Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Maraknya Raperda Anti-LGBT, Aktivis HAM Sebut Jadi Tren Jelang Tahun Politik 2024

Aktivis Bivitri Susanti menilai isu anti-LGBT, termasuk soal pembahasan raperda ramai digulirkan di beberapa daerah sebagai tren jelang pemilu 2024

3 Februari 2023 | 08.29 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ahli Hukum Tata Negara dan Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti saat mengikuti audiensi terkait polemik TWK di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin, 14 Juni 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis Hak Asasi Manusia Bivitri Susanti menilai isu anti-LGBT, termasuk soal pembahasan rancangan peraturan daerah (raperda) ramai digulirkan di beberapa daerah sebagai tren menjelang tahun politik 2024. Hal ini upaya untuk mencari sentimen publik. Namun, kondisi ini berpotensi menambah diskriminasi terhadap LGBT.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cara itu memiliki pola yang serupa dengan penerapan perda syariah seperti yang pernah diriset oleh Michael Buehler dosen asal SOAS University of London lewat bukunya Politics of Shari'a Law yang terbit tahun 2016. Buehler dalam analisisnya menyebutkan elite politik dalam mobilisasi pemilih atau pendukung dipengaruhi aktivitas keagamaan dengan kondisi persaingan politik yang ketat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Michael Buehler adalah Dosen Senior Politik Komparatif di Departemen Politik dan Kajian Internasional, SOAS University of London. Ia mengkhususkan diri dalam politik Asia Tenggara yang banyak meneliti soal hubungan negara-masyarakat di tengah demokratisasi dan desentralisasi. Sebelumnya dia mengajar di Columbia University dan Northern Illinois University.

Bivitri menduga peraturan-peraturan yang sentimen dan fanatisme ini sengaja dibikin oleh politikus ke publik lantaran politikus itu tidak mampu membicarakan isu-isu yang lebih subtantif. Sehingga, kata Bivitri, mereka merasa lebih baik membicarakan isu LGBT, ataupun isu lainnya.

"Sengaja dilakukan politikus yang nggak bisa ngomong substansi, dia nggak bisa nggak ngomongin bagaimana pendidikan yang lebih baik. Jadi ngomongin LGBT aja," ucap Bivitri. 

Bivitri menyebut publik perlu menyikapi yang tepat terkait fenomena pemanfaatan isu-isu sentimentil. Tujuannya kata Bivitri, menghindari pemanfaatan partisipasi publik dan masyarakat paham bahwa isu-isu ini digunakan untuk kepentingan politik.

"Fenomena ini mesti dipublikasikan supaya orang sadar bahwa orang-orang itu dipergunakan oleh para politisi yang bersangkutan," ucapnya.

Perda anti-LGBT

Adapun beberapa daerah yang telah menerbitkan Perda dan Ranperda Anti LGBT. Di antaranya Perda Ketenteraman dan Ketertiban tahun 2018 oleh Pemda Pariaman, Perda Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S) disahkan DPRD Kota Bogor, dan terbaru Ranperda Anti LGBT di Makasar juga di Medan.

Baru-baru ini, DPRD Kota Bandung mewacanakan penyusunan rancangan Perda terkait pencegahan dan larangan LGBT. Wacana ini muncul setelah adanya aspirasi dari sekelompok masyarakat. 

Namun, wacana itu mendapat sejumlah penolakan. Beberapa di antaranya dari Jaringan Kerja Antarumat Beragama atau Jakatarub. Kelompok tersebut menilai aturan perda larangan dan pencegahan LGBT ini diskriminatif. Jakatarub akan menyayangkan jika wacana tersebut benar dilaksanakan. “Kalau ini benar terjadi dan diseriuskan, tentu ya Jakatarub menyesalkan. Karena akan menambah lagi perda diskriminatif di Jabar,” kata Koordinator Jakatarub Arfi kepada media, Rabu, 25 Januari 2022.

Adapun berdasarkan catatan Arus Pelangi sebanyak 1840 LGBT menjadi korban diskriminasi dan persekusi dalam rentan waktu 2016-2018. Ditinjau dari pengelompokan sumber diskriminasinya, Arus Pelangi mengungkapkan 20 persen Diskriminasi oleh eksekutif, 16 persen Diskriminasi oleh legislatif, 6 persen diskriminasi oleh penegak hukum dan 8 persen diskriminasi oleh tokoh agama.

Perlunya Kemendagri turun tangan

Dengan banyaknya perda yang berpeluang mendiskriminasi kelompok minoritas, Bivitri berharap Kemendagri bisa melakukan pencegahan meskipun tidak bisa membatalkan. Pencegahan itu, kata dia, dengan menidaklanjuti peraturan diskriminatif tersebut. "Kemendagri bisa mengeluarkan peringatan ke daerah jika Perda dan Ranperda Pemda bersangkutan melanggar konstitusi dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)," katanya.  

Baca: Wacana Perda LGBT di Kota Bandung, Ini Pro dan Kontranya


Catatan koreksi:
Berita ini telah mengalami perubahan pada Jumat 3 Februari 2023 pukul 14.53

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus