MOHAN, tersangka penyelundup tekstil di Jawa Timur, lolos
beberapa jam sebelum tim anti penyelundupan (Tim 902)
menyergapnya. Jejaknya dinyatakan lenyap. Hanya bukti
kejahatannya, berupa tekstil selundupan, diurus sebagaimana
mustinya -- menjadi sebuah perkara tanpa tersangka.
Benarkah jejak Mohan lenyap? Tapi Adnan Buyung Nasution mendapat
kontak. "Dia ada di Singapura," ujar Buyung. Dan pengacara ini
telah diminta untuk mengurus perkaranya. Tapi menurut Buyung,
ada beberapa syarat yang harus dipenuhinya: ahli hukum ini harus
mengurusnya dengan 'tenang', tak perlu ada heboh, juga tak ada
publikasi. Lalu apa tugasnya sebagai pengacara "Tak banyak,"
kata Buyung "hanya jadi pengacara proforma saja."
Segala sesuatunya sudah ada yang mengatur, yaitu "sekelompok
orang yang terorganisir." Misalnya begini: Pengadilan akan
menyidangkan perkara Mohan ini secara in-absentia (tanpa
hadirnya tersangka). Tuntutan dan hukuman dapat diatur. Tugas
Buyung bersama kelompok "yang sekarang kita sebut sebagai mafia
peradilan," menyelamatkan harta tersangka.
Buyung menolak kerjasama begitu. "Saya mau jadi pengacaranya,"
katanya, "bila perkara akan berjalan sesuai dengan hukum --
artinya saya minta agar Mohan menyerahkan diri." Kerjasama
batal. Apa yang terjadi dengan perkara Mohan tersebut? "Lihat
sendiri, berjalan sesuai dengan rencana diadili secara
in-absentia, hukumannya ringan (kalau tak salah 1« tahun penjara)
dan barang-barang tersangka lainnya, misalnya toko-toko,
selamat." Dan Buyungpun terakhir mendengar kabar: Mohan sudah
bolak-balik ke Indonesia dengan paspor lain.
Begitu cerita Buyung Nasution. "Saya hanya ingin menunjukkan,
sebagai sinyalemen mafia peradilan itu di sanasini memang
kelihatan terorganisir dalam beberapa kelompok, yang harus
segera diungkapkan," kata Buyung. Begitu juga dari kasus
Soenarto ditambah dengan beberapa kejadian seperti tersangka
terpaksa berganti pembela "yang itu-itu juga." Bukan bukti,
"tapi haruslah dianggap suatu ejala tidak baik dalam dunia
peradilan dewasa ini," kata Buyung Nasution.
Sudah sedemikian seriuskah masalah mafia peradilan? Di bawah ini
beberapa tanggapan:
Ali Said SH, Jaksa Agung
Persoalan itu masih di antara Peradin saja. Yang satu bilang
"ya", yang lain mendebat. Lha kok saya harus mencampuri? 'Kan
tidak enak. Biar mereka selesaikan dulu. Tapi jangan diartikan
saya tidak menaruh perhatian. Lihat saja nanti.
Kalau ternyata jaksa terlibat? Tidak usah sangsi, saya tindak
--ini pasti. Tapi kalau hanya pembela yang main itu murah dalam
rangka membela kliennya. Tapi bermainnya itu jangan keterlaluan.
Prof. Oemar Seno Adji, Ketua Mahkamah Agung
Saya berani jamin 100% majelis hakim yang mengadili Budiadji
tidak kena suap. Hakim terpilih dan mempunyai integritas. Saya
tahu benar. Hukuman yang mereka jatuhkan buktinya berat, seumur
hidup, berarti lebih berat dari tuntutan jaksa yang 20 tahun
penjara. Yang menarik, mengapa terdakwa tidak apel (menolak
putusan hakim dan naik banding -- itu satu tanda tanya.
Mr Yap Thiam Hien, advokat, anggota Dewan Kehormatan Peradin
Karena saya katanya orangnya kaku, tidak supel, tidak ditawari
perkara. Pernah juga ditawari perkara 902 tapi tidak saya
layani. Jaksa menawari perkara pada kita tentu ada apa-apanya.
Belajar dari yang sudah, biasanya perkara yang ditawar-tawarkan
itu yang gede-gede yang ada uangnya.
Isyu mafia peradilan hanya soal persaingan antar advokat saja?
Pengacara tak perlu takut kompetisi bisnis -- sekedar buat
nafkah cukup. Saya mulainkan dari bawah, sebelum kejatuhan
bulan seperti sekarang.
R.O. Tambunan, advokat, anggota MPR
Mafia peradilan itu, kalau bentuknya seperti yang dibicarakan
Peradin, memang betul-betul ada. Motifnya bisa macam-macam.
Bisa sekelompok pemeriksa ingin agar apa yang dituduhkan gol,
tidak mendapat kesulitan dari pembela. Jadi menyangkut soal
karir jaksa yan bersangkutan. Bisa juga memang target
pemerintah dalam perkara itu harus demikian. Motif lain tentu
saja uang, bisnis.
Tersangka mendapat jaminan perkaranya lancar? Sepintas lalu
demikian. Buat tersangka memang, pokoknya perkaranya beres.
Pengacara harus membantu. Tapi ya jangan sampai mengorbankan
lembaga peradilan yang harus kita hormati. Advokat harus punya
prinsip. Jangan gampang distir jaksa atau klien sendiri. Atau
mau jadi pengacara cepot yang hanya mau main sandiwara di
pengadilan?
Andi Mochtar, Ketua Komisi III/DPR-RI Jaksa Agung harus mengusut
soal mafia peradilan itu. Membuktikannya memang sulit. Tapi
pemerintah harus mempunyai kemauan politik untuk itu.
Istilah mafia itu sendiri tak perlu diributkan. Yang penting
sudah ada pelanggaran. Kalau persoalannya didiamkan saja bisa
jadi semacam preseden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini