BERUNTUNGLAH Maniam bahwa ia tak ditangkap di Malaysia. Sebab, di sana berlaku hukuman mati bagi siapa pun yang kedapatan membawa atau menyimpan lebih dari 15 gram narkotik. Padahal, di Jakarta, ia kepergok polisi menyembunyikan 420 gram heroin di celana dalam yang tengah dikenakannya. Kini perkaranya tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dari perkebunan karet dan kelapa sawit di Johor, Malaysia, ia datang seolah mewakili golongan orang yang terjerat "jaringan haram" lantaran kemiskinan. Munusami, ayahnya, seorang yang menghidupi keluarganya dengan memburuh di perkebunan kawasan Ulu Tiram itu, dan meninggal ketika Maniam masih belasan tahun. Karenanya, seperti lazimnya orang India Tamil di Malaysia yang hanya lulus sekolah dasar, Maniam ikut memburuh. Ternyata, ia tak betah dengan kehidupan yang sangat sederhana itu. Kepada wartawan TEMPO di Kuala Lumpur, Ekram H. Attamimi, sumber kepolisian menuturkan: Maniam meninggalkan kampungnya menuju Johor Bahru dan tinggal di Jalan Tebrau. Kemudian, ia pindah lagi ke Jalan Terus di kota yang sama. Tak jelas apa yang dikerjakannya selama itu. Yang diketahui polisi, selama menganggur, Maniam, 27, menggantungkan hidup pada abangnya. Kisah hidup Maniam hampir tak terceritakan lagi, sebelum polisi Jakarta menangkapnya pertengahan Juni lalu di Hotel City (TEMPO, 29 Juni 1985). Kepada polisi, ia menuturkan bahwa tugasnya hanya sebagai kurir, yang bertugas membawa heroin ke Jakarta. Yang menyuruh, "orang Cina, namanya Steven." Semula, menurut Maniam tentu, ia bertemu dengan Steven di kedai kopi di Johor Bahru. Ia, yang sedang mencari pekerjaan, ditawari membawa "barang" ke Indonesia. "Saya tidak mau kerja ini, tapi dia bilang dia akan bunuh keluarga awak," pengakuannya. Dengan kereta api ke Kuala Lumpur, lalu dengan pesawat, ia tiba dengan selamat di Jakarta - lolos dari segala pemeriksaan. Steven, yang mengiming-imingi upah tiga ribu ringgit (sekitar Rp 1,5 juta), telah lebih dulu sampai di Jakarta, menjemput di Cengkareng. Dengan taksi mereka pergi ke Hotel Gajah Mada, semalam kemudian pindah lagi ke Hotel City di Glodok. Dari seluruh cerita Maniam itu - kecuali pengakuannya "karena dipaksa Steven", tentu - jaksa menyusun dakwaannya: Maniam bersalah tanpa hak mengimpor, atau menawarkan, atau menerima, atau menjadi perantara dalam perdagangan heroin. Mayor Gordon Siadari, yang menangkap Maniam, ternyata mempunyai informasi lebih banyak. Setelah Maniam ditangkap, dan polisi memberi tahu Interpol, dari Denmark ada berita bahwa terdakwa pernah membawa dua kilogram heroin dari Kopenhagen menuju Roma. Artinya, bekas buruh itu bukan wajah baru dalam bidang perkuriran. Walaupun demikian, Maniam berhasil menjaga namanya di negaranya sendiri yang ketat terhadap narkotik. "Sepanjang pengetahuan kami, Maniam belum pernah berurusan dengan polisi dalam kasus pidana atau pelanggaran lain," tutur sumber resmi di Kuala Lumpur. Mereka terbentur pada soal tidak adanya bukti meskipun mencurigai keterlibatan Maniam dalam sindikat narkotik internasional. Baru, setelah Interpol Indonesia memberi tahu perihal penangkapan Maniam - juga Steven - mereka percaya, dan langsung mengirim kabar pada ibu lelaki hitam, keriting, dan berkumis tebal itu. Steven, 29, lahir sebagai Chan Tin Chong juga disidangkan di pengadilan yang sama. Bila benar, ia harus menanggung dosa yang lebih besar dari Maniam - sebagai pemilik yang memasukkan heroin ke Indonesia. Namun, pramuniaga yang tinggal di Soon Lee Garden, Johor, yang juga punya rumah di kota kecil Tampoi, menolak tuduhan terlibat kasus ini. "Mana saya tahu kalau Maniam punya heroin," ujarnya, Juni lalu. Bahwa ia datang ke Hotel City, waktu ditangkap, katanya hanya karena akan mengajak Maniam yang baru dikenalnya untuk jalan-jalan. Kini, di persidangan, Steven hanya menggeleng-geleng tanpa bicara sedikit pun. Selain mereka berdua, So Djin Han, asal Medan, juga ditangkap. Polisi yakin, ia pun terlibat dalam sindikat itu. Tapi mereka boleh merasa beruntung: pengadilan di sini tak sekeras di Malaysia dalam menghukum pelaku kasus narkotik. Zaim Uchrowi Laporan Bunga S. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini