Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tempelengan Masal

Iwan murid kelas IV SDN Bengselok I, Sumenep, ditempeleng masal oleh 36 teman sekelasnya atas perintah pak guru wasil, gara-gara berantem dengan temannya Samsul. Pihak keluarga Iwan menuntut. (krim)

26 Oktober 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU per satu murid kelas IV SD Negeri Bengselok I, Sumenep, itu maju ke muka kelas. Dengan sekuat tenaga, mereka menempeleng teman mereka sendiri, Iwan, yang berdiri di dekat papan tulis. Sudaryanto dan Sutrisno, keduanya berusia 10 tahun, yang hanya menampar Iwan setengah hati, dihardik oleh gurunya. "Kalian tak tahu cara menampar? Begini, Iho," ujar Pak Guru. Ia mengem-bangkan tangan, dan plak, kedua anak itu mendapat tamparan di pipi. Setelah itu, tak ada lagi yang berani menampar Iwan pelan-pelan. Akibatnya bisa diduga. Setelah ke-36 temannya maju ke depan, wajah Iwan Samsi, 12, memar kemerah-merahan. Tiba di rumah, ia mengeluh kepalanya pusing. Saat tidur, darah keluar bersama air liurnya. Tapi, waktu ditanya orangtuanya, anak itu tak mau berterus terang. Dua hari kemudian, barulah Ahmadiyatun, ibu Iwan, tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Saat ia pergi ke pasar, beberapa ibu teman anaknya datang menghampiri dan meminta maaf karena anak mereka - ternyata atas perintah guru - menampar Iwan. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Nahrawi, 48, ayah Iwan. "Kalau yang memukul gurunya, saya rela. Tapi, cara menghukum seperti itu, apa layak dilakukan seorang guru ?" katanya dengan nada tinggi. Kerabat Nahrawi sepakat membuat perhitungan atas kejadian yang dialami Iwan, dua pekan lalu. Mereka mengumpulkan 36 kerabat dan warga setempat untuk menampar guru di SDN Bengselok I yang memberlakukan hukuman masal itu. Rencana mereka untungnya tercium kerabat Nahrawi yang lain, yaitu Sumarwi, anggota ABRI, sehingga rencana pembalasan itu gagal dilaksanakan. Kemalangan Iwan bermula dari senda gurau bersama Samsul, teman sekelasnya. Olok-olok di antara kedua anak itu semakin memuncak, sampai menyerempet soal orangtua segala. Iwan marah, karena Samsul mengejek ayahnya, yang sebelah matanya cacat. Ia menantang Samsul berkelahi di tegalan, tak berapa jauh dari sekolah. Ada 13 anak lain, ketika itu, yang menyaksikan pertarungan kedua teman mereka di tegalan. Untung, keributan itu diketahui seorang guru, yang segera melerai keduanya. Iwan dan Samsul dipanggil ke kantor sekolah. Wasil, guru agama yang ada di situ, sempat menempeleng keduanya sebagai pelajaran. Kedua pihak mengira, persoalannya sudah selesai sampai di situ. Ternyata, belum. Esok harinya, Iwan dipanggil lagi ke kantor oleh beberapa orang guru. Sedang Samsul tidak, karena hari itu ia tak muncul di sekolah. "Saya mendapat teguran keras, terutama dari Bu Icak," kata Iwan kepada TEMPO, pekan lalu. Bu Icak adalah panggilan untuk Bu Guru Saitiyah, ibu kandung Samsul. Iwan, yang dicap sebagai anak bandel, tentu saja hanya bisa diam. Dan penderitaannya ternyata masih berkelanjutan. Begitu masuk kelas, Wasil menyuruhnya maju ke muka kelas. Iwan disuruh berdiri dekat papan tulis, dan penempelengan masal pun terjadi. Sulit diterka apa yang mendasari tindakan pak guru kita itu. Tapi, bisa jadi, ia ingin "meralat" kesalahannya sehari sebelumnya: menempeleng Iwan dan Samsul, padahal Samsul itu anak rekan sekerjanya sendiri. Karena perlakuan yang dinilai melewati batas itu, pihak keluarga Iwan meminta agar terhadap Wasil diambil tindakan. "Apa pun alasannya, hukuman semacam itu tidak bisa diterima. Tidak etis," ujar seorang paman Iwan. Belakangan Wasil, yang sudah mengajar sejak lima tahun lalu, menyadari kekeliruannya. Ia tak membantah telah memberlakukan hukuman tempeleng masal kepada Iwan. "Kejadian itu kayaknya seperti guyon saja. Saya tidak punya tendensi apa-apa dalam perbuatan itu," kata Wasil kepada TEMPO. Ia, karena kesalahannya, telah mengirim utusan untuk meminta maaf kepada orangtua Iwan. Perkara ini tak sampai dilaporkan ke polisi oleh pihak korban. Tapi oleh Mahdel, kepala sekolah, kasus itu sempat dilaporkan ke atasannya. "Waktu kejadian itu, mungkin Wasil sedang kalut. Tapi sebagai kepala sekolah, saya masih sanggup membinanya," kata Mahdel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus