Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Korban kuda lumping dan kurang gizi

Beberapa orang penduduk kec. randu agung, lumajang, mati terbunuh, dituduh sebagai tukang santet. polisi setempat melarang pertunjukkan kuda lumping, dakwaan menghasut bisa muncul. (krim)

4 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI mulut seorang pemain jaran kepang atau kuda lumping yang kesurupan, begitu sangka polisi, dakwaan menghasut bisa muncul: "Si anu sakit karena disantet si anu". Lalu, seusai pertunjukan, orang tinggal menunggu: tukang santet atau juru teluh mana lagi yang mendapat giliran diganyang beramai-ramai. Korban berjatuhan. Itulah sebabnya, sejak minggu lalu polisi melarang rombongan "kesenian tradisional" kuda lumping mempertontonkan permainannya di sekitar "daerah santet", di Kecamatan Randuagung, Lumajang. Di antara para korban adalah suami-istri Lamsari. Mayat mereka remuk dan ditemukan, 26 April lalu, terkapar di luar rumahnya di Desa Ledok Tempuro, Lumajang. Penduduk Kecamatan Randuagung, Lumajang hampir tak percaya pada kejadian itu -- meskipun pasal orang mati terbunuh bukan barang baru di daerah itu. "Pak Kiai orang baik-baik," kenang Bu Asmat, tetangganya. Dikenal sebagai pengrajin genteng, setiap malam di langgar (mushola) di depan rumah gedeknya, Lamsari, 70 tahun, mengajar anak-anak membaca Al Quran. Ia juga dikenal bisa mengobati orang sakit. Ada saja orang yang datang kepadanya meminta obat, karena sakit kepala, sakit perut, atau keluhan lain. Biasanya Lamsari mengobati mereka dengan air putih yang sudah dijampi-jampi. Kesibukannya yang berbau dukun itulah, rupanya, yang membuatnya celaka. Lamsari, seperti kata Komandan Kepolisian Lumajang Letkol Pol Soedarno, "dibunuh karena disangka tukang santet." Dan Lamsari kanya salah satu korban. Selama tenggang waktu 20 hari, April kemarin, di Kecamatan Randuagung tercatat sembilan orang meninggal dan seorang luka berat. Semuanya teraniaya. Tujuh orang di antaranya -- termasuk Lamsari dan istrinya -- menurut polisi, jelas menjadi korban kemarahan massa, yang menuduh mereka sebagai tukang santet. Kejadian beruntun itu mengingatkan orang pada peristiwa serupa yang terjadi tahun lalu di Kabupaten Jember dan Bondowoso. Waktu itu di dua kabupaten tetangga Lumajang itu diperkirakan lebih 30 mayat ditemukan di sawah atau mengapung di sungai. Beberapa di antara mereka itu dikenali sebagai juru teluh dan selebihnya bromocorah (TEMPO, 21 Agustus 1982). Tapi peristiwa serupa, yang jadi heboh akhir tahun 1981 di Jember, karena ada yang mengaitkannya dengan urusan politik. Maklum, saat itu suhu sedikit memanas, menjelang penyelenggaraan Pemilu (Mei 1982). Ketika itu, Yusuf Hasyim dan kawan-kawan dari FPP menyebut korban yang jatuh 45 orang -- banyak di antaranya kiai dan guru mengaji. Tapi Pangkopkamtib (waktu itu) Laksamana Sudomo mcmbantah, yang benar, katanya, yang meninggal hanya 27 Orang: 15 bromocorah dan 12 tukang santet. Antara tukang santet dan yang bukan, tampaknya agak sulit juga dikenali. Djatiah, 60 tahun, misalnya, yang kedapatan menjadi mayat 10 April lalu, di Desa Wonorejo, sehari-harinya ia dikenal sebagai petani dan pembuat cemeti. Lalu Toha, 75 tahun, dan istrinya dari Desa Randuagung, yang terbunuh 23 April, dikenal tetangga sebagai petani yang merangkap makelar genteng dan kayu. Korban lain, yang juga disangka tukang santet ialah Mbok Niti, 55 tahun, dari Desa Banyuputih Lor, dan Mbok Kerto, 55 tahun, penduduk Desa Buwek. Polisi kini menahan 65 tersangka pengeroyokan itu -- yang meyakini betul bahwa sakit atau kematian keluarga atau tetangga mereka karena kerja para juru teluh. Padahal, kata Soedarno, "mereka yang sakit itu akibat kurang gizi." Meski tanah pertanian di Randuagung cukup subur, penduduknya rata-rata memang miskin. Rumah mereka terbuat dari kayu dan bambu. Selain melarang pertunjukan kuda lumping, polisi kini sibuk menangani perkara tersebut bersama pejabat daerah lainnya, alim ulama, dan beberapa dokter. Penduduk yang sakit -- yang semula mengira kena teluh -- ternyata bisa disembuhkan tangan dokter. Belum jelas, apakah dengan cara begitu penduduk lantas tidak lagi memburu tukang santet. Tapi setelah Mbok Kerto, Mbok Niti, dan suami-istri Lamsari, sampai kini tak ada lagi "tukang santet" yang mati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus