DARI mulut seorang pemain jaran kepang atau kuda lumping yang
kesurupan, begitu sangka polisi, dakwaan menghasut bisa muncul:
"Si anu sakit karena disantet si anu". Lalu, seusai pertunjukan,
orang tinggal menunggu: tukang santet atau juru teluh mana lagi
yang mendapat giliran diganyang beramai-ramai. Korban
berjatuhan. Itulah sebabnya, sejak minggu lalu polisi melarang
rombongan "kesenian tradisional" kuda lumping mempertontonkan
permainannya di sekitar "daerah santet", di Kecamatan
Randuagung, Lumajang.
Di antara para korban adalah suami-istri Lamsari. Mayat mereka
remuk dan ditemukan, 26 April lalu, terkapar di luar rumahnya di
Desa Ledok Tempuro, Lumajang.
Penduduk Kecamatan Randuagung, Lumajang hampir tak percaya pada
kejadian itu -- meskipun pasal orang mati terbunuh bukan barang
baru di daerah itu. "Pak Kiai orang baik-baik," kenang Bu Asmat,
tetangganya. Dikenal sebagai pengrajin genteng, setiap malam di
langgar (mushola) di depan rumah gedeknya, Lamsari, 70 tahun,
mengajar anak-anak membaca Al Quran. Ia juga dikenal bisa
mengobati orang sakit. Ada saja orang yang datang kepadanya
meminta obat, karena sakit kepala, sakit perut, atau keluhan
lain. Biasanya Lamsari mengobati mereka dengan air putih yang
sudah dijampi-jampi.
Kesibukannya yang berbau dukun itulah, rupanya, yang membuatnya
celaka. Lamsari, seperti kata Komandan Kepolisian Lumajang
Letkol Pol Soedarno, "dibunuh karena disangka tukang santet."
Dan Lamsari kanya salah satu korban. Selama tenggang waktu 20
hari, April kemarin, di Kecamatan Randuagung tercatat sembilan
orang meninggal dan seorang luka berat. Semuanya teraniaya.
Tujuh orang di antaranya -- termasuk Lamsari dan istrinya --
menurut polisi, jelas menjadi korban kemarahan massa, yang
menuduh mereka sebagai tukang santet.
Kejadian beruntun itu mengingatkan orang pada peristiwa serupa
yang terjadi tahun lalu di Kabupaten Jember dan Bondowoso. Waktu
itu di dua kabupaten tetangga Lumajang itu diperkirakan lebih 30
mayat ditemukan di sawah atau mengapung di sungai. Beberapa di
antara mereka itu dikenali sebagai juru teluh dan selebihnya
bromocorah (TEMPO, 21 Agustus 1982).
Tapi peristiwa serupa, yang jadi heboh akhir tahun 1981 di
Jember, karena ada yang mengaitkannya dengan urusan politik.
Maklum, saat itu suhu sedikit memanas, menjelang penyelenggaraan
Pemilu (Mei 1982). Ketika itu, Yusuf Hasyim dan kawan-kawan dari
FPP menyebut korban yang jatuh 45 orang -- banyak di antaranya
kiai dan guru mengaji. Tapi Pangkopkamtib (waktu itu) Laksamana
Sudomo mcmbantah, yang benar, katanya, yang meninggal hanya 27
Orang: 15 bromocorah dan 12 tukang santet.
Antara tukang santet dan yang bukan, tampaknya agak sulit juga
dikenali. Djatiah, 60 tahun, misalnya, yang kedapatan menjadi
mayat 10 April lalu, di Desa Wonorejo, sehari-harinya ia dikenal
sebagai petani dan pembuat cemeti. Lalu Toha, 75 tahun, dan
istrinya dari Desa Randuagung, yang terbunuh 23 April, dikenal
tetangga sebagai petani yang merangkap makelar genteng dan kayu.
Korban lain, yang juga disangka tukang santet ialah Mbok Niti,
55 tahun, dari Desa Banyuputih Lor, dan Mbok Kerto, 55 tahun,
penduduk Desa Buwek.
Polisi kini menahan 65 tersangka pengeroyokan itu -- yang
meyakini betul bahwa sakit atau kematian keluarga atau tetangga
mereka karena kerja para juru teluh. Padahal, kata Soedarno,
"mereka yang sakit itu akibat kurang gizi." Meski tanah
pertanian di Randuagung cukup subur, penduduknya rata-rata
memang miskin. Rumah mereka terbuat dari kayu dan bambu.
Selain melarang pertunjukan kuda lumping, polisi kini sibuk
menangani perkara tersebut bersama pejabat daerah lainnya, alim
ulama, dan beberapa dokter. Penduduk yang sakit -- yang semula
mengira kena teluh -- ternyata bisa disembuhkan tangan dokter.
Belum jelas, apakah dengan cara begitu penduduk lantas tidak
lagi memburu tukang santet. Tapi setelah Mbok Kerto, Mbok Niti,
dan suami-istri Lamsari, sampai kini tak ada lagi "tukang
santet" yang mati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini