PRAKTEK dan tata cara peradilan anak sering masih berbeda-beda. Contohnya, perkara dua pelajar SMTP, Adi dan Budi -- keduanya nama samaran, berumur 15 tahun -- di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Mereka diadili oleh majelis hakim bukan hakim tunggal -- yang diketuai Nyonya Yusnia. Contoh lain adalah perkara empat siswa SMTA -- juga bukan nama sebenarnya Chandra, Dedi, Eko, dan Feri. Mereka disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan oleh sebuah majelis hakim dengan ketua L.O. Siahaan. Tata cara persidangan itu berbeda dengan kebiasaan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehakiman, 16 Desember 1983, yang kemudian diingatkan kembali oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), 17 November 1987, sidang anak-anak seharusnya dilakukan oleh hakim tunggal saja. Adi dan Budi sampai ke depan majelis hakim karena tuduhan telah menyalahgunakan pistol milik ayah Adi, seorang polisi. Peristiwanya terjadi Maret 1988, di samping sekolah mereka, SMPN 92 Rawamangun. Budi mengutak-utik pelatuk pistol kaliber 38, tapi tiba-tiba "door...". Malang, Novri -- teman mereka juga -- yang ikut menyaksikan, jatuh tersungkur. Darah mengucur dari kepala Novri. Ia meninggal setelah dilarikan kc RSCM. Di persidangan, Jaksa Moh. Yamin menuntut kedua anak itu masing-masing 1 tahun penjara dengan masa percobaan selama 2 tahun. "Sesuai dengan saran Bispa (Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak) Departemen Kehakiman, kedua anak itu sebaiknya dijatuhi hukuman percobaan," kata Jaksa Moh. Yamin. Selain itu, pengadilan sudah mencoba membedakan persidangan kedua anak itu dibandingkan sidang perkara pidana biasanya. Sidang perkara dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pada waktu pembacaan putusan nanti. Agar si anak tak terlalu takut, majelis hakim dan jaksa tak mengenakan toga. Proses persidangan serupa juga terjadi pada kasus Chandra dan tiga rekannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Chandra, 15 tahun, dan Dedi, 16 tahun, diajukan Jaksa Widyo Pramono dengan tuduhan mencoba membunuh Nyonya Thirzah Ferdinandus dengan menusuk dan membuangnya dari mobil, Maret 1988. Kedua remaja itu jengkel menyaksikan korban terlalu intim dengan ayah Chandra. Dalam rangkaian perkara itu, Jaksa Widyo mendakwa satu-satunya tersangka yang dianggap sudah dewasa -- Eko, 17 tahun, menjadi penadah. Sedangkan Feri, 16 tahun, dituduh ikut menghilangkan jejak aksi Chandra dan Dedi tadi. Mengapa harus diperiksa hakim majelis? Baik hakim Nyonya Yusnia maupun Kepala Humas Pengadilan Jakarta Selatan, Moch. Taufik, menafsirkan, untuk kasus-kasus tertentu yang dianggap cukup berat atau menarik perhatian masyarakat, ketua pengadilan bisa menugasi majelis hakim untuk mengadilinya. Dalam kasus Adi dan Budi, ada yang menarik. "Senjata api, korban mati, dan banyak saksinya," ujar Hakim Yusnia. Sebab itu, "perlu majelis hakim untuk mengkonsultasikan perkaranya," kata Moch. Taufik. Menurut Taufik, ketentuan batas umur terdakwa anak-anak juga tak harus kaku. "Usia 15 tahun sampai 17 tahun itu kan masih anak-anak," ucapnya. Apalagi, sambungnya, tindak pidana itu dilakukan mereka bersama-sama. Anehnya, Hakim L.O. Siahaan mengatakan, dalam putusan nanti Eko akan dianggap sebagai terdakwa dewasa. Ahli Peradilan Anak, Nyonya H. Martina Notowidagdo, menyatakan sebaiknya sidang anak itu dilakukan hakim tunggal. "Itu disebutkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Anak, yang pernah diajukan tahun 1967," kata hakim agung itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini