MAHKAMAH Agung untuk pertama kali menjatuhkan vonis bagi pelaku kejahatan komputer paling canggih yang pernah terjadi. Permohonan kasasi pelaku pembobol BNI 1946 Pusat dan Cabang New York, yakni Rudy Demsy, 31 tahun, dan Seno Adji, 32 tahun, ditolak MA. Sebab, "Pengadilan Tinggi tidak salah dalam menerapkan hukum," kata ketua majelis hakim agung perkara itu, Adi Andojo Soetjipto. Dengan vonis MA itu, Rudy dan Seno, yang ditahan sejak 19 Februari 1987, harus menghabiskan masa hukumannya seperti ditetapkan Pengadilan Tinggi Jakarta. Kecuali bila keduanya mendapatkan grasi dari Presiden. Pengadilan banding ketika itu menetapkan bahwa keduanya terukti melakukan pencurian lewat komputer. Rudy, yang juga terbukti merusakkan paspor, dihukum 4 tahun, sedangkan Seno 2 tahun penjara. Operasi Rudy dan Seno, dalam kisah yang terungkap di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dilancarkan dari sebuah kamar Best Western Hotel New York. Pada 31 Desember 1986, Rudy dan Seno berhasil mentransfer uang BNI 1945 di Citibank dan Mantrust New York. Keduanya melakukan perbuatan itu hanya dengan pesawat personal computer yang dilengkapi dengan modem -- alat komunikasi antarkomputer. Berkat alat canggih itu mereka bisa memerintahkan pengiriman uang ke beberapa bank di Panama, Hong Kong, dan Luksemburg, tempat mereka membuka rekening. Pembobolan bisa digagalkan dengan menyetop transfer gelap itu. Namun, BNI tetap dirugikan karena terpaksa membayar ganti rugi kepada bank tujuan berikut bunganya. Total kerugian BNI adalah US$ 42 ribu (sekitar Rp 68 juta). Transfer tidak sah itu bisa dilakukan karena Rudy pernah bekerja selama 6 tahun di BNI New York, sehingga ia bisa mengetahui beberapa kode yang diperlukan. Selain itu, mereka mendapatkan bantuan dari Tengku Makmun Eldy dan Abdul Malik Darpi. Eldy berperan sebagai pembuka rekening di bank-bank tujuan. Sedangkan Darpi menyediakan dana US$ 10 ribu untuk biaya operasi pembobolan itu. Di persidangan, Jaksa Chairuman Harahap dan Togar Hutabarat menuntut Rudy dan Seno dengan Undang-Undang Antikorupsi. Keduanya dianggap merugikan negara dengan mentransfer uang milik bank negara. Rudy dan Seno dituntut masing-masing 5 tahun penjara dan denda Rp 30 juta. Tapi majelis hakim yang dipimpin I Gde Sudharta tidak menghukumnya dengan UU Antikorupsi. Yang terbukti, keduanya melakukan pencurian lewat komputer. Rudy dihukum 4 tahun, dan Seno 3 tahun. Pengadilan Tinggi Jakarta, Mei 1988, ternyata hanya mengurangi hukuman Seno menjadi dua tahun penjara. Rudy, menurut sumber TEMPO di Pengadilan Tinggi, bertindak sebagai pelaku utama. Temannya, Seno, sekadar membantu saja. Keduanya mengajukan kasasi, dan ternyata ditolak MA 21 Desember lalu. Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Singgih, menyatakan vonis kasasi itu bisa menjadi peringatan. "Yang penting, kasus ini mengingatkan bank agar lebih hati-hati dalam pengawasan manajemennya. Masa, karyawan sudah keluar, password-nya tidak dicabut," kata Singgih. Kini Eldy dan Darpi masih disidik polisi. Sementara itu, Seno Adji yang kini dirawat di RS Sumber Waras, Jakarta Barat, amat kecewa mendengar putusan itu. "Saya bukan pelaku pembobolan BNI 46. Saya cuma dijadikan kambing hitam," ujar Seno, yang mengaku tidak akan memohon grasi. Menurut ayah tiga anak itu, ia hanya kebetulan saja menjalin kerja sama bisnis garment dengan Rudy di Amerika. "Hingga kini saya juga tak tahu apakah Rudy terlibat atau tidak dalam kasus itu," kata Seno. Bagi Seno, vonis MA mungkin tak terlalu mengagetkan. Sebab, sejak delapan bulan lalu, Seno sudah berada di luar tembok tahanan. Kebetulan, ia tercatat sebagai tahanan yang sedang dirawat di Rumah Sakit Sumber Waras. Seno konon menderita stres dan komplikasi penyakit mata. Menurut perhitungan, akhir Februari nanti ia sudah menyelesaikan masa hukumannya. Sementara Rudy masih harus menghabiskan waktunya di balik tembok di Rutan Salemba. Kecuali bila ia mendapatkan grasi. Hp.S., Moebanoe M., Muchsin L.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini