Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Semakin Gila, Semakin Gawat

Operasi Kana Jaya I dan II cukup berhasil. Puluhan pengedar dan pecandu narkotik tertangkap. Di Indonesia ada 80 ribu pecandu. Transaksi narkotik bisa dilakukan di tempat hiburan, hotel & apotek.(krim)

4 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEBRAKAN polisi Jakarta boleh juga. Lewat Operasi Kanajaya I dan II, yang berakhir pekan lalu, sekitar 110 tersangka kasus narkotik ditangkap. Sebagian, 61 orang, tersangka termasuk kategori pengedar. Ini termasuk operasi yang berhasil menangkap pengedar paling banyak selama ini. Bisa dipahami bila seorang perwira polisi antinarkotik dari Polda Jakarta menilai bahwa operasi kali ini yang dilancarkan September-Oktober 1984 dan akhir Maret-akhir April 1985 - sebagai "sukses besar". Terutama karena banyaknya tersangka pengedar yang tertangkap. "Kalau seorang tersangka pengedar tertangkap, berarti klta bisa menyelamatkan 20 korban atau calon korban," ujarnya kepada TEMPO. Dari jumlah tersangka yang bisa ditangkap, agaknya, bisa disimpulkan bahwa kasus narkotik memang tak pernah sepi. Mayjen Jansen Silaen, komandan jenderal reserse Polri, dalam penataran penyuluh narkotik tingkat nasional, April lalu, menyebutkan bahwa di Indonesia kini ada 80 ribu pecandu. Silaen juga menyebut jumlah narkotik yang disita, yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Hal itu, katanya, "Merupakan indikasi adanya peningkatan kebutuhan." Selain dijadikan tempat transit, pada tahun-tahun terakhir ini, Indonesia tampaknya memang juga dijadikan pasar. Tentu seperti dikatakan Kolonel Usman Ibrahim, kepala Direktorat Reserse Polda Jakarta, bisnis narkotik senantiasa dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Dengar saja cerita Aseng, 28, pemuda bertubuh kerempeng yang terjaring Operasi Kana Jaya II, medio April lalu, dengan 130 cekak morfin di kantungnya. Ia, seperti diakui sendiri, memang tergolong pengedar kelas ae (satu ae sekitar 3 gram, bisa diracik menjadi 150-300 cekak). Ia biasa menjual di bilangan Mangga Besar dan dekat stasiun Gambir. Ia mendapatkan barang terlarang itu dari orang tertentu. Katanya, ia biasa membeli dari Acin, seharga 160 ribuan/ae. Siapa itu Acin, ia tak tahu persis. Maka, ia tak hirau benar saat si Acin disergap polisi. Terlebih, karena dengan segera ia bisa berhubungan dengan agen narkotik baru, yang lebih misterius."Nama atau alamatnya saya nggak tahu. Tapi kalau butuh barang, biasanya seminggu tiga kali, saya disuruh datang ke sebuah restoran di Jelambar, Jakarta Barat," ujar Aseng, yang juga pecandu. Restoran, tempat hiburan, atau hotel memang biasa dijadikan tempat transaksi narkotik. Di Surabaya, menurut Mayor Soeharto, wakil kepala Seksi Penerangan Polda Jawa Timur, sedikitnya ada tiga buah hotel yang sudah lama menjadi tempat mengedarkan narkotik. Tapi, itulah, sulit membuktikan atau memergoki saat transaksi terjadi, sehingga polisi tak bisa menggerebek. Di Yogyakarta, transaksi tidak hanya di hotel, malah juga di apotek. Beberapa apotek di sana sudah sering sekali memergoki ada resep dokter yang diragukan keasliannya, yang mencantumkan sederet obat yang masuk dalam daftar G - obat keras yang mengandung narkotik. Sehari, kata seorang petugas apotek di Malioboro, terkadang sampai 15 resep yang meminta obat daftar G. Pembawa resep umumnya pelajar atau mahasiswa dengan wajah pucat, pandangan tak bersemangat, dan tubuh lemas - tanda-tanda orang yang kecanduan. Mereka biasanya berlagak sebagai orang yang disuruh. Saat ditanya KTP, yang disodorkan adalah kartu atas nama orang lain. Itu sebabnya, pihak apotek merasa tak bisa berbuat apa-apa, kecuali meluluskan permintaan si pembawa resep. Hal serupa yang terjadi di Tawa Barat bahkan lebih gila. Si pecandu, seperti terjadi di Tasikmalaya dan Lembang, langsung mencari obat di sumbernya: mencuri dari apotek atau dari pasien di rumah sakit. "Selama 18 tahun menjadi direktur rumah sakit, baru kali ini saya mengalami hal seperti ini," ujar dr. Djoni A. Mulyana, direktur rumah sakit umum Tasikmalaya, menanggapi pencurian obat di rumah sakitnya belum lama ini. Kasus pemalsuan resep atau pencurian obat, menurut seorang polisi antinarkotik biasanya ada hubungan dengan razia atau operasi oleh polisi. "Karena razia, pengedar sembunyi, dan narkotik sulit didapat. Kalaupun ada, harganya bisa melonjak sampai tiga atau empat kali lipat. Maka, tak ada jalan lain kecuali mencuri atau memalsu resep," tutur polisi tadi. Gawat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus