BEBAS dari tuduhan subversi, 24 Januari kemarin, I Putu Benum SH
tak dapat lolos dari dakwaan lain sengaja membiarkan dan/atau
menolong narapidana bangsa asing, Donald dan David, kabur dari
penjara Denpasar dan Karangasem, Bali (KUHP 426). Untuk
kesalahannya itu Putu Benum, bekas Kepala Penjara Denpasar yang
juga membawahi Penjara Karangasem, oleh majelis hakim di bawah
Sof Larosa SH harus masuk bui 3 tahun 6 bulan potong tahanan.
Putu Benum menolak putusan pengadilan dan menyatakan naik
banding.
Yang menarik dari perkara ini, tentu saja, bukan karena
pengadilan harus menjebloskan bekas seoran kepala penjara ke
penjara. Tapi kisah-kisah nyata yang tertangkap di sana memang
mengesankan. Pertama, cerita tentang kelonggaran dan kemudahan
penjara -- yang terbukti seijin dan sepengetahuan kepala penjara
-- memperlakukan Donald dan David. Padahal keduanya, Donald
terhukum 17 tahun dan David 7 tahun penjara, adalah narapidana
kelas berat terbukti sebagai penyelundup dan diduga keras
kaki-tangan suatu sindikat narkotika internasional (TEMPO, 27
Januari).
Putu Benum mengemukakan alibi bahwa ia sedang bepergian ke Palu
ketika narapidananya kabur. Tapi itu tak berhasil meyakinkan
hakim untuk melepaskannya dari tanggungjawab. Kemudahan dan
kelonggaran yang diberikan penjara sebelum Donald dan David
minggat -- seperti penempatan Donald di kamar khusus, bebas ke
luar masul penjara untuk belanja atau piknik dan membuka
rekening di bank -- oleh hakim dianggap kesalahan yang harus di
pikul risikonya dengan masuk penar pula.
Kedua yang menarik ialah nasib Putu Benum sendiri sejak
ditinggal lari kedua narapidananya. Semuanya telah dikemukakan
di muka hakim. Namun, menurut pembela Azhar Achmad SH pengadilan
yang sibuk berusaha mengungkapkan kesalahan Putu Benum, ternyata
tidak menaruh perhatian apa-apa yang terjadi atas pesakitannya
selama dalam proses hukum. "Walaupun sudah kami ingatkan
berkali-kali," ujar Azhar.
Sehari setelah Donald kabur, atau keesokan harinya setelah David
terbang dari Denpasar ke Singapura, 11 Juli 1977, Putu Benum
langsung ditahan Laksusda Nusatenggara. Penahanan dan
pemeriksaan berlangsung, sampai 20 Agustus berikutnya, sebelum
perkara diambil alih polisi. Tapi, menurut Azhar Achmad, dia
tidak menemukan sepotong surat penahanan pun yang diteken oleh
Laksusda. Untuk ini pembela minta kepada pengadilan agar
memerintahkan jaksa mencari surat perintah penahanan untuk
melengkapi berkas. Karena, katanya, hal itu "menyangkut hak
asasi" kliennya.
Beres dengan polisi, 19 September berikutnya, Putu Benum sampai
ke tangan Kejaksaan Tinggi Bali. Hingga 11 Nopember, pengadilan
mengijinkan kejaksaan memperpanjang penahanannya. Tapi
permintaan perpanjangan berikutnya, 9 Nopember, pengadilan
menolak. Sbab syarat-syarat yang diminta Sof Larosa, Ketua
Pengadilan Negeri Bali, misalnya resume hasil pemeriksaan yang
sudah cukup lama berlangsung, tidak dipenuhi oleh pihak
kejaksaan.
Namun, penolakan ijin perpanjangan penahanan tersebut,
kenyataannya, tidak merubah nasib Putu Benum. Lembaga
Pemasyarakatan Denpasar, seterimanya penetapan pengadilan,
memang terus minta agar kejaksaan membereskan Putu Benum. Tapi
kejaksaan tidak bertindak apa-apa. Jadi Putu Benum, 11 Nopember
kemudian, terus saja pulang ke rumah.
Tapi, belum lagi sampai semalam Putu Benum memperoleh
kebebasannya sendiri, malam itu juga ia sudah dijemput petugas
kejaksaan yang membekal surat perintah yang diteken oleh
Assisten II Kejati juga. Padahal, menurut Azhar, tak ada
"perkara baru" yang mungkin bagi jaksa untuk kembali menahan
Putu Benum. Itu, katanya, berlawanan dengan penetapan
pengadilan, yang mengharuskan memerdekakan Putu Benum -- kecuali
jika ada hal-hal lain yang mengharuskannya tetap ditahan.
Harus Telanjang
Azhar menganggap, penahanan jaksa tersebut "tidak sah". Lucu
tidak lucu: 11 Pebruari 1978 Putu Benum "dimerdekakan" dari
tahanan, tapi seperti halnya pembebasan sebelumnya, Putu Benum
tidak juga dapat menikmati kemerdekaannya. Sebab, begitulah
adanya, sehari sebelum surat pembebasan, 10 Pebruari, Kejaksaan
telah menyiapkan surat penahanan baru. Jadi, alhasil, Putu Benum
mengalami lima kali penahanan dan dua kali pembebasan, "tanpa
seharipun sempat menghirup kebebasan" kata Azhar.
Keluhan soal penahanan ini, menurut Azhar, lewat begitu saja di
muka majelis. Seperti halnya keluhan lain yang cukup mengesankan
-- seandainya sempat dibuktikan oleh yang bersangkutan. Untuk
memperoleh pengakuan, menurut pembela, dalam pemeriksaan
pendahuluan petugas telah memperlakukan Putu Benum dengan
kekerasan. Gagal memperoleh pengakuan di meja pemeriksaan,
katanya, di tempat tahanan Putu Benum "mengalami siksaan-siksaan
yang luar biasa". Tangan terborgol, ia harus berdiri telanjang
sampai 24 jam. Ia dipukuli dan pada lengannya ditaruh api.
Bahkan organ kelaminnya dibaluri dengan obat gosok -- menurut
pembela.
"Di bawah siksaan-siksaan itulah tertuduh diperiksa siang
malam," kata pembela dari Jakarta itu Hal itu menurut dia
mempengaruhi keadaan fisik dan jiwa Putu Benum. Lihat keterangan
dokter penjara. Untuk semuanya itu pembela minta agar pengadilan
membatalkan saja Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan yang
diperoleh dengan cara kejam tersebut.
Menurut pembela, hakim berjanji akan memeriksa keluhan Putu
Benum. Jika terbukti apa yang dipersoalkan oleh tertuduh dan
pembelanya, hakim akan mempertimbangkan harus atau tidaknya
pengadilan menggunakan Berita Acara yang disodorkan jaksa
sebagai dasar pemeriksaan di pengadilan.
Tapi, kepada TEMPO, Hakim Sof Larosa membantah "Saya tak pernah
menjanjikan." Sebab, katanya, bukan tugas hakim mengusut yang
begituan. "Terserah jaksa atau atasan tertuduh sendiri atau yang
dituduh melakukan penyiksaan." Tapi kalau bukan tugas hakim
untuk mengusut bagaimana cara-cara pemeriksaan pendahuluan yang
diragukan, lalu tugas siapa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini