Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB), Fatrisia Ain, menyebut bahwa petani plasma di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, yang terikat kerja sama skema inti-plasma dengan PT Hardaya Inti Plantation (HIP) tidak menerima manfaat yang telah dijanjikan selama belasan tahun kemitraan. Ia menjelaskan, petani yang juga pemilik lahan tak menerima bagi hasil yang adil dari pengelolaan perkebunan sawit yang dilakukan perusahaan milik eks Bendahara Partai Demokrat Siti Hartati Murdaya Poo ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya itu, para petani perkebunan sawit yang menyuarakan ketidakpuasan mereka itu justru diintimidasi dan dikriminalisasi. Pada 8 Januari 2024, para petani memutuskan untuk secara serentak menghentikan sementara operasional perkebunan sawit mereka. “Harapannya perusahaan akan mau bernegosiasi,” kata perempuan yang akrab disapa Nona itu kepada Tempo ketika ditemui di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, pada Jumat, 11 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak Februari hingga 1 September 2024, sebanyak 23 petani dan aktivis sudah mendapatkan panggilan kepolisian terkait aksi itu. “Termasuk saya sendiri yang dilaporkan ke polisi karena dianggap melakukan pendudukan lahan dan penghasutan terhadap petani-petani untuk melakukan perlawanan,” ujar Nona.
Bahkan, ia mengungkapkan satu dari puluhan yang mendapat panggilan itu telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sulawesi Tengah, atas tuduhan yang sama dengannya. “Satu kawan kami sudah ditetapkan tersangka, dituduh pendudukan lahan, penghasutan.”
Nona mengatakan polisi turut memanggil salah satu anak petani yang tak terlibat aksi. Anak petani itu masih berumur 16 tahun, dan datang memenuhi panggilan Polda Sulteng mengenakan seragam sekolah. “Jadi maksud kami, polisi ini melakukan pemanggilan sudah tahu nggak sih yang mereka panggil ini siapa saja,” katanya.
Menurutnya, terdapat tiga laporan polisi yang mengkriminalisasi mereka, dan semua dilaporkan menggunakan pasal yang sama. “Undang-Undang Perkebunan terkait pendudukan lahan, kemudian KUHP terkait penghasutan untuk melakukan aksi penghentian (operasional perkebunan),” jelas Nona.
Kemitraan Perkebunan Sawit Diiming-imingi Membawa Keuntungan
Mulanya, kemitraan skema inti-plasma itu dinilai menggiurkan bagi para petani. “Di awal-awal memang sangat menjanjikan karena memang yang mendorong itu ada pemerintah juga,” tutur Nona. Selain pemerintah, tokoh masyarakat juga turun tangan untuk mendorong kemitraan itu.
Melalui skema inti-plasma, pengelolaan perkebunan milik petani melibatkan perusahaan sawit. Skema ini menempatkan perusahaan sebagai penjamin kredit atau avalis petani yang akan mengelola perkebunan. Sementara petani atau pemilik lahan yang akan membayar kredit pinjaman secara bertahap.
“Tapi kemudian terjadi, kalau bisa kami katakan, praktik monopoli dan eksploitasi terhadap tanah-tanah kami maupun kami sebagai pemilik lahan maupun buruh-buruh yang bekerja di perusahaan ini,” ucap Nona.
Dia mengatakan, selama 16 tahun kemitraan dengan PT HIP, para petani tidak menerima bagi hasil. Padahal, lahan perkebunan sawit itu merupakan lahan milik masyarakat, bukan tanah negara. “Jadi seolah-olah kami itu ‘mari ke sini PT HIP, kami punya tanah silakan dikelola, kamu tidak perlu kasih kami apa-apa karena kamu adalah penyumbang devisa negara’,” ucap Nona.
Para petani menuntut hak mereka karena sejak kemitraan dimulai pada tahun 2008, tidak pernah ada bagi hasil. “Jadi memang kemitraannya sudah dilanggar dan sangat eksploitatif,” kata Nona.
Dia mengatakan tidak hanya tanah mereka diambil, tetapi hak mereka untuk hidup pun juga diambil. “Yang kami alami adalah kami sebagai pemilik lahan ujung-ujungnya menjadi buruh di perkebunan sawit," ungkapnya. “Bahkan lebih parahnya bukan buruh tetap, tetapi buruh tempel.”
Para petani, tutur Nona, terpaksa bekerja sebagai tenaga kerja yang tidak memiliki jaminan keselamatan kerja di tanah mereka sendiri. Mereka pun diberi upah dari buruh harian tetap (BHT) yang bekerja di perkebunan sawit itu. “Jadi kami menjadi pembantu buruh tetap yang bekerja di kebun kami, dan kami bekerja di tanah kami sendiri.”