiswa yang diterima ITB tiap tahun, "jika diperoleh satu persen saja dari mahasiswa baru, itu sudah sangat baik," kata Indra Djati. Selanjutnya, tugas KONI, kata Sarengat, adalah menyerahkan data atlet yang dianggap layak masuk ITB. Misalnya prestasinya memang baik, tingkat daerah, nasional, atau internasional, nilai akademis, dan yang penting -- mereka memang berminat masuk ITB. Kriteria rincinya, KONI akan menyerahkannya ke KONI daerah, yang dianggap lebih mengenal atletnya. "Misalnya prioritas untuk atlet yang pernah masuk pelatda, pelatnas, atau berprestasi internasional," katanya. Dispensasi ini diberikan terutama mengingat bahwa waktu belajar para atlet kebanyakan tak sama dengan siswa biasa. Kecuali latihan dan mengikuti rangkaian pertandingan di dalam dan luar negeri, kesempatan mereka mengikuti pelajaran memang akan lebih sedikit dibandingkan siswa lainnya. Gagasan ITB itu, menurut Prof. Bambang Soehendro, mungkin akan mendapat banyak sorotan, baik dari segi positif maupun negatif. Segi positifnya, kata Direktur Pembinaan Sarana Akademis Direktorat Pendidikan Tinggi itu, mungkin ITB akan membantu mengembangkan olahraga dan memberikan kesempatan kepada para atlet. Segi negatifnya, bisa saja ada orang yang berpendapat, program itu malah akan mengurangi kesempatan orang lain yang ingin masuk ITB. "Harapan saya, kelulusan mereka bukan hanya karena mereka sebagai atlet," katanya. Kecuali menerima atlet berprestasi sebagai mahasiswanya, ITB tahun ini juga mulai memasukkan olahraga sebagai salah satu mata kuliah wajib. Mata kuliah itu akan diberikan kepada mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB), mulai tahun ini. Program serupa sebenarnya pernah jalan sejak 1973. Setelah lima tahun, olahraga dihapuskan. Alasannya, karena Dewan Mahasiswa ITB dibekukan dan diberlakukannya NKK/BKK. Dengan masuknya mata kuliah olahraga, kata Arifin, sarjana ITB diharapkan akan mampu bekerja dan produktif selama kurun waktu yang cukup panjang. "Karena itu, mahasiswa ITB perlu mempunyai apresiasi aktif terhadap olahraga," katanya. Selain meningkatkan prestasi olahraga, menurut pembantu rektor bidang akademik itu, ITB diharapkan akan mampu merancang perlengkapan olahraga yang canggih. Misalnya sepatu lari yang bisa dipakai dengan nyaman atau berbagai teknologi yang berkaitan dengan olahraga. Kegiatan olahraga dirancang tanpa merugikan kepentingan mahasiswa. Hari Sabtu, misalnya. Kampus akan disemarakkan dengan kegiatan khusus, yakni olahraga. Fasilitas tersedia untuk 10 cabang olahraga. Selain itu, kuliah hanya akan diberikan hingga pukul 4 sore. Sesudahnya, waktu disediakan untuk olahraga. Selama ini kegiatan kuliah biasanya baru usai pukul 5 sore. Hari Sabtu tetap disibukkan dengan kuliah atau kadang-kadang ujian. Bila ada atlet yang harus bertanding atau masuk pelatnas, ITB akan memberikan jalan keluar. "Kami bisa memberi mereka izin untuk tak ikut kuliah atau mendapat ujian susulan. Hanya, kami akan minta pengertian para dosen," kata Indra Djati, yang juga bekas atlet nasional itu. Pelaksanaan kuliah olahraga yang mempunyai 2 SKS itu dimulai September mendatang. Untuk menunjang pelaksanaan mata kuliah itu, ITB mendapat bantuan dosen dari IKIP Bandung 63 tenaga pengajar. Kegiatan olahraga akan berlangsung setiap hari Sabtu, mulai pukul 7 pagi hingga pukul 5 sore. Di luar negeri, kata Arifin, perguruan tinggi yang top ternyata juga punya kegiatan olahraga yang hebat. Misalnya di University of Princenton, 39 persen mahasiswanya aktif ikut bertanding dalam berbagai turnamen. Dan di University of Harvard, mahasiswa yang aktif ikut bertanding sekitar 25 persen. Bandingkan dengan peminat olahraga di ITB. "Hanya sekitar satu persen dari 10.000 mahasiswa," kata Arifin. Lantas, cuma berapa yang masuk golongan atlet nasional dan internasional. Gatot Triyanto, Sri Indrayati (Jakarta), dan Heddy Susanto (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini