UNGKAPAN Soenarto bahwa "lembaga peradilan dewasa ini kurang
memancarkan kewibawaannya," cukup menjewer penjaga gawang
pengadilan, para hakim. Dihubungkan dengan pungli dan praktek
buruk pengadilan lainnya, yang dilaporkan ke Opstib atas nama
Peradin, suara itu mendapat tempat yang lumayan.
Nama advokat Soenarto Soerodibroto SH, 57 tahun, mulai melambung
melalui perkara Budiadji. Pembelaan bekas direktur sebuah SMA di
Yogya ini, yang mencoba menarik beberapa nama pejabat Bulog ke
dam sorotan -- yang selama itu selamat tersimpan di mulut
Budiadji -- mendapat tepuk tangan. Sampai DPR meluangkan waktu
baginya untuk bicara sekali lagi tentang korupsi di Bulog.
Tapi akhirnya Soenarto kesandung juga oleh buntut kasus
Budiadji. Dibongkar oleh Selecta, beberapa praktek yang dianggap
tercela oleh rekan seprofesi, harus dibeberkannya pula dalam
suatu "pengadilan" Peradin.
"Kesalahan yuridis fatal sekali dilakukan oleh Peradin," ujar
Soenarto. Yaitu, katanya, ia telah dihukum organisasinya tanpa
aturan.
Sambil menuduh Ketua DPP Peradin, S. Tasrif SH, melakukan
"kegiatan politik dengan kedok hukum" dalam menyelesaikan
soalnya dan mafia peradilan, Soenarto mencoba menentukan
posisinya. Ia tak menyangkal menerima Budiadji sebagai klien
dropping dari kejaksaan. Juga honor yang diterimanya, katanya,
memang diatur oleh instansi yang memberinya pekerjaan.
Tapi ia tak mengakui ikut serta dalam kegiatan pengumpulan dana
dari pejabat Bulog, yang disebut Peradin untuk dibagikan kepada
hakim, jaksa maupun untuk dirinya sendiri. Sebutan ini
kelihatannya diambil alih dari keterangan Soenarto sendiri
kepada Selecta.
Usaha pengumpulan dana dari pejabat Bulog -- yang katanya tak
pernah berhasil itu -- memang saran kejaksaan. Tapi untuk
keperluan keluarga Budiadji sendiri. "Jadi bukan untuk jaksa
maupun hakim."
Honornya Rp 5 juta memang diterimanya dari kejaksaan. Tapi
katanya, itu tak ada sangkut pautnya dengan "dana Rp 100 juta".
Duduk soalnya dana itu, menurut Soenarto, begini: nilai barang
bukti dalam kasus Budiadji yang harus dikembalikan kepada
keluarganya memang sekitar Rp 100 juta, termasuk Rp 50 juta uang
kontan. Dia tidak hadir sendiri dalam eksekusi putusan
pengadilan tersebut. Tapi ia tahu kekayaan itu tak pernah sampai
ke alamatnya. Keluarga Budiadji hanya meneken semacam kwitansi
tapi tak menerima duitnya. "Ke mana uangnya saya tidak tahu,"
katanya.
Bagi Soenarto agaknya perlu juga diketengahkan pendapat Sof
Larosa, Ketua Pengadilan Negeri Denpasar yang memimpin majlis
hakim perkara Budiadji: Tidak ada tanda-tanda aneh atau tidak
wajar dari Soenarto ketika berdiri sebagai pembela. "Dia
memperlihatkan proporsi yang sebenarnya." Cukup?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini