Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lembaga sandera: yang pancasilais...

Lembaga sandera akan dihidupkan lagi, usul mahkamah agung khusus untuk orang-orang yang berhutang kepada negara. (hk)

26 Mei 1984 | 00.00 WIB

Lembaga sandera: yang pancasilais...
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
LEMBAGA sandera (gijzeling), yang selama dua puluh tahun ini dikuburkan, kini hendak dihidupkan kembali. Yang menarik, ide untuk menghidupkan kembali lembaga itu justru datang dari Mahkamah Agung, pihak yang selama ini selalu menolak aasan itu. Munculnya gagasan itu diungkapkan Ketua Umum Lembaga Bantuan dan Pengembangan Hukum (LBPH) Kos| goro, Azhar Achmad, setelah mengadakan pertemuan dengan Wakil Ketua Mahkamah Agung, Purwoto S. Gandasubrata. Menurut Azhar Achmad, dalam pertemuan Sabtu dua pekan lalu, Mahkamah Agung dapat menyetujui bahwa seseorang yang berutang dapat disandera, sampai ia melunasi utang-utangnya. Hanya saja, berbeda dengan lembaga sandera yang dikenal dulu, yang boleh disandera kelak hanya orang-orang yang berutang kepada negara. Untuk menerapkan lembaga itu, kata Azhar, harus dipenuhi syarat bahwa perkara utang-plutang dengan negara itu sudah mendapat keputusan hukum yang berkekuatan pasti. Wewenang hakim untuk menyandera si berutang yang tidak mau membayar utangutangnya itu diatur dalam hukum acara lama, HIR, pasal 209 dan lebih dikenal dengan nama gijzeling. Hanya saja, setelah kemerdekaan, lembaga itu dirasakan "tidak berperi kemanusiaan", sehingga dalam Surat Edaran Mahkamah Agung, yang ditandatangani Ketua Mahkamah Agung Prof. Wirjono Prodjodikoro, 1964, ketentuan itu dimatikan. Sepuluh tahun kemudian, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara, waktu itu Bismar Siregar, mencoba menggali kembali lembaga itu dari kuburnya. Dalam suatu perkara utang-piutang, Bismar memutuskan bahwa seorang yang berutang, Dulkirin, akan disandera bila tidak melunasi utangnya sebesar Rp 1 juta kepada Ir. Maharuddin. Bismar bukan tidak tahu bahwa lembaga itu sudah dilarang Mahkamah Agung. Namun, alasan Bismar waktu itu, surat edaran lembaga peradilan tertinggi itu tidak bisa mengesampingkan kekuatan suatu undang-undang. Apalagi, kata Bismar, larangan Mahkamah Agung itu telah menimbulkan akibat buruk, yaitu munculnya si berutang nakal yang sengaja tidak membayar utangnya walau ia mampu melunasinya. "Enakbetul orang itu, sampai kreditur terpaksa seperti pengemis, menagih-nagih - apa itu adil?" ujar Bismar, pekan lalu. Tapi usaha Bismar waktu itu gagal. Mahkamah Agung tetap pada pendiriannya. Keputusan Bismar dinilai Mahkamah Agung melanggar Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa keputusan pengadilan haruslah mengindahkan perikemanusiaan dan per keadilan. Sebab itu pula dalam putusan kasasinya, 1975, Mahkamah Agung membatalkan kembali putusan Bismar itu. Bahkan peradilan tertinggi itu merasa perlu mengedarkan surat baru yang melarang lembaga sandera itu. "Kan lucu, kalau dalam urusan perdata seseorang ditahan seperti kriminal saja," ujar Oemar Senoadji, waktu itu Ketua Mahkamah Agung, yang membatalkan putusan Bismar. Akibat keputusan Mahkamah Agung itu, ternyata, seperti diramalkan Bismar. Munculnya kredit macet di bank-bank pemerintah, yang pada 1982 saja berjumlah Rp 414 milyar, menurut Bismar, akibat tangan hukum tidak sanggup menjangkau si debitur yang main-main. Itu sebabnya Ikahi (Ikatan Hakim Indonesia) Cabang Sumatera Utara, dalam musyawarahnya tahun lalu, mengusulkan agar Mahkamah Agung menghidupkan kembali lembaga sandera (TEMPO, 17 September 1983). Sebab itu pula Bismar Siregar, yang kini menjabat Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, yang paling gembira mendengar kabar bahwa lembaga itu akan dihidupkan kembali. "Kita sudah melangkah setengah," ujar Bismar Siregar. Baru "setengah langkah", katanya, karena lembaga sandera itu baru akan diterapkan terhadap orang-oran yang berutang kepada negara. Tapi Wakil Ketua Mahkamah Agung Purwoto S. Gandasubrata, menyangkal bah wa gagasan menghidupkan kembali lembaga sandera itu sebagai perubahan sikap Mahka mah Agung. Menurut Purwoto, lembaga sandera yang dimaksudkan pasal 209 HIR itu tetap tidak akan diterapkan "karena bertentangan dengan Pancasia". "Lembaga itu benar-benar tidak manusiawi: bagaimana harus disandera, kalau si berutang benar-benar tidak mempunyai harta untuk membayar utangnya," kata Purwoto. Sebab itu, menurut Purwoto, penyanderaan yang dimaksudkan Mahkamah Agung hanyalah terbatas terhadap orang yang berutang kepada negara. Tapi Direktur Jenderal Pajak, Salamun A.T., membenarkan bahwa ide untuk menghidupkan lembaga sandera itu muncul ketika Pemerintah dan DPR merumuskan undangundang perpajakan yang baru. "Ada usul, agar di dalam undang-undang baru itu dimasukkan soal penyanderaan, agar penyelundup pajak takut. Tapi, karena sudah ada peraturan lain yang mengatur lembaga sandera, usul itu tidak jadi diterima," ujar Salamun. Selain Salamun, rupanya Jaksa Agung Ismail Saleh pun pernah meminta Ketua Mahkamah Agung Mudjono (almarhum) agar menghidupkan kembali lembaga sandera itu. "Saya bicarakan dengan Pak Mudjono bagaimana cara untuk menyelamatkan uang negara," ujar Ismail Saleh. Sebab, kata Jaksa Agung, dari Rp 107 milyar uang negara yang hilang dalam perkara korupsi, tahun lalu, hanya Rp 4,4 milyar yang bisa dikembalikan. "Walaupun dalam perkara pidana pelakunya dihukum, uang negara tetap tidak kembali. Untuk menggugat mereka secara perdata, prosedurnya terlalu panjang, sehingga perlu lembaga sandera," ujar Jaksa Agung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus