Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Korban-Korban Hakim partikulir

Jumlah korban pengeroyokan semakin memprihatinkan. Banyak korban yang tidak berdosa tewas, seperti yang dialami Hernanti dan Mistar. Kesadaran hukum masyarakat belum baik. (krim)

4 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAL menyambut Hernanto di Jalan - Kartini, Semarang Utara. Di situ, malam itu, baru saja terjadi kasus tabrak lari. Saat orang-orang masih ramai berkumpul, dengan sepeda motornya Hernanto lewat di sana. Ia dicegat sekelompok pemuda dan dihajar beramai-ramai. Terakhir sekali, belasan pemuda yang kalap - yang menduga bahwa korban adalah pelaku tabrak lari mengangkat dan menghantamkan sepeda motor ke tubuh pemiliknya. Pemuda baik-baik itu pun, yang baru berusia 19 tahun, tewas. Kasus "salah keroyok" itu pekan-pekan ini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Semarang. Suheri dan 12 orang temannya duduk di kursi terdakwa untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang mereka lakukan pada malam Natal 1984 lalu. "Saya tidak mengira korban sampai meninggal," kata Suheri, yang memotori kawan-kawannya untuk melakukan pengeroyokan. Mistar, 30, dari Jember tak sampai tewas seperti Hernanto. Namun, penderitaannya tidaklah ringan. Buruh tani itu dijemput seorang petugas Babinsa dan pamong desa Jubung, tengah malam, karena dituduh mencuri. Ia disiksa sampai siang keesokan harinya. Dan sewaktu ada kesempatan, ia mencoba lari - dan itu yang membuatnya lebih celaka: ia diteriaki "maling", dan massa mengeroyoknya. Kini, setelah hampir satu setengah bulansejak disiksa dan dikeroyok, ayah satu anak itu masih terbaring sakit di rumahnya. Sebelah matanya bengkak dan tak bisa lagi melihat, badan memar, penuh bekas sundutan rokok. Ia, lewat kakaknya, mengadukan kasus penganiayaan itu ke alamat Pom ABRI, Polda Jawa Timur, dan beberapa instansi lain. Mistar jelas merasa diperlakukan sewenang-wenang. Ia memang bukan pencuri. Sebab, Karim, orang yang dikabarkan memberi informasi seolah Mistar pencuri, menyanggah. "Saya justru minta tolong kepada Mistar, agar mengamat-amati dua gembong maling yang ada di sekitar terminal," kata Karim, yang rumahnya memang tak berapa jauh dari terminal kendaraan umum di Jember. Baik Mistar maupun Hernanto hanyalah dua dari sekian banyak korban main hakim sendiri. Belakangan ini, menurut Dokter Abdul Mun'im dari LK UI, diJakarta kasus pengeroyokan memang cukup memprihatmkan. Selama triwulan pertama tahun 1985 ini, diJakarta sedikitnya tercatat ada 16 korban yang tewas akibat pengeroyokan. Berarti ada kenaikan dibanding dua triwulan sebelumnya - Juli sampai Desember 1984 yang hanya 20 kasus. Korban paling mengerikan adalah Sugan, 30, yang tinggal di Kampung Bandan, Jakarta Utara. Di tengah malam, 18 Maret lalu, ia dijemput dari rumahnya oleh sekitar 30 lelaki bersenjata pisau, potongan besi, dan kayu. Sepotong kayu, tampak dipantekkan ke mulut korban hingga tembus ke leher. Sebelah matanya copot, kepala retak, dan sekujur tubuh penuh bekas penganiayaan. Masih belum cukup, para pengeroyok yang sampai kini belum diketahui jelas identitasnya - agaknya ingin melumatkan tubuh Sugan. Terbukti korban, yang sudah tak bernyawa, diletakkan melintang di atas rel kereta api. Motif pengeroyokan itu belum jelas. Cuma, kata sementara tetangganya, korban dulunya dikenal sebagai orang "yang hidupnya dari jalanan alias tukang todong". Jadi, ia tidak seperti Hernanto atau Mistar, agaknya. Meski begitu, main keroyok jelas tak bisa dibenarkan karena tak direstui hukum. Kendati seseorang tertangkap tangan saat melakukan kejahatan, tetap ada aturan main yang harus dipegang: diserahkan ke polisi diproses oleh kejaksaan, dan barulah diadili oleh hakim. "Kalau tersangka yang dikeroyok memang benar-benar orang yang bersalah, mungkin masih bisa dimaafkan. Tapi kalau ternyata dia orang baik-baik dan harus mati pula, apa itu bukan dosa besar namanya?" tutur seorang perwira polisi. Bisa dimengerti kalau Kolonel Hadiman asisten operasi Polda Sumatera Utara, merasa prihatin meski di daerahnya kasus pengeroyokan tergolong menurun. Dari 183 kasus tahun 1983, katanya, menurun menjadi 76 kasus saja pada tahun lalu. Dan tahun ini, sampai April, hanya tercatat ada enam kasus. Para korban pun umumnya hanya luka-luka - tak ada yang sampai tewas. Menurut Hadiman, tindak main keroyok menunjukkan bahwa kesadaran hukum masyarakat masih belum baik. Sekaligus, hal itu menunjuk ke arah lain. Yaitu, "Kebutuhan masyarakat terhadap rasa aman cukup tinggi," kata Hadiman. Atau, seperti dikatakan Mayor Sriyono, kepala Seksi Penerangan Polda Jawa Tengah, "Pengeroyokan menunjukkan sikap masyarakat yang semakin sensitif atau peka terhadap keamanan di lingkungannya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus