KETIKA Letkol Soeharto datang dengan pasukannya 16 Pebruari 1949
di Bibis, Harjowiadi (69 tahun) menyediakan rumahnya untuk
markas. "Ruang depan ini dipakai tidur. Ruang belakang untuk
menyimpan barang," katanya dengan bahasa Indonesia yang lancar.
Apa misalnya? "Ada candu, ada senapan dan satu karung uang,"
katanya. "Uang ori, bukan uang Belanda," tambahnya. Maksudnya
Oeang Republik Indonesia.
"Yang mencarikan makanan buat pak Harto dan pasukannya saya
sendiri. Dibantu penduduk dukuh, pak Harto betah di sini sampai
berhasil merebut Yogyakarta" -- begitu tutur Harjowiadi.
Setelah selesai masa perjuangan, baru 5 Maret itu Soeharto
sebagai presiden mengunjungi Dukuh Bibis lagi.
Harjowiadi menuturkan, setiap tahun selalu dipanggil Pak Harto
ke Cendana. Panggilan biasanya lewat Korem. Kadangkala untuk
berhalal-bihalal lebaran, terkadang panggilan khusus. "Tahun
lalu (1978) dua kali saya dipanggil ke Jakarta," katanya. Naik
apa? "Tinggal berangkat naik pesawat," katanya. Kadangkala ada
petugas menemani. Atau sendirian, setelah diantar sampai di
tangga pesawat.
"Begitu turun di Jakarta, saya menuju petugas telepon. Saya
suruh menelepon Cendana untuk menjernput saya," katanya lagi.
Pernah sekali, petugas telepon di lapangan Jakarta (tidak ingat
persis Kemayoran atau Halim) tidak berani menyambung hubungan
ke Cendana. Kepala dukuh yang necis ini lalu memutar sendiri
nomor pesawat Cendana. Tak lebih dari sejam datang petugas
menjemputnya.
Di Cendana, Harjowiadi tak begitu saja nyelonong masuk halaman
rumah kediaman Presiden dan keluarganya itu. "Saya harus lapor
dulu ke penjagaan. Setelah ajudan Pak Harto dipanggil, semuanya
beres," kata sang kepala dukuh. "Penjagaan itu kan tiap minggu
diganti. Saya tak kenal orangnya. Tapi ajudan Pak Harto, kenal
semua, siapa saya," tambahnya.
Apa saja dibicarakan dengan Pak Harto? "Macam-macam. Pak Harto
tanya, bagaimana keadaan di sawah. Juga sering tanya, bagaimana
pemerintahan sekarang," tutur Harjowiadi. "Saya saling hormat
menghormati. Walau Pak Harto lebih muda, saya panggil bapak, kan
jadi presiden. Sedang pak Harto memanggil saya juga pakai bapak,
Pak Dukuh, begitu."
"Tapi saya tak mau tidur di Cendana. Di sana orang sibuk
bekerja. Saya tidur di Cempaka Putih," katanya tanpa menyebut
rumah siapa di Cempaka Putih itu. Apa diberi hadiah oleh Pak
Harto? "Yah, kadang-kadang bekal uang. Tapi tak banyak, paling
Rp 25 ribu sampai Rp 50 ribu."
Harjowiadi punya 7 anak dan 15 cucu. Isterinya meninggal 1976.
Anak ketiga bernama Ngaliman. Ia gugur dengan pangkat sersan di
Timor Timur 5 Mei 1975. "Berita kematiannya saya terima seminggu
setelah gugur. Sampai sekarang kuburannya masih di sana," kata
Harjowiadi.
Anak Kepala Dukuh Bibis keempat juga tentara berpangkat sersan.
Diberi nama Suharto. Sersan Suharto juga ikut ke Timor Timur
dari kesatuan Batalion 407. Sekarang ada di Markas Kowilhan II.
Anaknya yang lain ada yang jadi pemborong. "Tapi pembangunan
monumen Bibis ini bukan dihorong anak saya," kata Harjowiadi.
Setelah ditinggal mati isterinya Harjowiadi ditemani cucu dari
anak perempuannya, yang kebetulan masih di Dukuh Bibis. Setiap
harinya ia membersihkan monumen itu. "Yah ini monumen, ini rumah
saya," katanya. Ada keluhan pak "Ada. Saya ini katanya diangkat
jadi veteran, tapi sampai sekarang belum pernah terima bantuan
apa-apa," katanya ceplas-ceplos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini