Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Korting Polly di PK Kedua

Mahkamah Agung mengurangi hukuman terpidana pembunuh Munir dari 20 tahun menjadi 14 tahun. Dua hakim menyatakan berbeda pendapat.

14 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hakim Agung Zaharuddin Utama bergegas meninggalkan ruang pertemuan di lantai dua gedung Mahkamah Agung. Kamis pekan lalu itu, dia baru saja mengikuti sebuah acara diskusi. "Sudah ada bagian humas, tanya mereka saja," kata Zaharuddin kepada Tempo, yang mencegatnya.

Hakim senior itu menolak menjelaskan pertimbangan majelis hakim dalam mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto. Zaharuddin pun tetap bungkam ketika ditanya soal bukti yang diajukan tim pengacara sehingga majelis akhirnya mengurangi hukuman Polly.

Pada 2 Oktober lalu, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan Polly, terpidana pembunuh aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib. Zaharuddin ketua majelis hakim itu. Anggotanya Sofyan Sitompul, Dudu D. Machmudin, Sri Murwahyuni, dan Salman Luthan.

Putusan Zaharuddin dan kawan-kawan mendiskon hukuman bagi mantan pilot Garuda itu dari 20 tahun menjadi 14 tahun penjara. Tapi, dengan alasan belum membaca salinan putusan, para pejabat di bagian Hubungan Masyarakat MA menolak memberi penjelasan rinci soal putusan itu.

Munir meninggal pada 7 September 2004 di atas pesawat Garuda dalam perjalanan menuju Belanda. Hasil otopsi Netherlands Forensic Institute di Amsterdam menemukan timbunan racun arsenik di tubuhnya.

Pengusutan atas kasus Munir setahun kemudian menyeret Polly ke pengadilan. Jaksa mendakwa Polly melakukan pembunuhan berencana dan memalsukan surat penugasan dia sebagai kru tambahan Garuda. Jaksa pun menuntut Polly dihukum penjara seumur hidup.

Pada 20 Desember 2005, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Polly 14 tahun penjara. Dia dianggap terbukti melakukan pembunuhan berencana dengan memasukkan racun arsenik ke minuman Munir. Polly pun terbukti memalsukan surat penugasan yang membuat dia bisa satu pesawat dengan Munir. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta lantas menguatkan putusan ini.

Tapi, di tingkat kasasi, hukuman bagi Poly berubah drastis. Pada 3 Oktober 2006, majelis hakim kasasi menyatakan Polly tak terbukti melakukan pembunuhan terencana. Menurut hakim, Polly hanya terbukti memalsukan surat. Hakim pun hanya menghukum pria itu dua tahun penjara. Hukuman tersebut impas dengan masa penahanan, sehingga Polly pun dibebaskan.

Jaksa lantas menempuh upaya hukum luar biasa: peninjauan kembali. Argumen jaksa, hakim keliru menerapkan hukum. Jaksa mempersoalkan putusan hakim yang menyebutkan Polly terbukti memalsukan surat penugasan, tapi tidak menjadikan pemalsuan itu sebagai bukti rangkaian rencana pembunuhan.

Jaksa juga menyampaikan fakta yang belum tersingkap pada persidangan sebelumnya. Jaksa, misalnya, menyebutkan ada dua agen Badan Intelijen Negara, Raden Mohamad Patma Anwar dan Sentot, yang ditugasi petinggi BIN membunuh Munir sebelum pemilihan presiden 2004. Caranya dengan disantet atau diracun. Tapi Patma dan Sentot gagal melaksanakan tugas itu.

Sebelum kematian Munir, Patma pernah melihat Polly di tempat parkir kantor BIN di Pejaten, Jakarta Selatan. Waktu itu Polly memakai mobil Volvo hitam. Kepada Patma, Sentot menjelaskan bahwa Polly adalah orang Garuda yang ingin bertemu dengan "bos-bos saja".

Selanjutnya, sekitar Juni 2004, Direktur Utama Garuda Indonesia Indra Setiawan menerima permintaan tertulis dari Wakil Kepala BIN M. As'ad. Indra diminta menerbitkan surat penugasan Polly sebagai Staf Perbantuan (Aviation Security) Garuda. Tapi surat permintaan dan surat penugasan itu raib ketika mobil Indra dibobol maling.

Pada 4 September 2004, sebelum Munir berangkat ke Amsterdam, Polly menghubungi nomor telepon seluler Munir. Yang menerima Suciwati, istri Munir. Polly bertanya kapan Munir berangkat ke Belanda.

Setelah tahu Munir berangkat pada 6 September 2004, Polly meminta petugas Garuda, Rohainil Aini, mengubah jadwal terbang pria itu. Seharusnya Polly terbang ke Peking pada 6-8 September 2004. Mengklaim telah disetujui atasan, Polly minta terbang pada 6 September 2004 ke Singapura, satu pesawat bersama Munir.

Di pesawat, Polly menawari Munir bertukar tempat duduk. Seharusnya Munir duduk di kelas ekonomi nomor 40-G. Adapun Polly seharusnya duduk di kelas bisnis kursi 3-K. Setelah Munir bersedia, Polly mondar-mandir di pantry, mengawasi pramugari yang menyajikan minuman pembuka untuk penumpang, termasuk Munir.

Semula jaksa mendakwa Polly mencampurkan arsenik ke jus jeruk yang diminum Munir ketika pesawat bertolak dari Jakarta ke Singapura. Namun, belakangan, jaksa mengungkap fakta lain.

Sewaktu pesawat transit di Bandar Udara Changi, Singapura, Polly tak langsung ke hotel seperti kru pesawat lain. Dia mengikuti Munir ke tempat transit. Tiga saksi melihat Polly duduk bersama Munir di Coffee Bean. Ada juga saksi yang melihat Polly membawakan dua gelas minuman untuk dia dan Munir. Polly baru menuju Hotel Novotel setelah "menjamu" Munir.

Sekitar 15 menit setelah pesawat lepas landas menuju Amsterdam, Munir muntah-muntah dan meminta obat sakit perut. Tiga jam sebelum pesawat mendarat di Schipol, ia meninggal. Jaksa menyimpulkan: Polly meracun Munir di Changi.

Setelah Munir diberitakan meninggal, agen BIN, Patma Anwar, mendapat penjelasan dari Sentot bahwa pembunuhan Munir bukan lagi urusan mereka. "Tapi urusan bapak-bapak yang di atas."

Jaksa juga menemukan fakta bahwa Polly pernah 41 kali menelepon Muchdi Purwoprandjono, Deputi V Bidang Penggalangan BIN, sebelum dan sesudah Munir meninggal. Namun jaksa mengaku tak mengetahui pembicaraan Polly dengan Muchdi.

Menurut jaksa, Polly juga sempat menelepon dua kru Garuda, Yetty Susmiyarti dan Oedi Irianto. Polly mengajak mereka bertemu untuk menyamakan persepsi bila dimintai keterangan oleh polisi. "Agar jawabannya bersesuaian," tulis jaksa dalam berkas.

Setelah mempelajari fakta yang disodorkan jaksa, majelis hakim yang dipimpin Bagir Manan menyatakan peninjauan kembali oleh jaksa bisa dikabulkan. Tapi majelis hakim berbeda pendapat soal beratnya hukuman untuk Polly.

Dua hakim agung, M. Harifin Tumpa dan Parman Suparman, berpendapat hukuman untuk Polly tak boleh melebihi hukuman yang dijatuhkan pengadilan negeri, yakni 14 tahun. Dua hakim agung ini merujuk pada Pasal 266 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal itu menyebutkan, "Pidana yang dijatuhkan dalam putusan PK tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula."

Adapun Bagir Manan beserta Djoko Sarwoko dan Paulus E. Lotulung punya pendapat lain. Menurut mereka, hukuman 14 tahun terlalu ringan untuk kejahatan Polly. Dia melakukan pembunuhan berencana dengan sangat keji. Korbannya pejuang hak asasi yang akan menuntut ilmu. Itu membuat Indonesia dipermalukan di mata dunia. Tiga hakim agung ini sepakat menghukum Polly 20 tahun penjara.

Karena dalam musyawarah tak ada kata sepakat, pada 25 Januari 2008, majelis hakim melakukan pemungutan suara. Hasilnya 2 : 3. Polly pun dihukum 20 tahun penjara. Sempat menghirup udara bebas, Polly kembali dikirim ke bui.

Lewat kuasa hukumnya, Mohamad Assegaf, Polly mengajukan permohonan peninjauan kembali pada 30 Mei 2011. Mereka mempersoalkan putusan hakim agung yang menerima PK oleh jaksa. "Menurut hukum acara pidana, yang berhak mengajukan peninjauan itu terdakwa dan ahli warisnya," kata Assegaf kepada Tempo pekan lalu.

Soal boleh-tidaknya jaksa mengajukan permohonan peninjauan kembali sebenarnya masih jadi perdebatan. Sebab, faktanya ada empat kasus yang jadi yurisprudensi jaksa boleh mengajukan permohonan PK. Pada 1997, misalnya, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali oleh jaksa atas putusan bebas di sidang kasasi untuk terdakwa Muchtar Pakpahan, aktivis buruh, yang didakwa berbuat makar.

Total ada 15 poin yang diajukan Assegaf untuk mematahkan putusan hakim. Salah satunya vonis bebas Muchdi. Jaksa dan hakim tak bisa membuktikan rapat dan surat tugas BIN untuk Polly agar Munir dihabisi (lihat "Belum PK untuk Muchdi").

Upaya peninjauan kembali oleh Polly ini memang sempat menjadi sorotan. Soalnya, sebagai upaya hukum luar biasa, peninjauan kembali semestinya hanya bisa dilakukan sekali. Mahkamah Agung juga pernah membuat edaran yang tidak membolehkan PK di atas PK. Tapi, menurut sumber di Mahkamah Agung, majelis hakim kasus Polly tak memperdebatkan masalah itu. Menurut mereka, peninjauan kembali pada dasarnya merupakan hak terpidana dan ahli warisnya. Karena itu, "PK oleh jaksa tak boleh menghilangkan hak Polly mengajukan PK," ujar sumber itu.

Majelis hakim, sumber itu melanjutkan, juga tak memperdebatkan lagi soal salah-tidaknya Polly dalam pembunuhan Munir. Tapi majelis hakim semata berbeda pendapat soal beratnya hukuman untuk Polly. Posisinya kini bahkan berbalik menjadi 3 : 2.

Tiga hakim agung berpendapat hukuman buat Polly tak boleh melebihi hukuman di pengadilan negeri. Di kubu ini ada Zaharuddin, Dudu, dan Sri. Adapun dua hakim lain, Sofyan dan Salman, berpendapat hukuman bagi Polly tak bisa dibatasi hukuman semula. Karena dalam musyawarah tak ada kata sepakat, Sofyan dan Salman menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion).

Diskon besar yang diberikan majelis hakim peninjauan kembali ini tentu saja disambut gembira pihak Polly. "Sejak awal kami berjuang mati-matian. Kami bersyukur MA mengabulkan," kata Assegaf.

Sejauh ini Polly sudah menjalani sekitar lima tahun hukuman sejak masuk penjara Sukamiskin pada Juni 2008. Selama itu pula dia sudah mendapatkan 11 kali remisi. Total korting masa penahanannya sudah 3 tahun 6 bulan. Dengan muncul pengurangan hukumannya itu lagi, kebebasan kini sudah berada "di pelupuk mata". "Setelah ada putusan PK baru ini, dia bisa ikut program asimilasi dan bisa diusulkan mendapat pembebasan bersyarat," ucap Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Giri Purbadi pekan lalu.

Sebaliknya, dikabulkannya peninjauan kembali Polly ini membuat istri Munir, Suciwati, kecewa. Pemerintah, kata dia, bertubi-tubi memberikan pengurangan hukuman buat Polly, sementara hingga kini mereka belum mengungkap dalang pembunuh suaminya. "Sebagai korban, saya jelas sakit hati," ujar Suciwati.

Jajang Jamaludin, Indra Wijaya, Nur ALfiyah, Sukma N.L., Erick Priberkah Hadi (Bandung)


Belum PK untuk Muchdi

Surat bernomor 120/IV/KIP-PS-M-A/2011 tertanggal 4 Januari 2012 itu berkop Komisi Informasi Pusat (KIP). Ditandatangani ketua majelis Ahmad Alamsyah Saragih dan anggota Henny S. Widyaningsih serta Ramli Amin Simbolon, dokumen setebal 30 halaman itu bukti penting kasus pembunuhan Munir. Itulah putusan hasil sengketa informasi antara Koordinator Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) dan Badan Intelijen Negara pada 2011.

Pada halaman 14 putusan itu disebutkan BIN tak pernah mengeluarkan surat tugas kepada Muchdi Purwoprandjono untuk berangkat ke Malaysia pada 6-12 September 2004. "Surat ini membantah alibi Muchdi, yang membebaskan dia dari tuntutan," ujar Koordinator Kasum Choirul Anam kepada Tempo pekan lalu.

Sengketa antara BIN dan Kasum bermula dari putus­an bebas Muchdi yang dikeluarkan Mahkamah Agung pada 2008. Dalam kasus pembunuhan Munir, Muchdi dituding sebagai otak di balik pembunuhan Munir. Jaksa Cirus Sinaga dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Agustus 2008 mengatakan Deputi V BIN itu mempunyai motif sakit hati kepada Munir. Kariernya di militer mentok setelah terungkapnya kasus penculikan aktivis pada 1997-1998.

Selain itu, sebelum dan sesudah Munir tewas, setidaknya ada lebih dari 40 kali komunikasi telepon antara Muchdi dan Pollycarpus Budihari Priyanto. Bahkan, pada hari Munir dibunuh, terdapat 15 kali hubungan telepon Muchdi dengan Pollycarpus. Muchdi juga yang memberikan rekomendasi untuk Polly sebagai personel pengamanan internal penerbangan Garuda Indonesia. Anak buah Muchdi di BIN, Budi Santoso, dalam berita acara pemeriksaannya menyatakan pernah diminta Muchdi memberikan uang kepada Polly Rp 10 juta pada 14 Juni 2004.

Namun, di persidangan, Muchdi membantah semua tuduhan itu. Dia menunjukkan paspor miliknya yang menyatakan ia tengah berada di Malaysia pada 6-12 September, sehingga tak mungkin ia berhubungan telepon dari Surabaya dengan Pollycarpus. Atas alibi inilah majelis hakim membebaskan Muchdi dari semua tuntutan.

Surat keputusan KIP adalah satu dari sekian banyak alat bukti baru yang, menurut Anam, bisa dijadikan kejaksaan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali atas pu­tusan bebas Muchdi. Menurut Anam, sejumlah alat bukti lain sebenarnya sudah lama dikantongi jaksa.

Misalnya rekaman pembicaraan Muchdi dan Pollycarpus, yang dinyatakan sudah berada di kantong jaksa. "Kalaupun belum, kejaksaan bisa memintanya ke operator dengan ­alasan penegakan hukum. Itu kalau ada kemauan," ujarnya. Kasum, menurut Anam, sudah mengirimkan salinan keputusan KIP ke Kejaksaan Agung pada awal 2012. Saat itu, Kasum bertemu dengan Jaksa Agung Basrief Arief. Namun hingga kini tak ada tindak lanjut yang dilakukan kejaksaan.

Asisten Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Agung Hardiyanto menyatakan pihaknya sampai saat ini belum mengajukan permohonan peninjauan kembali atas bebasnya Muchdi. Menurut Agung, kejaksaan hingga kini belum menemukan alat bukti baru yang bisa dijadikan landasan untuk mengajukan permohonan PK. Ia juga mengaku belum menerima keputusan KIP yang dikirim Kasum. "Kalaupun sudah kami terima, tentu akan kami pelajari dulu," katanya.

Usman Hamid, bekas Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), menyatakan sudah bisa menebak alasan kejaksaan itu. "Ini karena tidak ada keberanian dan komitmen Presiden SBY," ujar Usman.

Febriyan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus