Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai gelar perkara khusus kematian Afif Maulana oleh Polda Sumatera Barat berlangsung terburu-buru dan tidak transparan. “Kami, lembaga negara yang memiliki kewenangan terkait perlindungan anak, tidak diundang,” kata komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, Jumat, 3 Januari 2025. “Ini menimbulkan pertanyaan besar terkait transparansi dan keseriusan dalam mengungkap kebenaran.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diyah menyebut, keputusan yang terburu-buru ini terkesan agar kasus dapat segera ditutup. Terlebih pelakunya merupakan aparat penegak hukum. Padahal korban terhitung masih anak-anak dan masih dalam tanggung jawab keluarga dan negara. "Sehingga tidak dapat semena-mena dan stigma negatif terhadap anak korban yang meninggal," ujar dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam rapat koordinasi yang berlangsung secara daring itu, KPAI bersama sejumlah Lembaga Negara Hak Asasi Manusia (LNHAM) membahas langkah lanjutan tentang penghentian penyelidikan kematian Afif Maulana.
KPAI, kata Diyah, berpandangan bahwa tidak cukup hanya berfokus pada pernyataan dari dokter forensik. Psikolog forensik pun harusnya dilibatkan. Namun, masukan dari KPAI tersebut, tidak diterima oleh Polda Sumbar. "KPAI juga meminta untuk diberikan hasil visum dan ekshumasi tetapi tidak diberikan juga, hal ini masuk juga ke pengabaian LNHAM," katanya.
Afif Maulana, 13 tahun, ditemukan tewas di bawah Jembatan Kuranji pada Juni 2024. Diduga kematiannya akibat penganiayaan yang dilakukan aparat penegak hukum. Namun polisi membantah dugaan itu. Polda Sumbar menyatakan, Afif tewas karena terjatuh dari jembatan. Kapolda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Suharyono mengumumkan penghentian penyelidikan ini pada Selasa sore, 31 Desember 2024.
“Kami akan mengambil langkah hukum setelah menerima Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP2 Lidik),” ujar Adrizal, pengacara publik dari LBH Padang dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 1 Januari 2024.
Keputusan penghentian penyelidikan kasus ini diambil setelah Polda Sumbar menggelar perkara khusus kasus yang telah berjalan lebih dari enam bulan ini pada hari yang sama. Namun, kuasa hukum korban menyebut proses tersebut tidak melibatkan mereka secara penuh dan minim transparansi. “Sebuah gelar perkara khusus seharusnya membuka fakta dan alat bukti,” kata Alfi Syukri, juga kuasa hukum korban.
Kabid Humas Polda Sumbar Komisaris Besar Dwi Sulistyawan menegaskan, mekanisme gelar perkara sudah sesuai prosedur. “Memang mekanisme seperti itu, di termin pertama pelapor diminta untuk memberikan informasi selengkap-lengkapnya terkait dengan kejadian yang dilaporkan, sedangkan untuk termin kedua pelapor tidak dilibatkan," kata Dwi, 2 Januari 2025.
Gelar perkara khusus kasus ini berlangsung pada Selasa, 31 Desember 2024. Dalam termin pertama, penyidik memaparkan langkah-langkah penyelidikan, termasuk olah tempat kejadian perkara (TKP), pemeriksaan saksi, dan hasil autopsi. Sementara pada termin kedua, proses berlangsung secara internal tanpa melibatkan keluarga korban maupun kuasa hukum.