RAUNGAN nelayan kecil, yang meras rezekinya dijaring nelayan
kaliber pukat harimau, makin didengar. Kiranya tak perlu
terjadi lagi pertumpahan darah di laut. Sebab, kapal-kapal
yang masih berani melempar pukat trawl di depan hidung nelayan
tradisionil, yaitu melanggar batas perairan pantai,
beramai-ramai diseret ke hadapan hukum.
Dan di sana para hakim tak bimbang lagi. Hakim Bismar Siregar
SH. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur, misalnya --
menuruti petunjuk Mahkamah Agung -- tanpa ragu-ragu merampas 56
kapal berpukat harimau untuk negara (TEMPO, 28 Nopember 1978).
Pertimbangannya, antara lain, "keresahan yang diakibatkan oleh
kapal pukat harimau terhadap nelayan tradisionil sudah sampai
puncaknya," kata Bismar. Perkara belum selesai -- sebab para
pemilik kapal menolak putusan Bismar.
Tapi di Mahkamah Agung pun nasib perkara kapal pukat harimau
tersebut sudah dapat diperhitungkan: para pemilik kapal jangan
berharap banyak pada putusan kasasi. Sebab, tanda-tanda mereka
--rela tak rela -- harus melepaskan hak miliknya, sudah jelas
tergambar mulai sekarang. Lihat saja. Tanpa menunggu lagi
turunnya putusan kasasi, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah
'menghadiahkan' ke 56-kapal yang belum jelas status hukumnya itu
kepada Ditjen Koperasi, tengah bulan lalu.
Apa dasar hukum penyerahan begitu? Jaksa Tinggi Soerono SH tak
pernah menjelaskan panjang lebar. "Kami hanya melaksanakan
penetapan Mahkamah Agung saja," katanya. Jadi, "dasar hukumnya,"
katanya, "tidak lain penetapan Mahkamah Agung itu sendiri."
Penetapan Mahkamah Agung itu memang ada, No. MA/PAN/105/XII/78
(23 Desember 1978), yang mengiinkan Ditjen Koperasi
mendayagunakan 56 kapal pukat harimau -- sambil menunggu
keputusan kasasi. Dengan demikian, apakah pemilik kapal-kapal
tersebut masih harus menunggu putusan kasasi?
"Merampok"
Oleh penetapan Mahkamah Agung begitu di luaran, jadinya, muncul
macam-macam suara tidak enak. Tak kurang Direktur Pembinaan
Sarana Ditjen Koperasi sendiri, Mamit Maryono, mendengar
selentingan bahwa Pemerintah telah "merampok" kapal melalui
putusan pengadilan. Padahal, katanya, "koperasi hanya
mendayagunakannya saja sambil menunggu kepastian status
hukumnya."
Sebab, kapal-kapal sitaan yang diparkir di pelabuhan Kalimati,
jumlahnya sekitar 217 buah, keadaannya payah. Selain rusak di
sana-sini, 11 di antaranya malah telah tenggelam. "Kan mubazir
namanya? Untuk itu Ditjen Koperasi harus mengadakan dana sekitar
Rp 15 juta untuk mereparasi sebuah kapal saja sebelum
didayagunakan.
Bismar ikut gembira. "Tindakan yang aik sekali," pujinya kepada
Mahkamah Agung. Sebab, katanya, "kapal-kapal itu mempunyai
fungsi sosial, jadi jangan dibiarkan tidak ada gunanya, jadi
besi tua nanti." Bagaimana dengan kapal-kapal selebihnya yang
masih berproses di tangannya? "Kalau kejaksaan minta penetapan
yang serupa akan saya kabulkan!" Tunggu apa lagi?
Bahkan pembela sekelompok nelayan trawl, Budhi Sutrisno SH, juga
menyetujui kebijaksanaan Mahkamah Agung. "Dari pada kapal-kapal
itu tenggelam," katanya. Cuma, tetap harus diingat, sebelum
kapal-kapal itu resmi pindah tangan, koperasi harus menjaganya
baikbaik. "Supaya tidak ada tuntutan dari pemilik, kelak jika
kapalnya dikembalikan atas putusan kasasi atau grasi Presiden,"
saran Budhi.
Pembela kelompok yang lain, Soenarto Soerodibroto SH, tetap tak
mau mengerti. Penetapan Mahkamah Agung dinilainya, "telah
mengandung makna merampas sebelum perkara kasasinya diputus,"
katanya. "Itu tidak adil!" Betapapun tipis harapan, seperti
diakuinya sendiri, "kami akan tetap berjuang sampai, kalau
perlu, minta grasi Presiden." Padahal, sekarang, tampaknya tidak
ada ampun bagi si pukat harimau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini