Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bagaimana Modus Korupsi Tata Kelola Sawit

Celah korupsi dalam tata kelola perkebunan sawit akan selalu muncul selama tidak ada transparansi.

12 Januari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perkebunan kelapa sawit di Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, April 2023. ANTARA/Budi Candra Setya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kejaksaan Agung telah menetapkan tersangka dugaan korupsi tata kelola sawit 2005-2024.

  • Celah korupsi akan selalu muncul selama tidak ada transparansi.

  • Keputusan pemerintah mengampuni perusahaan-perusahaan nakal merupakan langkah keliru.

KEJAKSAAN Agung telah menetapkan tersangka dalam dugaan korupsi tata kelola perkebunan sawit periode 2005-2024. Para tersangka tercatat sebagai pejabat eselon I dan eselon II di Kementerian Kehutanan--sebelumnya bernama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). "Yang pasti ada," kata Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Rabu, 8 Januari 2025. Namun Sanitiar tidak bersedia menyebutkan identitas para tersangka. "Nanti dulu saja. Jangan tergesa-gesa."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jaksa Agung menegaskan, penyidik masih mengumpulkan bukti-bukti untuk menjerat orang-orang yang terlibat dalam perkara ini. Ia berjanji akan mengungkapkan identitas tersangka bila semua bukti sudah diperoleh. “Tentunya dalam waktu sebulan lagi akan kami sampaikan," kata Sanitiar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum penetapan tersangka itu, penyidik Kejaksaan Agung menggeledah sejumlah ruangan di KLHK pada 3 Januari 2025. Di antaranya ruangan Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan; Sekretariat Satuan Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengendalian Kementerian Kehutanan; direktorat yang membidangi pembayaran penerimaan negara bukan pajak berupa provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi; direktorat yang membidangi pelepasan kawasan hutan; serta direktorat yang membidangi penegakan hukum dan biro hukum.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar (kedua dari kiri) dan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar (tengah) memberikan keterangan mengenai kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) PT Darmex Plantation yang berada di bawah naungan PT Duta Palma Group, di Kejaksaan Agung, Jakarta, 3 Desember 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean

Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Febrie Ardiansyah mengatakan korupsi di kementerian ini berkorelasi dengan dugaan kebocoran uang negara Rp 300 triliun. Dugaan itu pernah disampaikan oleh adik Presiden Prabowo Subianto, Hashim Sujono Djojohadikusumo.

Adapun nilai Rp 300 triliun itu diperoleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dari hasil penghitungan kerugian negara dalam pelepasan area kawasan hutan menjadi perkebunan sawit. Belakangan, penyidik Kejaksaan Agung menemukan indikasi perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 110A dan 110B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Pasal tersebut berisi pemberian pengampunan bagi tiap orang yang telanjur melakukan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan sebelum undang-undang tersebut disahkan. Dalam Pasal 110A, perusahaan yang memiliki izin usaha tapi kedapatan melakukan usaha di dalam kawasan hutan akan dilegalkan. Dengan catatan, mereka memenuhi persyaratan sebelum 2 November 2023. Jika tidak, mereka harus membayar denda administrasi atau dicabut izin usahanya.

Adapun isi Pasal 110B mengatur perusahaan yang tidak punya izin usaha sebelum UU Cipta Kerja berlaku, tapi telanjur beroperasi di kawasan hutan, diberi kesempatan satu daur sejak masa panen dan harus membayar denda administratif.

Febrie mengatakan kejaksaan masih menelaah data perusahaan yang bisa dikenakan sanksi dengan mekanisme denda ataupun pidana. Kendalanya, jumlah perusahaan itu mencapai ribuan. Regulasi pelepasan kawasan hutan juga memiliki alur yang panjang, dari tingkat daerah hingga pusat. Karena itu, kata Febrie, Jaksa Agung sangat berhati-hati dalam menetapkan tersangka lantaran akan berdampak pada ratusan usaha sawit.

Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo menjelaskan, korupsi dalam tata kelola sawit terjadi karena adanya praktik yang tidak sesuai dengan regulasi, sehingga menyebabkan kerugian negara. "Contoh menanam sawit di kawasan hutan tanpa ada perizinan yang jelas, sehingga hutan rusak diganti sawit,” katanya, Sabtu, 11 Januari 2025. “Perbuatan itu bisa dikategorikan korupsi."

Menurut Achmad, dalam tata kelola sawit memang banyak aspek yang bisa menjadi celah korupsi. Apalagi mekanisme pengurusan izin perkebunan sawit mencakup banyak hal. Mulai dari izin lokasi yang membutuhkan persetujuan bupati/wali kota, izin lingkungan dari pemerintah sesuai dengan lingkup izinnya, izin usaha perkebunan, hingga surat keterangan pelepasan lahan dari KLHK bila lahan yang digarap masuk kawasan hutan.

Pada 2023, kata Achmad, pemerintah melalui tim satgas sawit yang dulu dipimpin Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bersepakat memutihkan 3,37 juta hektare kebun sawit yang berada di kawasan hutan. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, 2.130 korporasi kebun sawit melakukan kegiatan ilegal di atas luasan hutan tersebut. "Namun proses pemutihan ini tidak transparan, sehingga terkesan ada permainan,” katanya. “Dan sekarang kejaksaan menemukan indikasi korupsi.”
 
Dalam penerapan Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja, Achmad melanjutkan, Kementerian Kehutanan memiliki kewenangan secara mandiri untuk menghitung denda administratif bagi perusahaan-perusahaan yang melanggar. Kala itu, kementerian membentuk Tim Satuan Pelaksana Pengawasan dan Pengendalian Implementasi UU Cipta Kerja yang dipimpin oleh Bambang Hendroyono. Tim inilah yang ditugaskan menghitung denda tersebut. “Di sini muncul celah korupsi,” katanya.

Achmad menilai keputusan pemerintah mengampuni perusahaan-perusahaan nakal yang menanam sawit di kawasan hutan merupakan langkah keliru. Upaya tersebut sudah pernah dilakukan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2012 serta PP Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

Hasilnya, terbukti regulasi itu tidak memberikan efek jera kepada pelanggar aturan. “Berkali-kali diberi kesempatan untuk pemutihan, tetap saja ditemukan perusahaan-perusahaan yang nakal,” kata Achmad. Ia lebih setuju bila sejak awal pemerintah mengambil upaya penegakan hukum.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian sepakat dengan Surambi. "Seharusnya setelah tenggat lewat, harus ditindak pidana," ujarnya. Namun, menurut Uli, munculnya korupsi di sektor tata kelola sawit tidak lepas dari lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah.

Persoalan ini akan selalu muncul selama tata kelola kehutanan di Indonesia tidak diperbaiki. Pemerintah juga tidak pernah mengevaluasi atas penetapan atau penunjukan suatu kawasan sebagai hutan. Padahal, dalam praktiknya, banyak kawasan hutan yang tidak lagi berfungsi sebagai hutan.

Penerapan sanksi denda sering dikeluhkan pengusaha sawit karena mereka tak memiliki peluang untuk mengajukan keberatan. Padahal di lapangan tak pernah jelas mana batas kawasan hutan dan mana yang bukan.

Lahan perkebunan kelapa sawit yang menjalani proses peremajaan di Desa Berkah, Muaro Jambi, Jambi, 20 November 2024. ANTARA/Wahdi Septiawan

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Eddy Martono mengatakan keluhan itu pernah disampaikan kepada pemerintah. Keluhan itu dijawab pemerintah dengan menerbitkan Keputusan Menteri LHK Nomor 767 Tahun 2024. Aturan itu mengembalikan aturan denda menggunakan sistem tarif tunggal. “Jadi, ada tebangan kayu atau tidak dalam kawasan hutan, dendanya tetap dengan tarif tunggal,” katanya kepada Tempo, 20 Oktober 2024.

Eddy menjelaskan bahwa 3,3 juta hektare sawit yang tertanam di kawasan hutan tak hanya dikelola korporasi, tapi juga ditangani pengelola perkebunan rakyat. Dari jumlah itu, Kemenhut menerapkan sanksi denda atas penguasaan 700 ribu hektare sawit. Sekitar 537 perusahaan anggota Gapki disebutnya sudah berupaya melengkapi syarat seperti sertifikat hak guna usaha. “Tapi mengalami kendala karena adanya tumpang tindih kawasan hutan,” ucapnya.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia Julius Ibrani mengatakan sawit sejak dulu memang menjadi ladang subur perekonomian. Maka, tidak mengagetkan jika sektor tersebut dijadikan lahan korupsi. Apalagi industri sawit menjadi salah satu penyumbang terbesar untuk ekspor nonmigas Indonesia.

Dugaan korupsi dalam tata kelola sawit terjadi, kata Julius, karena tidak ada transparansi data sejak awal. "Kita enggak tahu luasan konsesi berapa, yang mana hutan yang mana bukan, juga berapa tutupan hutan sebelum dibuka jadi perkebunan," ujar Julius.

Avut Hidayat dan Riky Ferdianto berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus