Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Soenarto Menjawab

Soenarto Soerodibroto, 57, menerima klien dropping Budiadji dari kejaksaan, tapi ia menyangkal ikut mengumpulkan dana dari pejabat Bulog untuk dibagikan kepada hakim, jaksa dan dia sendiri. (hk)

24 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNGKAPAN Soenarto bahwa "lembaga peradilan dewasa ini kurang memancarkan kewibawaannya," cukup menjewer penjaga gawang pengadilan, para hakim. Dihubungkan dengan pungli dan praktek buruk pengadilan lainnya, yang dilaporkan ke Opstib atas nama Peradin, suara itu mendapat tempat yang lumayan. Nama advokat Soenarto Soerodibroto SH, 57 tahun, mulai melambung melalui perkara Budiadji. Pembelaan bekas direktur sebuah SMA di Yogya ini, yang mencoba menarik beberapa nama pejabat Bulog ke dam sorotan -- yang selama itu selamat tersimpan di mulut Budiadji -- mendapat tepuk tangan. Sampai DPR meluangkan waktu baginya untuk bicara sekali lagi tentang korupsi di Bulog. Tapi akhirnya Soenarto kesandung juga oleh buntut kasus Budiadji. Dibongkar oleh Selecta, beberapa praktek yang dianggap tercela oleh rekan seprofesi, harus dibeberkannya pula dalam suatu "pengadilan" Peradin. "Kesalahan yuridis fatal sekali dilakukan oleh Peradin," ujar Soenarto. Yaitu, katanya, ia telah dihukum organisasinya tanpa aturan. Sambil menuduh Ketua DPP Peradin, S. Tasrif SH, melakukan "kegiatan politik dengan kedok hukum" dalam menyelesaikan soalnya dan mafia peradilan, Soenarto mencoba menentukan posisinya. Ia tak menyangkal menerima Budiadji sebagai klien dropping dari kejaksaan. Juga honor yang diterimanya, katanya, memang diatur oleh instansi yang memberinya pekerjaan. Tapi ia tak mengakui ikut serta dalam kegiatan pengumpulan dana dari pejabat Bulog, yang disebut Peradin untuk dibagikan kepada hakim, jaksa maupun untuk dirinya sendiri. Sebutan ini kelihatannya diambil alih dari keterangan Soenarto sendiri kepada Selecta. Usaha pengumpulan dana dari pejabat Bulog -- yang katanya tak pernah berhasil itu -- memang saran kejaksaan. Tapi untuk keperluan keluarga Budiadji sendiri. "Jadi bukan untuk jaksa maupun hakim." Honornya Rp 5 juta memang diterimanya dari kejaksaan. Tapi katanya, itu tak ada sangkut pautnya dengan "dana Rp 100 juta". Duduk soalnya dana itu, menurut Soenarto, begini: nilai barang bukti dalam kasus Budiadji yang harus dikembalikan kepada keluarganya memang sekitar Rp 100 juta, termasuk Rp 50 juta uang kontan. Dia tidak hadir sendiri dalam eksekusi putusan pengadilan tersebut. Tapi ia tahu kekayaan itu tak pernah sampai ke alamatnya. Keluarga Budiadji hanya meneken semacam kwitansi tapi tak menerima duitnya. "Ke mana uangnya saya tidak tahu," katanya. Bagi Soenarto agaknya perlu juga diketengahkan pendapat Sof Larosa, Ketua Pengadilan Negeri Denpasar yang memimpin majlis hakim perkara Budiadji: Tidak ada tanda-tanda aneh atau tidak wajar dari Soenarto ketika berdiri sebagai pembela. "Dia memperlihatkan proporsi yang sebenarnya." Cukup?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus