Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyebut bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI atau RUU Polri sementara waktu ditunda. Informasi penundaan tersebut disampaikan oleh Ketua Harian Kompolnas Arief Wicaksono Sudiutomo yang berkomunikasi langsung dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada Rabu, 9 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Sekarang untuk pembahasan RUU Polri itu lagi di hold. Di Polri lagi fokus kepada pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP)," kata Arief kepada Tempo, Kamis, 10 April 2025. Menurut Arief, Polri ingin menunggu pembahasan RUU KUHAP selesai baru beralih ke RUU Polri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Arief mengatakan beberapa klausul di hukum acara pidana belum dirincikan dalam UU Polri. Misalnya, aturan penahanan tersangka yang dijelaskan dalam Pasal 21 ayat 4 KUHAP yang aturan teknisnya belum ada di UU Polri. Beleid itu mengatur bahwa seorang tersangka bisa ditahan bila ancaman hukuman penjaranya di atas 5 tahun atau bisa kurang dengan catatan lain.
Seperti dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana. "Nah (aturan) itu tidak ada di UU Polri," ucap Arief. Bila pembahasan RUU Polri dilanjutkan tanpa menunggu RUU KUHAP selesai, Arief menilai akan timbul kebingungan akibat ketidaksinkronan.
Sejak berlaku pada 31 Desember 1981, Arief menilai pembahasan RUU KUHAP lebih mendesak dilakukan dibandingkan RUU Polri.
RUU Polri termasuk dalam rancangan undang-undang inisiatif DPR. Pembahasannya sudah dilakukan sejak 2024. Sejumlah pasal diusulkan dilakukan perubahan berdasarkan draf RUU Polri yang diperoleh Tempo.
Sebelumnya, DPR telah membahas Rancangan Undang-Undang Kepolisian sejak 2024. Beleid itu termasuk dalam rancangan undang-undang inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat. Sejumlah pasal diusulkan dilakukan perubahan berdasarkan draf RUU Polri yang diperoleh Tempo.
Misalnya yang tertuang dalam draf RUU Polri Pasal 16 ayat 1 huruf q. Pasal itu menyatakan, Polri berwenang melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai intervensi polisi dalam membatasi ruang siber berpotensi mengecilkan ruang berpendapat yang dimiliki publik. Selain itu, kewenangan Polri dalam penindakan di ruang siber ini berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian Komunikasi dan Digital, hingga Badan Sandi dan Siber Negara.
Usulan perubahan yang menuai polemik dalam draf RUU Polri juga terdapat dalam Pasal 14 ayat 1 huruf g. Pasal itu menyatakan, Polri bertugas untuk mengkoordinasi, mengawasi, dan melakukan pembinaan teknis terhadap Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, penyidik lain yang ditetapkan oeh UU, dan bentuk pengamanan swakarsa.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai usulan perubahan pasal ini justru mendekatkan peran Polri sebagai superbody investigator. Tugas pembinaan terhadap pasukan pengamanan swakarsa yang dimiliki Polri juga perlu dievaluasi. Sebab, Koalisi Masyarakat Sipil menilai tugas itu berpotensi memunculkan pelanggaran HAM maupun ruang bagi "bisnis keamanan".
Pasal lain yang menjadi polemik dalam draf RUU Polri yaitu 16 A. Ini mengatur tentang kewenangan Polri untuk menyusun rencana dan kebijakan di bidang Intelkam sebagai bagian dari rencana kebijakan nasional.
Koalisi Masyarakat Sipil memandang usulan itu membuat kewenangan Intelkam yang dimiliki Polri melebihi lembaga lain yang mengurus soal intelijen. Lewat usulan pasal ini, Polri diduga punya kewenangan untuk menagih data intelijen dari lembaga-lembaga seperti BSSN hingga Badan Intelijen Strategis TNI.
Dian Rahma Fika dan Novali Panji berkontribusi dalam artikel ini.
Pilihan editor: Pasal-pasal di RUU Polri yang Bisa Memantik Kontroversi