Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Korupsi Kakap di Kepulauan Kecil

Sejumlah proyek bernilai ratusan miliar rupiah di Kepulauan Sula, Maluku Utara, terindikasi korupsi. Beberapa di antaranya sudah diperiksa polisi dan pelakunya diajukan ke pengadilan. Para aktivis antikorupsi menuntut Bupati Sula, Ahmad Hidayat Mus, segera dijadikan tersangka.

23 Juni 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat itu mendarat di meja Mahmud Syafrudin, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kepulauan Sula, akhir Maret 2006. Pengirimnya Bupati Sula, Ahmad Hidayat Mus. Lewat surat bertanggal 22 Maret 2006 itu, orang nomor satu di Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara, ini menyetujui usul Mahmud menunjuk langsung PT Mega Buana Mangole sebagai penggarap proyek bernilai Rp 167,2 miliar di Pulau Mangole, Sula. "Pada prinsipnya, kami dapat menyetujui dan menetapkan hasil negosiasi harga penunjukan langsung tanpa lelang pekerjaan pembangunan Jalan," demikian tulis Hidayat dalam surat tersebut.

Jika proyek itu berjalan sesuai dengan rencana, Pulau Mangole kini sudah punya jalan utama yang beraspal licin. Jalan mulus itu menghubungkan Desa Falabisahaya, Auponhia, Mangoli, dan Waisakai. Nyatanya, hingga kini jalan "pembelah" pulau itu masih berupa jalur tanah berbatu.

Itu baru satu dari berbagai kasus dugaan korupsi di Kabupaten Sula. Berdasarkan sejumlah dokumen yang diperoleh majalah ini, sepanjang 2006-2010, Pemerintah Kabupaten Sula merencanakan proyek pembangunan delapan ruas jalan. Nilai proyeknya bervariasi. Ruas jalan Gela-Lede, misalnya, punya anggaran Rp 105,1 miliar. Total nilai proyek mencapai Rp 394,9 miliar.

Ketua Forum Masyarakat Sula Bersatu, Bakrie Buamona, mengungkapkan korupsi dengan modus penunjukan langsung sudah menjadi rahasia umum di Kabupaten Sula. Sejak Hidayat Mus terpilih sebagai Bupati Sula pada 2005, sebagian besar proyek digarap keluarga dan teman dekat lelaki asal Taliabu itu. "Perusahaan itu milik adik atau paman-paman dia semua," kata Bakrie, yang kini menjadi calon anggota legislatif dari Partai Bulan Bintang.

Bukan hanya proyek jalan yang diincar keluarga Hidayat Mus. Proyek pembangunan Masjid Raya Sanana pun jatuh ke tangan mereka. Proyek itu dimulai pada 2006, dengan anggaran Rp 23,5 miliar. Menurut rencana, pembangunan masjid besar itu akan selesai pada 2009. Faktanya, meski anggaran telah habis, proyek masjid itu kini hanya meninggalkan puing tanpa atap. Penggarap proyek, Munawar Tjiarso Menge, adalah paman Hidayat Mus. "Itu adik dari bapaknya Bupati," ujar Bakrie.

Kalau pelanggarannya cuma penunjukan langsung, menurut Bakrie, warga Sula mungkin tidak akan terlalu meributkannya. "Parahnya, banyak proyek yang fiktif," kata Bakrie.

l l l

Semilir angin sejuk menyambut di Pelabuhan Mangole, Pulau Mangole, Kabupaten Kepulauan Sula. Terik matahari tak terlalu menyengat ketika Tempo, awal Mei lalu, tiba di pelabuhan itu. Di depan mata, jalan tanah berbatu membujur dari pelabuhan menuju Desa Falabisahaya, yang berjarak sekitar satu kilometer. Itulah satu-satunya jalan yang menghubungkan Falabisahaya, di ujung utara pulau, dengan Waisakai di ujung timurnya. Mangole merupakan satu dari tiga pulau utama di Kabupaten Kepulauan Sula—dua lainnya Sanana dan Taliabu. Luas kabupaten ini sekitar 135 ribu meter persegi, yang separuh di antaranya lautan. Ibu kotanya Sanana, yang terletak di Pulau Sanana.

Sore itu, tak satu pun kendaraan roda empat melintasi jalan. Biasanya penduduk Mangole memilih sepeda motor untuk perjalanan jarak dekat itu. Untuk menjangkau desa di sisi lain pulau, masyarakat naik ketinting—sebutan untuk perahu kecil berkapasitas maksimal empat orang. "Karena jalan tak memadai untuk mobil," ujar Karim Haji, tokoh masyarakat Desa Falabisahaya.

Karim tak mengada-ada. Ketika Tempo berkeliling menelusuri pulau itu, yang tampak hanya jalan bertanah dan berbatu. Sepanjang jalan, hampir tak ada lagi aspal tersisa. Menurut Karim, pengaspalan terakhir jalan di salah satu dari tiga pulau besar di Kepulauan Sula ini terjadi pada 1993. Itu pun bukan pemerintah yang melakukannya, melainkan sebuah perusahaan kayu yang bercokol di sana. "Sampai sekarang, jalan di sini belum dibangun lagi," kata pria 49 tahun itu.

Pada 2007, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula memang melapisi jalan dengan pasir dan batu. Tapi proyek itu berhenti pada 2008, ketika jalan belum sempat diaspal. Jalan yang dibenahi pun hanya sekitar 10 kilometer. "Warga di sini sudah enam tahun tak menikmati pembangunan," ujar Karim.

Karim menyatakan tak mengetahui adanya proyek pembangunan jalan Falabisahaya-Auponhia-Mangoli-Waisakai yang digagas pemerintah kabupaten pada 2006-2009. Menurut dia, tak ada pemberitahuan terhadap warga perihal proyek itu. Karim juga tak tahu perihal PT Mega Buana Mangole, kontraktor proyek yang dikabarkan berkantor di Dusun IV, Desa Falabisahaya. "Di desa ini tidak ada perusahaan itu," ujarnya. Blusukan di desa ini, Tempo tak bisa menemukan alamat kantor perusahaan seperti yang tertera dalam dokumen kontrak.

Tak hanya di Pulau Mangole jalan-jalan dibiarkan terkelupas hingga tersisa batu dan tanahnya. Di Pulau Taliabu, kondisi jalan tak kalah buruknya. Jalan sepanjang 80 kilometer yang menghubungkan Desa Gela-Tikong-Lede itu hanya berlapis tanah, pasir, dan batu. Di beberapa tempat, ruas jalan bahkan tertutup rumput lebat.

Sejumlah jembatan utama penghubung jalur itu pun tak tuntas dikerjakan. Contohnya jembatan yang menghubungkan Desa Tikong dengan Desa Lede. Di sini, yang terlihat hanya tiang pancang bekas pembangunan yang tak selesai. Penggarapnya, PT Mandiri Wahana Lestari, tak bisa dimintai tanggung jawab. Alamat perusahaan di Kota Ternate yang tercantum dalam dokumen kontrak ternyata palsu. Ketika Tempo menyambangi Jalan Belakang Premium, RT 07 RW 03, Kelurahan Maliaro, Kota Ternate, yang disebut sebagai alamat perusahaan itu, ternyata ini rumah milik warga bernama Ansar.

l l l

Kasus korupsi beragam proyek infrastruktur di kabupaten ini sudah berkali-kali diteriakkan para aktivis antikorupsi Maluku Utara. Pada pertengahan Mei lalu, sekitar seratus warga Sanana berunjuk rasa menuntut polisi segera menangkap Ahmad Hidayat Mus. Demo menuntut Hidayat diperiksa juga berlangsung di Ternate pada 18 Maret lalu. Tapi demo itu mendapat tandingan dari pengunjuk rasa lain yang membela Hidayat.

Kepolisian Daerah Maluku Utara sebenarnya juga sudah menyelidiki dua perkara korupsi yang diduga melibatkan Hidayat Mus, yaitu proyek Jembatan Waikolbota dan proyek masjid raya di Kota Sanana. Bahkan, dalam kasus korupsi Jembatan Waikolbota, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Ternate, Mei lalu, sudah memvonis bersalah empat pelakunya. Salah satu di antaranya Jhainal Mus, penggarap proyek yang juga adik Hidayat. Jhainal dihukum lima setengah tahun penjara dan denda Rp 250 juta. Vonis itu lebih ringan daripada tuntutan jaksa: tujuh tahun penjara dan denda Rp 200 juta serta uang pengganti kerugian negara Rp 982 juta.

Dalam kasus yang sama, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Mahmud Syafrudin divonis 5 tahun 4 bulan penjara. Majelis hakim yang dipimpin Amat Khuseiri juga menghukum Sarif Khari dan Jainudin Umalekhai, anggota staf Mahmud, masing-masing empat tahun penjara.

Dalam kasus pembangunan Masjid Raya Sanana, menurut Kepala Hubungan Masyarakat Polda Maluku Utara Ajun Komisaris Besar Hendrik M. Rumsayor, tiga orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sula Mahmud Syafrudin, Pejabat Pembuat Komitmen Saifudin Buamonabot, dan kontraktor proyek, Munawar Tjiarso Menge.

Polisi sudah bersiap-siap melimpahkan berkas perkara korupsi Masjid Raya Sanana ke tahap penuntutan. Namun rencana itu tersendat karena Saifudin dan Munawar kabur. Hingga kini, dua tersangka itu masuk daftar pencarian orang alias DPO.

l l l

Pekan lalu, sejumlah sumber Tempo di Polda Maluku Utara mengungkapkan, indikasi keterlibatan Hidayat Mus dalam kedua kasus korupsi itu cukup kuat. Hidayat, kata satu sumber, bahkan sudah dua kali dipanggil untuk diperiksa, tapi tak datang. "Bukti aliran dana sudah kami kantongi. Kesaksian sejumlah orang pun mengarah ke sana," ujar sumber itu.

Hidayat tak hanya berurusan dengan "polisi lokal". Dia juga beberapa kali diperiksa penyidik Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI. Ia dimintai keterangan dalam kasus dugaan korupsi proyek jalan di Kabupaten Kepulauan Sula. Hanya, sejauh ini, pengusutan korupsi di Sula oleh penyidik Jakarta pun belum menunjukkan kemajuan berarti.

Pekan lalu, Kepala Polda Maluku Utara Brigadir Jenderal Machfud Arifin menyatakan pihaknya tak akan mendiamkan kasus korupsi di kabupaten berpenduduk sekitar 135 ribu orang itu. Menurut Machfud, polisi akan menunggu dulu sampai selesainya pemilihan kepala daerah Maluku Utara, yang akan berlangsung pada 1 Juli. Hidayat memang maju ikut memperebutkan kursi gubernur provinsi tersebut.

Disergap berbagai tuduhan korupsi, Hidayat seperti enggan berbicara kepada pers. Beberapa waktu lalu, saat dicegat Tempo di arena pacuan kuda Pulomas, Jakarta Timur, ia menutup mulut rapat-rapat. Sebelumnya, pada April lalu, kepada wartawan di Ternate, Hidayat membantah melakukan korupsi, termasuk korupsi pembangunan Masjid Raya Sanana. "Jika saya melakukan korupsi atas anggaran Masjid Raya Sanana, saya meminta kepada Allah dan Rasul agar mencabut nyawa saya detik ini juga," ujarnya saat itu.

Penegasan yang sama ia katakan setelah mengikuti tahap pemeriksaan kesehatan calon gubernur di Rumah Sakit Chasan Boesoirie, Ternate, 6 Mei lalu. Menurut Hidayat, kabar bahwa dia melakukan korupsi merupakan kampanye hitam yang diembuskan lawan politiknya. "Tidak benar itu. Buktinya, saya belum diperiksa," katanya.

Lewat istri pertamanya, Nurokhmah, Hidayat beberapa waktu lalu juga berjanji menerima Tempo untuk wawancara. Tapi, hingga pekan lalu, janji itu hanya tinggal janji. Pekan lalu, Tempo mengirim kembali dua surat permintaan wawancara ke kediamannya di Jakarta. Tapi, seperti halnya telepon dan pesan pendek yang dikirim, surat itu tak berbalas.

Febriyan (Jakarta), Budhy Nurgianto (Ternate)


Masjid Raya Tak Muncul di Sanana

Tiga bocah asyik bermain sepeda di dalam bangunan seluas 500 x 300 meter di Desa Falahu, Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara. Sesekali, dengan gesit mereka mengangkat roda depan dan kemudian, wuss…, begitu roda itu menyentuh tanah, mereka genjot pedal dengan cepat. Lalu berputar-putar lagi di dalam gedung itu.

Ini bukan di stadion, melainkan pemandangan di dalam "Masjid Raya Sanana", saat Tempo mendatangi tempat ibadah tersebut pada awal bulan lalu. Pembangunan masjid itu kini terbengkalai lantaran dananya diduga ditilap Bupati Sula, Ahmad Hidayat Mus. Dibangun dengan anggaran puluhan miliar rupiah, Masjid Raya Sanana—jika selesai—akan menjadi masjid termegah di Sula. Tempat ibadah tersebut direncanakan bisa menampung sekitar 6.000 orang.

Halaman bangunan itu sekarang rimbun oleh rumput liar setinggi hampir satu meter. Coretan terlihat memenuhi dinding. Dari jauh "masjid" itu benar-benar bak rumah hantu. Kumuh dan suram. "Penduduk memilih tidak membersihkannya karena pembangunannya terindikasi korupsi. Kami lebih baik salat di masjid lain," kata Ansar, warga Desa Falahu, kepada Tempo.

Masjid Raya Sanana dibangun pada 2006. Menurut sumber Tempo, setidaknya ada tiga kontraktor yang menangani proyek tersebut. "Semuanya kerabat Bupati Ahmad Hidayat," ujar sumber ini. Hingga 2009, anggaran untuk pembangunan masjid ini sudah mencapai Rp 23,5 miliar. "Sudah dua tahun ini kontraktor sudah tidak lagi meneruskan pembangunannya, sejak polisi mengusut proyek ini," kata Ansar.

Masjid Raya adalah satu dari sekian proyek pembangunan yang diduga terindikasi korupsi dan melibatkan Ahmad Hidayat. Adapun proyek lain yang sarat korupsi antara lain pembangunan jalan dan jembatan.

Menurut sejumlah aktivis antikorupsi di Maluku yang dihubungi Tempo, salah satu hal yang menyebabkan suburnya korupsi di Kepulauan Sula adalah ketidakseriusan aparat untuk menanganinya. Karena daerahnya relatif terpencil, para pelaku korupsi juga merasa leluasa melakukan kejahatan lantaran pengawasan minim.

Sanana, misalnya, yang merupakan ibu kota Kabupaten Sula, terletak di wilayah paling selatan Provinsi Maluku Utara. Kabupaten Sula adalah wilayah kepulauan yang memiliki tiga pulau besar: Mangoli, Taliabu, dan Sanana. Penduduknya sebagian besar petani dan nelayan.

Untuk menuju Sula, satu-satunya jalan adalah lewat jalur laut. Dari Kota Ternate diperlukan waktu sekitar 20 jam untuk mencapai Sanana. Adapun dari Kota Ambon sekitar 35 jam. Ongkosnya juga selangit, Rp 500 ribu sekali jalan. Kapal menuju Sula juga tak beroperasi setiap hari. Dari Ternate, seperti yang dilakukan Tempo, hanya ada dua kali pelayaran setiap pekan.

Tiga tahun sebelumnya tersedia sarana lain, yakni pesawat terbang. Namun, sejak 2010, Bandar Udara Emalamo, yang terletak di Sanana, ditutup. Warga sekitar bandara berunjuk rasa menuntut ganti rugi, dan pemboikotan bandara dilakukan sampai sekarang. Penduduk meletakkan kayu di tengah landasan. "Selama tuntutan ganti rugi belum dipenuhi, kami akan tetap menduduki bandara," ujar Salim, yang rumahnya terletak di dekat bandara dan mengklaim tanahnya dijadikan lapangan terbang.

Menurut Hasim Boamona, satu dari tiga petugas yang kini menjaga Bandara Emalamo, sebelumnya ada tiga maskapai yang mendarat di Emalamo, yakni Express Air, Nusantara Buana Air, dan Merpati. Penutupan bandara, kata dia, menyebabkan perlengkapan bandara kini rusak lantaran tidak ada perawatan. "Contohnya itu," ujarnya sembari menunjuk ruang tunggu yang terlihat kotor dan kusam.

Budi G. (Sula)


Terbengkalai Dilahap Korupsi

Sebagai kabupaten hasil pemekaran pada 2003, Kepulauan Sula berupaya menggenjot pembangunan infrastrukturnya. Dana pun dikucurkan. Hanya, yang memprihatinkan, hampir semua proyek itu bermasalah. Dari soal penunjukan hingga proyek yang tak pernah tuntas terselesaikan. Inilah proyek yang dililit masalah itu.

1. Pembangunan Jalan Falabisahaya-Auponhia-Mangoli-Waisakai (150 kilometer)
Nilai proyek: Rp 167,2 miliar tahun anggaran 2006-2009.
Kontraktor: PT Mega Buana Mangole dengan Direktur Utama Konstantina Quedarusman.

2. Pembangunan Jalan Auponhia-Dofa (20 kilometer)
Nilai proyek: Rp 6,999 miliar dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2007.
Kontraktor: PT Mega Buana Mangole.

3. Peningkatan Jalan Falabisahaya-Auponhia
Nilai proyek: Rp 1,6 miliar dengan dana APBD 2008.
Kontraktor: PT Mega Buana Mangole.

4. Pembangunan Jalan Gela-Tikong-Lede (80 kilometer)
Nilai proyek: Rp 105,145 miliar dengan dana APBD 2006-2010.
Kontraktor: PT Mandiri Wahan Lestari.

5. Pembangunan Jalan Malbufa-Wainib Sirtu (15 kilometer)
Nilai proyek: Rp 5,624 miliar dengan dana APBD 2006.
Kontraktor: PT Usaha Subur Sejahtera.

6. Pembangunan Jalan Dofa-Waisakai (100 kilometer)
Nilai proyek: Rp 106,816 miliar dengan dana APBD 2006-2010.
Kontraktor: PT Mega Buana Mangole.

7. Pembangunan Jalan Akses Kota Fuata dan Jembatan Waikolbota
Nilai proyek jalan: Rp 2,687 miliar dengan dana APBD 2009.
Nilai proyek jembatan: Rp 1,138 miliar dengan dana APBD 2009.
Kontraktor: PT Taliabu Mandiri Prima Lestari.

8. Pembangunan Masjid Raya Sanana
Nilai proyek: Rp 23,5 miliar dengan dana APBD 2006-2009.
Kontraktor: PT Mangole.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus