Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menilai ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4 persen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tak sejalan dengan prinsip keadilan rakyat dan pemilu serta melanggar kepastian hukum yang sudah dijamin konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MK menyatakan dalam Pasal 414 ayat (1) terkait ambang batas sebesar 4 persen agar partai politik (parpol) dapat masuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih tetap berlaku untuk Pemilu 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal itu tercantum dalam Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023. Putusan dari perkara yang diajukan sebelumnya oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). MK menyatakan aturan ambang batas 4 persen itu harus diubah agar tetap berlaku di pemilu mendatang.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan Amar Putusan, Kamis 29 Februari 2024. Lantas, apa maksud ambang batas parlemen 4 persen?
Apa Maksud Ambang Batas Parlemen 4 Persen?
Dilansir dari Jurnal Hukum Responsif (2020), parliamentary threshold adalah syarat ambang batas perolehan suara parpol agar bisa masuk di parlemen. Perhitungannya dilakukan setelah hasil penghitungan suara masing-masing parpol diketahui seluruhnya, lalu dibagi dengan jumlah suara secara nasional.
Ketentuan ambang batas parlemen di Indonesia baru diterapkan pertama kali dalam Pemilu 2009 yang dirumuskan secara implisit dalam Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pada Pemilu 2009, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5 persen. Dari 38 parpol yang berkontestasi, hanya 9 parpol yang berhasil merebut kursi DPR. Kemudian pada Pemilu 2014, parliamentary threshold ditingkatkan menjadi 3,5 persen dengan dasar regulasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Selanjutnya, pada Pemilu 2019, ambang batas parlemen kembali dinaikkan menjadi 4 persen sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Saat itu, ada 9 parpol yang dinyatakan lolos ke Senayan, berkurang 1 parpol dibandingkan pada Pemilu 2014.
“Partai politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4 persen dari jumlah sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR,” bunyi Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.
Tujuan Penerapan Ambang Batas Parlemen
Kepala Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Yusharto Huntoyungo mengatakan penerapan parliamentary threshold menjadi instrumen untuk mengurangi jumlah partai pada parlemen dalam rangka menyederhanakan sistem kepartaian, agar mewujudkan kondisi politik yang stabil.
“Ambang batas parlemen dapat membantu meningkatkan kinerja parlemen. Ketika terjadi kenaikan persentase ambang batas parlemen, anggota fraksi akan termotivasi untuk menjadi lebih maksimal dalam mewujudkan aspirasi masyarakat,” ujar Yusharto sebagai perwakilan pemerintah dalam sidang uji materiil ketentuan parliamentary threshold UU Pemilu di Gedung MK, Jakarta, Senin, 20 November 2023, yang dikutip dari laman resmi MK.
Menurut Yusharto, hal terpenting dari alasan penyederhanaan parpol adalah untuk melindungi demokrasi dan hal-hal negatif, seperti kebebasan politik yang tidak mampu mewujudkan ide pemerintah dari dan untuk rakyat, yaitu rakyat sebagai penerima manfaat pemerintah.
“Penyederhanaan jumlah partai dengan penerapan ambang batas parlemen tidak bertentangan dengan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) khususnya hak untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Partai adalah salah satu sistem yang menjadi alat pendukung demokrasi. Oleh sebab itu, banyak sedikitnya jumlah partai tidak dapat dijadikan acuan sebagai satu-satunya ukuran untuk menilai demokrasi atau tidaknya sebuah negara,” katanya.
Dengan demikian, lanjut dia, pengaturan ambang batas parlemen tidak mengakibatkan ketidakadilan bagi pemilih dan peserta pemilu, atau juga tidak mengurangi keterwakilan rakyat sebagai pemilih di parlemen. Dia mengungkapkan bahwa parliamentary threshold dapat menciptakan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena parpol yang ada di parlemen adalah parpol yang didukung baik oleh rakyat, dengan dibuktikan dari perolehan kursi melalui pemilu.
MELYNDA DWI PUSPITA | TIM TEMPO